Mahasiswa dari berbagai penjuru negeri satu suara untuk memperjuangkan beberapa tuntutan. Di lain pihak polisi juga turut berjuang menghalangi mahasiswa untuk melanggengkan tuntutan. Latar belakang perjuangan kita memang berbeda, tetapi memiliki sisi kesamaan.
Dari berbagai akun sosial media dan terjun langsung ke lapangan saya merasakan betapa hadangan aparat sesungguhnya dipenuhi kasih sayang. Pihak mahasiswa—termasuk saya—sebelum berfikir mendalam menganggap polisi tidak berada di pihak rakyat dan tugas fungsi yang seharusnya menjadi mitra rakyat tidak terlaksana secara baik. Sementara, pihak aparat kepolisian sudah cukup geram dengan tingkah aksi massa yang terus merangsek agar tuntutannya terdengar oleh pemerintah.
Setelah saya berfikir, juga bicara santai bersama seorang teman. Ternyata keduanya sama sama tidak ada yang benar, dan tidak ada yang salah sepenuhnya. Mengapa demikian? Mahasiswa luka, polisi sengsara, DPR dan pemerintah leha-leha.
Seusai aksi, saya bersama seorang teman duduk di warung kopi. Lalu, saya membuka pertanyaan tentang mantan siapa yang salah saat terjadi bentrok antar demonstran dan aparat kepolisian.
“Di antara aparat dan demonstaran siapa yang salah?”
Si Ahmad, sapaan akarba teman saya menimpali. “Setidaknya ada hal yang sama sama dipertahankan baik polisi maupun mahasiswa.”
Jadi begini menurut Ahmad, mahasiswa itu mempertahankan agar RUU KUHP, RUU KPK dan beberapa RUU lainnya batal disahkan. Sementara, polisi mempertahankan agar DPR aman sejahatera tetap kondusif dan tidak ada kericuhan. Persamaan yang lain baik mahasiswa dan aparat merasakan bagaimana tidak enaknya terjun langsung di lapangan, sungguh berat bro—mengingat harga skincare terus melonjak sementara subsidi orangtua tengah menunggak,
Coba saja DPR dan Pemerintah tidak berbuat aneh-aneh, mungkin saat ini kami (mahasiswa) tengah duduk santai di warung kopi sembari memikirkan skripsi yang menyisakan beberapa kesempatan lagi. Pak polisi mungkin tengah bercanda tawa bersama keluarga, menikmati sajian khas sang istri, menonton acara kesayangan bersama buah hati.
Dari beberapa video yang bereder di media sosial, ‘seolah-olah’ aparat salah. ,mengakibatkan mahasiswa luka, bahkan terjadi baku hantam. Bahkan, ada satu cuplikan video aparat kepolisian memukuli seorang mahasiswa hingga terjatuh.
Tetapi, ketahuilah wahai netizen maha benar, pak Polisi itu juga manusia. Di balik hati nuraninya sebenarnya tengah berteriak keras, “aku tidak tega melakukan itu padamu, Nak—seandainya tidak ada perintah dari atasan.”
Doakan saja, secara perlahan mereka (aparat) harusnya sadar, musuh yang ditertibkan bukan yang tengah turun di lapangan. Tetapi, mereka yang bersembunyi dibalik jubah kebesaran.
Menurut saya, aparat tidak akan melakukan cara agresif dan represif jika tidak terjadi suasana genting nan mengkhawatirkan. Bukti nyatanya, kemarin pada tanggal 23 september saat terjadi aksi di depan DPRD kota Malang, tiga orang polisi membagikan air mineral untuk beberapa mahasiswa. Saya yang juga turut kebagian terlibat obrolan asik dengan seorang aparat.
“Nah begini enak toh mas, aksi damai,” ucap pak Polisi sembari tersenyum asri.
“Iya pak, karena tujuan kami bukan mau bentrok sama polisi, kami disini hanya ingin wakil rakyat kami mendengarkan keluh kesah kami. Siap siap saja besok pak, jika tetap tidak ada tanggapan dari pemerintah dan wakil rakyat,” jawab saya dengan nada merendah. Melihat raut mukanya mengkerut, pertanda capai berlebihan saya teringat bapak di rumah.
Bapak aparat kepolisian itu meninggalkan kami dengan senyum sembari menyodorkan air mineral. Pikir saya, apakah hanya di kota Malang yang gas air mata diganti air mineral. Kota yang terkenal dengan ke adem ayemnya. Semoga saja tidak.
Lalu keesokan harinya, pada tanggal 24 September 2019 di kota Malang sempat terjadi tembakan gas air mata. Beberapa mahasiswa mengalami luka meski terbilang tidak begitu parah. Saat mengamati di sosial media, kejadian pihak aparat apresif dan represif juga terjadi di berbagai daerah. Bahkan ada satu video yang seolah memojokkan kepolisian bertindak sangat keras dan tidak manusiawi. Siapakah yang patut disalahkan dalam kondisi begini? DPR dan Pemerintah!
Meski saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri bagaimana pak Polisi membentuk formasi untuk membendung mahasiswa, saya rasa itu tindakan benar. Mereka memang dibayar demi itu. Tetapi, lebih benarnya pak, jika bapak mempersilahkan mahasiswa masuk lalu bapak sebagai mitra masyarakat menjadi tameng dari belakang.
Atas semua perlakuan bapak pihak aparat kepada para mahasiswa. Saya masih yakin dan percaya polisi tetap menantu idaman emak emak sosialita memiliki hati nurani yang berteriak. Dari kami mahasiswa, salam damai pak. Besok, atau entah kapan ketika kita melakukan aksi dengan hati terbuka kami siap menerima bantuan air mineral dari bapak, dan bukan bantuan gas air mata. (*)
BACA JUGA Kamu Ikut Demo Karena Kritis atau Latah? atau tulisan Dani Alifian lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.