Tak bisa dimungkiri bahwa internet dan segala perkembangannya telah mengubah hampir segala aspek kehidupan saat ini. Mulai dari mencari informasi, mengerjakan tugas dan pekerjaan, serta aplikasi-aplikasi super yang bisa membantu kegiatan sehari-hari.
Data pada tahun ini yang diperoleh dari Hootsuite menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-6 dunia dalam penggunaan internet terbanyak dengan 202,6 juta pengguna. Dalam sehari, setiap orang Indonesia rata-rata menghabiskan 8 jam 54 menit untuk berselancar di internet. Angka yang fantastis, kan?
Namun, rupanya terdapat momen-momen yang bikin kangen di masa internet belum merajalela atau semasif sekarang.
#1 Nyamperin teman secara langsung
Beberapa hari yang lalu, kebetulan saya membaca konten post di Instagram yang bilang 80% anak muda zaman sekarang cenderung mengatakan kalau dia sedang ada di luar rumah seseorang. Hal ini bisa jadi benar. Hal ini mengubah budaya “nyamperin teman” yang lebih populer sebelum adanya aplikasi pesan instan. Waktu itu, kita akan mengetuk pintu atau pagar sambil memanggil-manggil nama teman kita yang punya rumah.
Mungkin terkesan sepele, tapi sebenarnya ada dampak yang cukup disayangkan dengan perubahan ini. Dengan budaya nyamper, kita secara nggak sengaja jadi kenal anggota keluarga yang punya rumah secara personal. Meski kita hanya menjemput teman kita dan akan pergi lagi, mau nggak mau kita perlu berinteraksi dan menyapa orang yang membuka pintu, serta berbasa-basi dengan anggota keluarga lain yang ada di rumah.
Meski budaya sopan santun, bertegur sapa, dan salim dengan orang yang lebih tua masih berlaku, dengan budaya “nyamperin teman” hal tersebut akan terjadi lebih sering dan lebih terasa. Ehehehe.
#2 No social media, less insecurity
Punya akun media sosial bisa dibilang hal yang penting saat ini. Mulai dari pelajar eksis yang sedang mencari jati diri, pelaku usaha yang sedang memasarkan produk atau layanannya, maupun para influencer yang giat menyebarkan pengaruh “positif” untuk dunia, semua pasti setuju akan hal tersebut.
Meski begitu, terkadang saya merasa kewalahan atau bahasa kerennya “overwhelmed” dengan banjirnya informasi dan emosi yang datang dan timbul dari media sosial. Ya, meski saya tahu ada yang namanya “social media detox”, banyak yang enggan melakukannya atau bahkan menghapus akun media sosial mereka meski mereka merasakan pengaruh negatif. Saya sendiri terlalu FOMO dan nggak sudi hidup tanpa video kucing lucu di Instagram.
Akhir-akhir ini di media sosial muncul tren kata “insecure” yang secara harfiah artinya rendah diri atau minder. Terdapat bermacam-macam konten di media sosial yang mengandung pesan insecurity mulai dari yang menyulut hingga yang berusaha menenangkan dan menyemangati.
Jika Anda tertarik membuat konten yang menyulut, Anda bisa saja memamerkan harta, post IG story sedang makan di restoran, selfie pamer body goals, kronologi karier cermerlang di usia muda, storytelling 100 juta pertama, punya rumah di usia 25, dan lain sebagainya. Untuk yang menenangkan, Anda bisa kasih tips bersyukur, daftar zikir harian berserta manfaatnya, cara journaling, dan lain sebagainya.
Eits, jangan di-judge dulu! Batasan antara yang menyulut dan yang menyemangati itu tergantung pribadi masing-masing bagaimana menanggapinya. Hati orang mana ada yang tahu. Tapi, semoga kita selalu berpikir positif meski punya tetangga yang banyak duit pahadal di rumah saja.
#3 Konsumsi berita setidaknya 3 kali per hari
Kalau yang satu ini hampir membuat saya terkena gangguan mental. Media informasi memang menjadi industri yang mengalami perkembangan terpesat akibat internet. Namun selain munculnya segudang dampak positif, dampak negatif yang ditimbulkannya juga luar biasa dahsyat. Mulai dari munculnya berita hoaks dari mana-mana, clickbait, saling serang di kolom komentar, serta berita negatif terus-menerus dan tak ada hentinya seperti lonjakan Covid-19, pembunuhan, begal, dan resesi ekonomi.
Belum lagi berita mengenai orang-orang bodoh yang mempertontonkan dan mempermalukan diri sendiri baik disengaja maupun nggak. Seperti mengancam dan ngatain kurir COD, marahin kasir minimarket akibat anak curi uang untuk main game, hingga kisah tragis babi hutan tak bersalah yang sudah kita tahu bagaimana nasibnya.
Di sini sebenarnya internet telah menyadarkan kita satu hal penting, yaitu sebagian besar pengguna internet di Indonesia sebenarnya masih belum bisa mengikuti pesatnya perkembangan internet dan teknologi. Saya hanya bisa berspekulasi bahwa kurangnya didikan, attitude, dan gizi sewaktu balita yang menyebabkannya.
Dulu, berita hanya dapat diakses melalui surat kabar dan liputan berita di televisi. Jadi, mayoritas dari kita hanya dapat mengaksesnya setidaknya 3 kali sehari. Koran pagi, liputan pagi, dan liputan sore atau malam. Tapi sekarang kita bisa mengaksesnya 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu alias setiap saat.
Nah, itulah momen-momen yang buat saya kangen hidup di masa pra-internet. Ah, sungguh, masa lalu memang menyenangkan untuk dikenang.
BACA JUGA Telkomnet Instan, Layanan Internet ‘Lemot’ yang Populer pada 2000-an dan artikel Lina Yasmin lainnya.