Seperti biasa, sehabis ngaji rutinan malam Jumat, Kang Salim dan Misbah selalu jadi dua sejoli yang pulang paling akhir. Karena setelah orang-orang bubar dari masjid, keduanya masih asik rebahan di halaman depan masjid sambil telanjang dada. Menikmati lantai keramik yang maknyes dan angin semilir yang sejuk.
Namun malam ini ketambahan satu personil lagi; Kang Amin, yang memutuskan untuk nimbrung alih-alih segera pulang demi nonton sinetron favoritnya.
“Saya kalau ngaji sama Kiai Asmuni itu hawanya kok merinding gitu, ya,” seloroh Misbah memecah keheningan. “Tiba-tiba jadi takut. Takut kalau inget dosa, cemas kalau inget mati.”
“Apa karena ngajarnya sambil nangis haru dan suara yang gemetaran tiap mengutip Al-Quran dan kisah-kisah Kanjeng Nabi ta, Mis?” tanya Kang Salim
“Nah, itu dia, Kang. Rasa-rasanya saya ini udah nggak pantes disebut hamba Allah dan umatnya Kanjeng Nabi kalau beliau udah ngendikan,” respons Misbah setelah bangun dari posisi rebahan. “Kita ini kayak dilucuti habis. Seluruh amal kita ini kayak nggak ada cukup-cukupnya buat ngadep Gusti Allah. Apalagi kalau udah doa terus disambung baca syiir Abu Nawas. Wuuuhhh, auto merinding, Kang.”
“Loh, ya malah bagus tho, Mis,” respons Kang Amin selaku keponakan dari Kiai Asmuni. “Bukannya malah bagus tho, kalau model ceramah beliau itu bikin kita semua inget dan sadar kalau amal kita ini masih kurang. Alhasil kita bakal senantiasa terus berupaya mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Syukur-syukur mau taubat nasuha.”
“Tapi masalahnya nggak semua orang nyaman dengan ngaji model gitu, Kang Amin, “ sanggah Misbah. “Saya contohnya. Jujur, karena ngajinya Kiai Asmuni terlalu khusyuk dan melankolis, saya malah jadi pesimistis. Hidup saya akhirnya cuma berisi ketakutan-ketakutan. Nggak tenang. Kalau mau ibadah takut nggak diterima. Katakanlah pas lagi takbiratul ihram gitu, sya mesti harus ngulang berkali-kali buat sampai ke definisi khusyuk, fokus hanya ke Gusti Allah, seperti apa yang sering didawuhkan Kiai Asmuni.”
“Kan emang begitu aturannya, Mis.”
Belum juga Kang Amin melanjutkan kalimatnya, Misbah langsung memotong, “Sampeyan apa nggak pernah denger, Kang, kisah seorang sahabat yang ditegur oleh Kanjeng Nabi. Ini sahabat saking takutnya amalnya kurang, alhasil sehari-hari kerjaannya cuma wiridan di masjid. Sampai-sampai istrinya ditelantarkan.”
“Lah misalnya, karena saya kemakan model ngajinya Kiai Asmuini yang ‘kekhusyuken’ itu terus kalap beribadah kayak sahabat tadi, wah kelak Kiai Asmuni bisa ditegur juga tuh sama Kanjeng Nabi. Kata Kanjeng Nabi, ibadah itu wajib, tapi juga ‘wa la tansa nasibaka mi al-dunya’. Jangan lupa sama urusan duniamu.”
“Kok kamu malah terkesan nyalahin model ngajinya Kiai Asmuni, Mis,” protes Kang Amin setengah tak terima. “Model ngaji beliau itu ada sanadnya, loh. Yaitu merujuk pada modelnya Syekh Abdullah al-Haddad. Bahkan beliau Syekh al-Haddad pernah berkata, ‘Jika gurumu mengajar tanpa pernah menangis (tanda khusyuk dan takut Allah), maka jauhilah.’ Sebab, emang tujuan ngaji kan emang biar kita diingatkan dengan kekurangan amaliah kita, terus takut sama Allah, dan selanjutnya menempuh jalan taubat.”
“Itu ngaji yang elitis, Kang. Untuk kelas orang awam kayak saya ini ya yang bisa bikin ketawa-ketawa, ayem, dan nggak terlalu resah sama kurangnya amal.” Ucap Misbah dengan gaya tengil.
“Ngaji kok cuma buat lucu-lucuan,” cibir Kang Amin. “Orang diingetin amalnya kurang bukannya evaluasi diri, eh kok malah nggak nyaman. Iki piye, tho?”
“Asal materinya soal mengingatkan kita kepada Gusti Allah nggak luput kan ya no problem, Kang.”
“Udah selesai apa belum, nih? Kalau belum monggo dilanjut,” celetuk Kang Salim yang sedari tadi hanya diam menyimak sambil gulang-guling di lantai masjid.
