Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Mitos, meski Tidak Rasional, Tetap Merupakan Kunci Selamat dalam Mendaki Gunung

Aly Reza oleh Aly Reza
19 Juli 2020
A A
mitos mendaki gunung pendakian mojok

mitos mendaki gunung pendakian mojok

Share on FacebookShare on Twitter

Saya ini nggak bisa dibilang anak gunung tulen, wong baru awal bulan ini saya kesampaian melakukan pendakian pertama saya—tepatnya di Gunung Lawu via Cemoro Sewu, Magetan, Jawa Timur. Kendati demikian, saya meyakini betul bahwa di luar faktor kecelakaan teknis dan keteledoran pendaki, ada faktor mistis yang turut andil dalam setiap kejadian yang mengiringi para pendaki. Entah itu hilang arah dan tersesat, mendadak drop, bahkan sampai kasus meninggalnya para pendaki dalam kondisi tak lazim pun, bagi saya, selalu bisa disangkut pautkan dengan pengaruh ‘dunia lain’ yang dirangkum dalam mitos.

Oke, pertama, hal-hal teknis seputar perlengkapan mendaki jelas itu nomor satu. Gimana pun, jangan pernah nganggep sepele hal-hal kecil seperti, jaket, jas hujan, sepatu atau sandal gunung, sarung tangan, kaos kaki, matras, sleeping bag, kompas, bahkan minyak kayu putih sekalipun. Itu masih belum terhitung dengan alat-alat vital lain yang menunjang keamanan selama pendakian, khususnya di gunung-gunung dengan medan cukup berat.

Kedua, biar pendakian lebih aman, usahakan didampingi oleh satu atau dua orang yang sudah lebih berpengalaman dibanding kita yang masih awam. Mereka-mereka ini lah yang nantinya bakal membimbing kita buat mengenali medan, membaca arah, sehingga meminimalisir potensi tersesat. Dan yang paling penting, mereka yang sudah berbekal pengalaman ini tentu punya segudang langkah antisipatif atau paling nggak paham lah gimana caranya ngadepin gejala-gejala hipotermia, cidera fisik, atau kecelakaan-kecelakaan teknis lainnya. Jangan coba-coba melakukan pendakian dengan sesama newbie, karena itu sama saja dengan percobaan bunuh diri.

Tapi gengs, saya rasa dua aspek tersebut nggak bakal memberi pengaruh signifikan kalau mental dan niat nggak kita benerin terlebih dulu. Gini, biar misi pendakian sukses, kita harus punya mental yang kuat bahwa kita bisa. Ini berguna biar kita nggak gampang down kalau udah tahu medan yang kita lalui bener-bener nggak ada ampun. Kalau sepengalaman saya pas di Gunung Lawu, sih, saya sempet hampir nyerah ketika dalam perjalanan dari pos 3 ke pos 4. Tapi saya mensugesti diri saya sendiri kalau perjalanan masih tinggal sebentar, kok. Kalau yang lain bisa, saya harus bisa. Jangan sampai drop dan jadi beban buat yang lain. Alhasil saya jadi termotivasi sendiri dan nggak gampang tumbang.

Yang paling prinsip, semua itu harus dikontrol dengan niat yang ‘bener’. Nggak sedikit para pendaki—apalagi para pemula—yang sejak dari niat saja udah salah dan arogan. Kebanyakan udah berniat pengin naklukin gunung. Yah, emang udah jadi tabiat manusia, sih, cenderung antroposentris; menganggap bahwa hanya manusia lah subjek utama, sementara alam hanyalah objek mati yang bebas buat diapa-apain. Padahal gunung didaki itu bukan buat ditaklukin. Kita mendaki agar kita belajar banyak tentang pentingnya menghargai alam sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Mereka ini biasanya grusa-grusu dan egois. Penginnya segara nyampe puncak. Padahal puncak itu bonus. Tujuan utama tetep pulang bersama dengan selamat. Maka nggak heran jika kasus-kasus hilangnya pendaki biasanya dimulai dari salah seorang pendaki yang berpencar dari rombongan. Alhasil kesasar, hilang, dan tahu-tahu pas ditemukan udah dalam keadaan meregang nyawa.

Kalau menurut penuturan masyarakat setempat—yang tinggal di lereng-lereng gunung—kecelakaan-kecelakaan yang menimpa para pendaki juga sangat mungkin disebabkan karena arogansi si pendaki yang menolak mentah-mentah wanti-wanti dari masyarakat setempat yang umumnya bersifat mitos.

Kayak contohnya, nih, sebelum naik ke Lawu, saya sempet ngobrol sama salah satu pemilik warung kopi di deket area basecamp. Katanya, ada beberapa pantangan dan tata aturan tak tertulis yang harus diperhatikan para pendaki kalau nggak mau bikin marah danyang atau para penghuni gunung. Iya, bagi kepercayaan masyarakat lokal, setiap gunung itu ada danyangnya. Ada titik-titik tertentu yang kita diharuskan mengucapkan salam atau permisi guna menghormati keberadaan mbah danyang—meskipun kita nggak tahu wujud aslinya. Begitu juga ketika kita mau buang air, diharapkan agar kita sudi minta izin terlebih dulu. Misalnya dengan bilang, “Mbah, nyuwun sewu, amit, izin mau buang air. Ngapunten, matur nawun.”

