Kita yang merasa sangat cinta tanah air atas nama nasionalisme dan kebangsaan, boleh jadi sudah terbiasa membaca ide-ide besar yang ingin diwujudkan dalam skenario pendirian negara Islam berbasis syariah. Sebab literatur tentang tema khilafah memang sudah sedemikian membludak, bahkan hampir semua orang membicarakannya. Bila dipikir-pikir, pernahkah kita mencoba untuk berdialog langsung dengan para pengusung khilafah itu? Sekadar ingin mendengar tentang bagaimana mekanisme dalam mewujudkan negara Islam di Indonesia ini.
Ingatan kita tentang ideologi khilafah mungkin hanya terpusat di HTI, karena organisasi inilah yang paling getol dan lantang dalam menyuarakan aspirasi politik berbasis negara Islam. Meski mereka sudah bubar dan entah gerakan macam apa yang ingin mereka lakukan pasca dibubarkannya HTI, yang jelas, banyak orang sekarang ini yang justru terpusat pada gagasan khilafah ala FPI, yang menurut saya baru terdengar lantaran pemerintahan Jokowi belum juga memperpanjang izin ormas yang diduga juga mengusung sistem khilafah ini.
Saya sendiri tidak terlalu mengetahui apa saja materi yang tercantum dalam anggaran dasar/rumah tangga di tubuh ormas FPI ini. Banyak orang yang ternyata juga baru tahu bahwa FPI, dalam anggaran dasarnya, mencantumkan sebuah gagasan khilafah yang menurut pemerintah perlu dikoreksi agar ormas ini bisa diperpanjang izinnya.
Pertanyaannya, bila memang FPI secara terang dan jelas mengusung sebuah sistem khilafah, betapa pun berbeda dengan HTI, tapi kenapa baru dipersoalkan sekarang? Mengapa dulu-dulu tidak pernah ada persinggungan yang membahas materi dari anggaran dasar dari ormas tersebut? Apakah orang-orang yang berwenang mengurusi perpanjangan ormas ini dari tahun ke tahun telah lalai? Atau memang gagasan khilafah FPI tidak cukup berbahaya bagi eksistensi NKRI.
Yang jelas, wacana kekhilafahan di tubuh FPI baru diwacanakan lantaran pemerintah sudah terlebih dahulu membubarkan HTI, dan di sisi lain juga sedang gencar-gencarnya membasmi penyakit agama yang disebut radikalisme-terorisme. Meski cara pembasmiannya pun masih menjadi polemik di kalangan masyarakat, tapi intinya pemerintah sedang ingin bersih-bersih soal konservatisme dalam agama.
Menarik disimak dari Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Pancasila, Megawati Sukarnoputri, bahkan beliau menantang para pengusung khilafah untuk datang ke Fraksi PDIP di Dewan Perwakilan Rakyat. “Kami Fraksi PDI Perjuangan itu membuka diri, mari datang ke fraksi kami”, ungkap Megawati dalam Presidential Lecture Internalisasi dan Pembinaan Pancasila di Istana Negara, Jakarta, Desember 2019.
Bagi saya, mungkin juga kita semua, apa yang disampaikan oleh Bu Mega itu cukup memberi angin segar atas kegelisahan banyak orang tentang eksistensi para pengusung ide khilafah itu. Bahwa tidak cukup bagi kita untuk sekadar mempelajari dan menentang ide-ide mereka atas nama NKRI dan Pancasila, kita butuh mendengar langsung apa yang sesungguhnya diinginkan oleh para pengusung khilafah itu.
Lebih jelas lagi, kita perlu mendengar dan menanyakan secara langsung kepada mereka tentang siapa yang akan menjadi khalifah bila sistem negara Islam diterapkan di Indonesia? Bagaimana pula mekanisme menjalankan hukum-hukum agama dalam suatu negara, apakah seluruh konstitusi negara ini harus diganti atau bagaimana? Sebab, sistem khilafah adalah sebuah nation tanpa border (negara tanpa batas), lalu bagaimana cara memilih khilafah?
Dalam Pasal 6 AD/ART FPI ditulis bahwa visi dan misi FPI adalah penerapan syariat Islam secara kafah (menyeluruh) di bawah naungan khilafah Islamiah menurut manhaj nubuwwah, melalui pelaksanaan dakwah, penegakkan hisbah, dan pengamalan jihad.