“Sampeyan ini bukannya nengahin malah ngadu domba,” sambar Misbah sembari menimpuk Kang Salim pakai peci.
“Hla gimana, wong apa yang kalian debatkan tadi sebetulnya sama-sama benernya. Sama-sama ada landasannya.”
“Nah, tuh kan, model ngaji ala Kiai Asmuni yang mengadopsi Syekh Abdullah al-Haddad itu juga baik. Sekarang, emang model ngaji yang lucu-lucuan gitu, apa coba dasarnya, Kang?”
“Syekh Abu Hasan al-Syadzili, Kang Amin. Beliau pernah bilang kebalikan dari Syekh al-Haddad. Katanya, ‘Kalau gurumu nggak pernah ketawa pas ngajar, mending jangan ngaji di situ.’ Biar nggak terlalu sumpek seperti yang dikhawatirkan Misbah.”
“Argumen sampeyan sepenuhnya benar, begitu juga argumen Misbah. Kita cuma perlu melakukan pemetaan saja, sih. Ini kalau menurut saya loh, ya.”
“Yang kayak gimana tuh, Kang?” tanya Kang Amin
“Begini, nggak salah tadi Misbah nyebut ngaji model Kiai Asmuni itu model ngaji elitis. Pasnya emang digunakan buat sesama orang alim. Misal, pengajian dengan ustaz-ustaz madrasah. Itu masuk. Tapi kalau buat standar orang awam, kayaknya lebih pas kalau pakai konsepnya al-Saydzili.”
“Iya, Kang, soalnya apa ya, kita orang-orang awam itu udah mumet mikir utang. Tujuan ngaji itu ya biar dibikin tenang. Bukan ketambahan mumet mikir amal ibadah yang serba kurang. Mikir siksa neraka dan hal-hal mengenai akhirat yang mengerikan itu.”
“Yap, khusus buat kelas orang awam itu syiarnya dibikin gampang dan menyenangkan saja. Mangkanya ada tho, kiai yang kalau ceramah ibarat kata lucunya sampai bikin terkencing-kencing. Tujuannya ya itu tadi. Terus bedanya lagi, kalau orang elitis, katakanlah orang-orang alim atau yang berpendidikan, itu punya waktu cukup banyak buat ibadah sama Allah, punya ilmunya juga. Jadi, emang selayaknya buat khusyuk dan nangis-nangis di hadapan Allah.”
“Beda sama orang awam, misalnya sopir angkot. Mereka ini waktunya terkuras buat kejar setoran. Alhasil waktu ibadahnya juga alakadarnya. Jadi ya diadem-ademin kalau kerja dengan niat ikhlas juga terhitung sebagai ibadah. Akhirnya mereka nggak ngerasa jauh dari Gusti Allah. Nggak ngerasa amalnya kurang. Toh kalau amalnya kurang, ya diadem-ademin bahwa Gusti Allah pasti ngasih kawelasan, kok. Akhirnya, mereka nggak putus asa dengan rahmat Gusti Allah. Itu juga sama pentingnya dengan tujuan ngaji biar orang selalu takut sama Gusti Allah. Disesuaikan proporsinya aja, lah. Kalau saya sih, emang cenderung di mazhab yang kedua; mazhab santuy.”
Misbah dan Kang Amin mengangguk-angguk mendengarkan pemaparan Kang Salim. “Pokonya jangan ngaji atau ceramah sambil marah-marah dan menebar kebencian aja, lah. Apalagi kalau sampai nyebarin hoaks segala.” Imbuh Kang Salim.
Suasana hening sejenak, kemudian tiba-tiba Kang Salim neyeletuk, “Termasuk urusan dakwah. Lebih baik mana, dakwah kepada jamaah pengajian, atau dakwah di hadapan PSK?”
“Mending jamaah pengajian lah, Kang. Lebih gampang masuknya tur menjaga marwah juga.” Jawab Kang Amin.
“Loh, ya lebih baik di hadapan PSK tho, yo. Ya masak mau nyapu di tempat yang udah bersih. Yang belum bersih dong, yang seharusnya disapu.” Sanggah Misbah. “Kalau kata Nabi Isa, ‘Ana tobibun udawi al-mardlo.’ Aku ini dokter, dan tugasku menyembuhkan orang sakit. Masak orang sehat mau disembuhin, apanya yang disembuhin coba?”
Dan perdebatan antara Kang Amin dan Misbah pun kembali berlanjut. Sementara Kang Salim memilih menutup mukanya dengan kemeja, meneruskan tidur sambil menunggu keduanya capek sendiri.
*Diolah dari penjelasan Gus Baha
BACA JUGA Lagu Dangdut: Satu Lagu Sejuta Penyanyi dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.