Sebelum Presiden FIFA, Gianni Infantino, senyum-senyum main fun football bersama Ketum PSSI yang sakti sekali dan enggan saya sebut namanya itu, saya sudah skeptis. Memang, niat baik Presiden Jokowi ini harus diapresiasi dan ini bukan satir. Namun, masuknya FIFA ke Indonesia memang harus diawasi. Sejatinya, federasi ini problematik.
Kita akan selalu bertentangan dengan kekuatan absolut. Dalam sepak bola, ya FIFA hulu dan hilir segalanya. Dulu (mungkin juga sampai saat ini), FIFA gembar-gembor mengatakan untuk “menendang” politik dari sepak bola. Dan itu, jujur saya, munafik. Suporter dilarang mengekspresikan pandangan politik (bahkan yang tak berbahaya sekalipun), tapi FIFA selalu terseret politik.
Pemilihan Qatar jadi tuan rumah Piala Dunia adalah contoh jelas. Dari awal, Qatar bukanlah tempat ideal untuk diselenggarakannya Piala Dunia. Tapi, demi terwujudnya hal ini, FIFA bahkan mau-mau saja mengobrak-abrik jadwal yang sudah tersusun rapi. Peduli setan kesejahteraan pemain.
Dilansir dari Detiksport, bahkan Presiden FIFA dan UEFA saat itu, Sepp Blatter dan Michel Platini, mengakui bahwa ada aroma politik di dalamnya. Isu korupsi, suap, dan mafia juga nggak pernah lepas dari federasi sepak bola dunia yang satu ini.
Sepp Blatter cuci tangan dari isu itu dengan menjauh secara berkala dari Qatar. Apalagi banyak eks Exco FIFA yang tertangkap tangan menerima suap soal bidding pemilihan tuan rumah Piala Dunia.
Kontroversi Qatar tak berhenti di sini. Dalam proses pembangunan infrastruktur, banyak tenaga kerja yang haknya dirampas dan tak dipenuhi. Banyak hak asasi manusia yang dilanggar, dari upah yang rendah, hingga fasilitas yang amat tak layak
Pemerintah Qatar memang sudah menandatangani perjanjian dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 2017, namun rentang waktu dipilihnya Qatar sampai tahun perjanjian tersebut, tetap saja membuat luka banyak pekerja. Apalagi, isu seperti kerja paksa, upah nggak layak dan jam kerja yang berlebihan tetap bergaung nyaring.
Namun, ketika suporter menyuarakan kepedulian dan mengekspresikan pandangan politik mereka, suporter dihukum. Sebagai contoh, suporter Celtic pada kualifikasi Liga Champions 2016 melawan tim Israel, Hapoel Be’er Sheva. Mereka mengibarkan bendera Palestina sebagai bentuk solidaritas, dan mereka dihukum. Oke, yang menghukum memang UEFA, tapi itu semua kan bermula dari polah FIFA.
Jika kalian sakit hati nonton Ketum Federasi Indonesia yang fun football sama Presiden FIFA, saya sih maklum. FIFA sendiri bisa dibilang tak peduli betul sama nasib-nasib suporter dan pemain. Bagi mereka, pencinta sepak bola tak lebih dari mesin uang berjalan. Melihat mereka secara manusia pun tidak. Kalau iya, pasti, pasti, Qatar sudah dicoret dari dulu.
Tragedi Kanjuruhan ini, mungkin saja tak benar-benar memukul mereka. Sebab, selama ini, mereka sudah melihat eksploitasi secara terang-terangan, tapi memilih diam dan malah ikut senyum-senyum dengan pemodal yang besar.
Jadi, jangan berharap banyak-banyak kepada FIFA, apalagi berharap mereka “mengubah” PSSI. Keduanya cut from the same cloth, alias sama saja. Sama-sama remuk, sama-sama korup. Perubahan, tampaknya, hanya omong kosong.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA PSSI dan FIFA Membuang Empati ke Tempat Sampah