Baca Juga:

Dear Maba, Jangan Gabung UKM Mapala kalau Alasannya Cuma Pengin Naik Gunung Aja

Pacaran di Kebun Raya Bogor Bikin Putus? Halah, Omong Kosong!

Bertandang ke gunung ibaratnya adalah kita sedang bertamu. Sebab di gunung sudah ada kehidupan lain yang sudah lebih dulu ada dari kita. Baik yang kelihatan (tumbuhan dan binatang) maupun yang nggak kasat mata (lelembut dan para danyang). Mereka lah para tuan rumah, Sebagai tamu, maka sudah selayaknya kita bersopan santun dengan nggak ngerusak tanaman, membunuh binatang, atau mencemari lingkungan. Kita juga diharuskan menjaga diri dari ucapan atau perbuatan nggak senonoh. Dan yang sangat subtil; jangan sampai kita ngeremehin mitos-mitos tersebut. Itu kalau kita nggak pengin ‘si tuan rumah’ geram dan ngasih hukuman ke kita, loh, ya.

Kalau menurut pengakuan dari masyarakat setempat, banyaknya kasus hilang dan meninggalnya orang di gunung itu rata-rata karena mengabaikan mitos-mitos yang diyakini masyarakat setempat. Contohnya—biasanya ini terjadi di kalangan pelajar—nggak percaya kalau di gunung ada danyang. Alhasil, entah secara terucap atau cuma membatin, si pendaki nantang, “Kalau memang bener ada, mana buktinya? Tunjukkan eksistensi kalian!”. Atau kadang juga berupa perbuatan seperti buang air tanpa izin, ngomong kotor, dan hal-hal nggak pantes yang udah jadi pantangan. Ditantang kayak gitu nggak salah, tho, kalau akhirnya mbah danyang langsung ambil sikap; nyasarin si pendaki arogan tersebut terus dituntun terjun ke jurang.

Saya sih gini, nggak harus kok percaya sama yang namanya mitos. Tapi kalau udah naik gunung dan bersinggungan dengan kepercayaan masyarakat lokal, pliiis lepaskan dulu jubah akademis atau rasionalitas kita. Kita tanggalkan dulu itu semua. Sebab ada yang lebih penting dari itu yaitu, menjaga etika. Kalau nggak mau mempercayai mitos, niati saja menghormati kepercayaan masyarakat setempat. Sesimpel itu. Nggak salah juga kok kalau misalnya punya target nyampe puncak. Tapi ingat, puncak bukan tujuan utama, dan alam adalah kawan yang bukan untuk ditaklukkan. Sampai sini ngerti kan, mylov?

BACA JUGA Selain Ken Arok, Milenial Emang ‘Doyan’ Kena Tipu Penguasa dan tulisan Aly Reza lainnya.

Baca Juga:  Menggali Kisah Wabah Misterius yang Ternyata Dulu Pernah Melanda Desa Saya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 19 Juli 2020 oleh

Tags: gunungMendaki GunungMitos
Aly Reza

Aly Reza

Muchamad Aly Reza, kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Penulis lepas. Bisa disapa di IG: aly_reza16 atau Email: [email protected]

ArtikelTerkait

Mempelajari Kembali Materi Geografi SMA Lewat Drakor Jirisan terminal mojok

Mengingat Materi Geografi SMA lewat Drakor Jirisan, Kenapa Nggak?

16 November 2021
mitos kebun raya bogor

Kebun Raya Bogor dan Salah Kaprah Tentang Mitos di Dalamnya

18 Juni 2019
8 Mitos Ngawur Seputar Olahraga, Cek Faktanya Terminal Mojok

8 Mitos Ngawur Seputar Olahraga, Cek Faktanya!

4 September 2022
mitos mendaki gunung pendakian mojok

Membaca Watak Buruk Seseorang dan Diri Sendiri dari Tingkahnya di Jalur Pendakian

22 Agustus 2020
4 Gunung di Kabupaten Magelang yang Bisa Didaki terminal mojok.co

4 Gunung di Kabupaten Magelang yang Bisa Didaki

19 Januari 2022
mitos jawa anak sesajen mojok

Penjelasan Ilmiah Beberapa Mitos yang Banyak Diyakini oleh Masyarakat

18 September 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025
Angka Pengangguran di Karawang Tinggi dan Menjadi ironi Industri (Unsplash) Malang

Ketika Malang Sudah Menghadirkan TransJatim, Karawang Masih Santai-santai Saja, padahal Transum Adalah Hak Warga!

29 November 2025
8 Aturan Tak Tertulis Tinggal Surabaya (Unsplash)

8 Aturan Tak Tertulis di Surabaya yang Wajib Kalian Tahu Sebelum Datang ke Sana

1 Desember 2025
Nggak Ada Gunanya Dosen Ngasih Tugas Artikel Akademik dan Wajib Terbit, Cuma Bikin Mahasiswa Stres!

Dosen yang Minta Mahasiswa untuk Kuliah Mandiri Lebih Pemalas dari Mahasiswa Itu Sendiri

5 Desember 2025
Pengakuan Pengguna Tumbler Lion Star: Murah, Awet, dan Tidak Mengancam Masa Depan Karier Siapa pun

Pengakuan Pengguna Tumbler Lion Star: Murah, Awet, dan Tidak Mengancam Masa Depan Karier Siapa pun

29 November 2025
3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

4 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.