Menurut Ketua Dewan Pengurus Pusat FPI, Ahmad Sobri Lubis, maksud dari pasal di atas adalah mensinergikan hubungan kerja sama semua negara Islam khususnya anggota OKI, untuk menghilangkan semua sekat yang ada di antara negara-negara tersebut. Seperti Arab Saudi, Mesir, Turki, Yaman, Pakistan, Malaysia, Brunei, dan sebagainya.
Dalam acara diskusi Indonesia Lawyers Club di TVOne, Selasa malam, 3 Desember, Lubis juga menjelaskan lagi pengertian khilafah Islamiyah yang diperjuangkan oleh FPI. Menurutnya, penerapannya adalah membangun kerja sama untuk persatuan dunia Islam. Contohnya adalah dengan adanya pembangunan parlemen bersama dunia Islam, penyatuan mata uang dunia Islam, menghilangkan atau menghapus sekat-sekat antara wilayah seperti visa.
FPI juga ingin memperjuangkan adanya kesatuan militer bersama negara-negara Islam dan menggelar atau mengadakan seperti satelit penyatuan dunia Islam. Di samping itu, konsep jihad yang ingin digalakkan oleh FPI adalah jihad konstitusional. Artinya berjuang semampu mungkin dalam menerapkan nilai-nilai syariat ke dalam undang-undang sebagaimana kelompok-kelompok lain juga memperjuangkannya.
Bila yang ingin diperjuangkan FPI adalah pendirian khilafah sebagaimana di atas, memangnya negara-negara lain mau berkompromi dengan penyatuan negara Islam? Bila mau, lantas di mana pusat sistem kehilafahan itu? Saya sendiri pesimis bila negara-negara lain mau membangun sistem sebagaimana yang ditawarkan FPI.
Terlepas dari semua itu, yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini adalah, upaya dialog langsung antara pemerintah dengan para pengusung khilafah itu. Bila dimungkinkan, akan lebih baik bila pemerintah mau membangun dialog langsung dengan mereka. Bukan bermaksud memberi kesempatan kepada mereka tentang bagaimana mewujudkan negara Islam, tapi lebih sebagai upaya bersama untuk menjembatani kesenjangan dan ketidaksepahaman pemikiran antara kedua belah pihak.
Kekuatan ideologi memang harus dilawan dengan ideologi pula, tapi bila dua kekuatan itu saling berbenturan terus-menerus tanpa menemukan titik temu yang jelas, akibatnya adalah konflik dan bisa-bisa terjadi chaos di masyarakat. Benturan ideologi dalam konteks jangka panjang juga termasuk sesuatu yang berbahaya.
Untuk itu, perlu adanya ruang dialog yang sehat dan kondusif untuk mempertemukan dua gagasan besar yang saling berlawanan. Salah satu caranya, pemerintah yang saat ini berkuasa memberi fasilitas atas agenda pertemuan itu. Mendengarkan dan berdialog langsung merupakan salah satu cara yang bisa dikatakan akan mampu mencairkan polemik berkepanjangan ini.
Kita harus sadar bahwa berbagai ide khilafah yang diusung oleh banyak kelompok Islam, baik yang ada di Indonesia maupun yang berskala internasional, bukan murni lahir secara internal di tubuh umat Islam sendiri. Para pengusung khilafah menganggap negara-negara dengan sistem politik modern, seperti sekuler dan demokrasi, banyak gagal dalam membangun negara yang adil dan makmur.
Atas dasar itu, muncul solusi Islam yang mereka anggap mampu menjembatani ketidakadilan dan ketimpangan sosial akibat ketidakbecusan sistem negara modern dalam mengatur rakyat dan membangun tatanan sosial yang adil.
Sistem negara modern, sebagaimana juga yang dianut di Indonesia, memang tidak bertanggung jawab atas lahirnya gagasan khilafah. Tapi paling tidak negara perlu mendengar langsung kegelisahan mereka, mencoba memahami keinginan-keinginan mereka, dan selanjutnya mencari solusi bersama atas berbagai masalah yang terjadi. Dengan begitu, hemat saya, akan memudahkan bagi kedua belah pihak untuk saling memahami dan memberi pengertian.
BACA JUGA Membubarkan Banser dan Pembubaran FPI: Serius? atau tulisan Rohmatul Izad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.