Sebelum tersesat lebih jauh dengan PCX 160, mending tobat dan menjajal Lexi 155.
Ada satu fenomena yang bikin saya miris sekaligus heran sampai sekarang: pemuja fanatik Honda PCX. Mereka seperti sedang berada di jalan yang gelap, dipandu oleh lampu senja yang redup, namun percaya bahwa itu cahaya matahari. Padahal yang mereka ikuti hanyalah sorot lampu dari motor matic bongsor yang, maaf, ampas.
Ya, PCX 160 ini ibarat cinta yang kelihatan indah dari luar, tapi dalamnya penuh masalah. Kalau boleh saya beri nasihat, mending kalian tobat nasuha sebelum penyesalan datang.
Serius, saya nggak ngerti kenapa ada orang yang bisa segitunya memuja motor Honda satu ini. Apa karena bodinya bongsor? Apa karena lampunya tajam? Atau cuma karena ingin kelihatan seperti juragan tanah? Atau sekadar tergiur harga jual yang stabil? Kalau itu aja alasannya, selamat! Kalian sedang menjalani ibadah kesesatan otomotif.
PCX 160 indah di foto, menyedihkan di kenyataan
Honda PCX 160 memang punya daya tarik visual. Bodinya besar, garis desainnya elegan, dan dari jauh terlihat seperti motor matic premium yang siap bikin gengsi naik. Tapi semua itu hanya “pemoles luka”. Begitu dipakai harian, barulah kebohongan itu terkuak.
Salah satu kelemahan paling parah ada di blok mesin bagian bawah. Posisi komponen ini terlalu rendah karena efek engine mounting dipindah ke atas. Dan ini bukan sekadar teori, ini masalah nyata.
Banyak korban sudah merasakannya. Sedikit saja kena polisi tidur atau jalan berlubang, “crack” suaranya terdengar renyah lalu blok mesin pecah. Soal biaya perbaikan? Silakan siap-siap merogoh dompet sampai ke lapisan terdalam.
Belum lagi masalah ground clearance yang bikin PCX 160 gampang nyangkut. Di negara dengan jalanan super mulus seperti Eropa, mungkin ini bukan masalah. Tapi di Indonesia, di mana lubang bisa lebih sering ditemui daripada mantan yang masih chat tengah malam, ini jelas bencana.
Mesin yang bikin deg-degan
Di atas kertas, mesin Honda PCX 160 memang terdengar menggiurkan. Tenaganya lumayan, torsi cukup. Tapi dalam praktiknya, performa ini seperti kue ulang tahun. Cantik, tapi cepat habis.
Tarikannya terasa berat di putaran bawah, apalagi kalau sudah boncengan plus bawa belanjaan dari pasar. Konsumsi BBM memang hemat, tapi apa artinya hemat kalau tiap bulan harus menyisihkan dana untuk perbaikan karena komponen sensitif mesin rawan kena benturan?
Ada juga cerita klasik soal getaran mesin. Mungkin tidak separah generasi awal, tapi tetap terasa kalau dibandingkan kompetitor. Efeknya? Lama-lama bikin riding experience tidak nyaman. Dan kalau perjalanan jauh, dengungannya seperti backsound film horor. Nggak bikin tenang sama sekali.
Harga gengsi yang kebablasan
Mari bicara harga. PCX 160 dibanderol cukup tinggi. Dan entah kenapa banyak orang merasa ini tanda prestise. Padahal kalau melihat spesifikasi dan kualitas build-nya, perbandingannya seperti beli kopi sachet di hotel bintang lima. Mahal doang karena tempatnya, bukan karena kualitas isinya.
Di kelas matic bongsor, Anda sebenarnya punya banyak pilihan. Tapi sayangnya, banyak yang terjebak pada brand image Honda yang katanya “bandel” dan “awet”. Mungkin benar di beberapa model, tapi PCX jelas bukan termasuk di dalamnya.
Saatnya tobat dan menjajal Yamaha Lexi
Kalau Anda benar-benar ingin motor matic agak bongsor yang worth it, inilah saatnya melipir ke Yamaha Lexi 155. Motor ini adalah paket lengkap yang masuk akal. Harganya nggak bikin kantong bolong, spesifikasinya mumpuni, dan—ini yang penting—ground clearance-nya lebih manusiawi untuk jalanan Indonesia.
Lebih lagi, Lexi 155 sekarang dibekali mesin VVA (Variable Valve Actuation), yang artinya tenaga tetap responsif di berbagai putaran mesin. Tarikannya enteng, bahkan saat boncengan atau bawa barang. Konsumsi BBM-nya efisien, dan yang lebih penting posisi duduknya nyaman untuk perjalanan jauh plus nggak ada puduk di legroom depan. Suspensinya juga cukup bersahabat untuk jalan bergelombang, tidak membuat Anda merasa sedang naik becak tanpa peredam suspensi.
Lexi 155 lebih unggul ketimbang PCX 160
Yamaha Lexi 155 juga punya fitur Stop & Start System untuk menghemat bahan bakar saat berhenti di lampu merah, lampu hazard yang siaga, ada juga Smart Key System biar nggak ribet colok kunci, dan ruang kaki lega untuk bawa barang atau sekadar meluruskan kaki. Bahkan ada power socket untuk ngecas HP. Hal sederhana tapi berguna di era serba online seperti sekarang ini.
Bodinya memang tidak sebesar PCX 160 yang ampas itu, tapi justru ini keunggulan. Bobotnya lebih ringan, lincah untuk selap-selip di kemacetan, dan lebih aman dari risiko “blok mesin pecah” gara-gara menghantam polisi tidur.
Dengan semua fitur dan performa itu, motor Yamaha ini dijual di harga yang masih rasional. Anda tidak perlu menggadaikan masa depan demi terlihat keren di jalan. Bahkan, uang selisih dari tidak membeli PCX 160 bisa dialokasikan untuk servis rutin, modifikasi, atau sekadar jajan bakso tiap minggu.
Jangan sampai menyesal
Memilih motor itu seperti memilih pasangan. Jangan hanya melihat penampilan luar, tapi perhatikan juga bagaimana dia menghadapi jalanan hidup bersama Anda. Honda PCX 160 mungkin terlihat mewah, tapi kalau ujungnya bikin dompet bocor dan hati kesal, untuk apa?
Yamaha Lexi 155 mungkin bukan primadona di iklan TV, tapi di jalanan nyata, dia teman setia yang tidak gampang nyusahin. Jadi, sebelum terlanjur sesat, mari tobat. Dunia per-matic-an masih luas, dan Yamaha Lexi 155 siap menuntun Anda ke jalan yang lurus, secara literal maupun finansial.
Penulis: Budi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Semua Orang Membenci Honda PCX dan Yamaha NMAX, Sampai Mereka Mencoba Motor Tersebut.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















