Membongkar 10 Kebohongan Jogja yang Diyakini Banyak Orang

Kok Bisa Ada Orang Bahagia di Jogja, padahal Hidup Mereka Susah?  

Kok Bisa Ada Orang Bahagia di Jogja, padahal Hidup Mereka Susah? (Bangoland via Shutterstock.com)

Perhatian: artikel ini akan membongkar kebohongan yang selama ini dipercaya masyarakat luas terhadap Jogja. Seluruh isi artikel ini berdasarkan pengalaman penulis dan beberapa orang yang hidup di daerah istimewa ini. Apabila merasa isi artikel ini menyinggung kecintaan dan harga diri sebagai warga Jogja, penulis menyatakan ra urusan.

Bicara kebohongan di Jogja, sebenarnya tidak melulu membahas politik dan sejenisnya. Lha wong setiap sudut Jogja itu punya cerita, dan kadang ceritanya bohong. Tapi gapapa, namanya jualan cerita memang perlu bumbu-bumbu yang menggoda.

Maka anggap saja artikel ini sebagai mythbuster. Karena saya yakin, Jogja akan tetap istimewa tanpa kebohongan-kebohongan ini. Atau Jogja istimewa karena hal-hal yang akan saya bongkar ini? Yo embuh sih. Berikut adalah list kebohongan Jogja dan bantahan atas itu:

#1 Kalau pakai busana warna hijau di Parangtritis, bisa celaka

Warna hijau dan Pantai Parangtritis adalah mitos paling sering dibahas. Bahkan masih jadi bahan konten di berbagai kanal YouTube yang membahas Jogja. Mitos ini dikaitkan dengan kerajaan Laut Selatan yang punya fetish pada warna hijau. Padahal, terbukti banyak orang yang fine-fine saja berwisata di Parangtritis dengan berbusana warna hijau.

Saya pribadi dan beberapa kawan sudah sering membuktikan ini. Baik sengaja ataupun tanpa sengaja. Yang penting ketika plesir di Parangtritis dengan selamat itu bukan warna baju, tapi mematuhi peringatan dari Tim SAR setempat. Mau pakai kaos sampai kolor warna merah marun, Anda tetap terancam ketika ombak pantai sedang gemuk-gemuknya

#2 Tamansari dibangun dengan putih telur

Saya pernah menulis tentang mitos ini, dan sampai berurusan dengan beberapa guide. Masalahnya, mitos Istana Air Tamansari dibangun dengan putih telur ini masih saja dibahas. Beberapa teman saya yang baru pertama ke Jogja pasti mendapat dongeng ra mashok ini.

Memang benar, pada masanya mortar pengikat batu bata dicampur dengan putih telur. Tapi bukan berarti putih telur saja seperti dongeng para guide. Dan era penggunaan putih telur dalam mortar ini lebih tua dari masa pembangunan Tamansari. Pada masa pembangunannya, penggunaan semen dari batu kapur telah umum dikenal.

Rumangsamu Tamansari ki lumpia po. Ngelu.

#3 Jalan dengan mata tertutup di Alun-alun Utara bisa mengabulkan permohonan

Saya sungkan membahas mitos Jogja satu ini. Karena beberapa orang mencari nafkah dari menyewakan penutup mata. Tapi demi langit dan bumi, mitos masangin (berjalan dengan mata tertutup menuju tengah Alun-alun Selatan, di antara dua beringin) itu tidak nyata. Banyak orang sudah membuktikan, dan benar-benar tidak ada mitos pendukung tentang masangin ini.

Saya sendiri pernah mencoba, bahkan sampai berlari dan berhasil berhenti di tengah beringin kembar. Buktinya permohonan saya tidak pernah terwujud. Ngomong-ngomong, waktu itu saya memohon UMR Jogja setara dengan UMR Cikarang.

#4 Penuh sawah dan banyak sepeda

Jika Anda bayangkan Jogja seperti itu, fix Anda kebanyakan nonton FTV. Yah, tidak semua sudut seromantis itu. Silahkan cari sawah di daerah Gondomanan, pasti nggak nemu. Tapi memang, beberapa sudut di pinggiran kota masih ada sawah beberapa petak. Itu pun bisa jadi hilang di kemudian hari karena jadi perumahan.

Pinggiran area kabupaten di Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta) memang masih banyak sawah. Tapi jangan bayangkan romantisme muda-mudi bersepeda ala FTV. Yang ada, orang-orang tua borjuis pakai sepeda lipat, dan anak mudanya pacaran pakai KLX atau PCX. Kalaupun masih ada yang sehari-hari pakai sepeda, itu bukan karena romantis. Tapi terpaksa!

#5 Setiap sudutnya romantis

Masalah romantis tadi juga mitos. Banyak yang bilang setiap sudut Jogja itu romantis. Nah, sudut sebelah mana? Paling area Tugu-Malioboro-Kraton. Kalau tidak ya Kaliurang, pantai selatan, dan spot wisata lain. Ya cuma itu saja yang romantis, sisanya ya biasa wae kalau bukan menyedihkan.

Coba main-main ke area bantaran sungai seperti Code dan Tukangan. Atau ke daerah Piyungan yang tercemar sampah. Atau ke Watu Kodok yang sedang kisruh klaim Sultan Ground. Tidak ada yang romantis di sana.

#6 Daerah yang makmur

Pasti Anda mengira saya akan mengungkit-ungkit masalah UMR. Yah, nyenggol sedikit sih. Tapi lebih riil, Gini Ratio menunjukkan ketimpangan di Jogja paling tinggi se-Indonesia. Bahkan lebih tinggi daripada rerata nasional. Tentang Gini Ratio, Anda bisa membaca di sini.

Terlepas dari Gini Ratio, Jogja sendiri harus disokong Jawa Tengah untuk bertahan hidup. Dari suplai pangan dan sandang, sampai lapangan pekerjaan. Ya kalau dibilang makmur, mungkin untuk mereka yang sudah terlanjur hidup mapan di sini. Tapi untuk sebagian besar orang, Gini Ratio dan ketidakmampuan untuk self sustain adalah jawabannya.

#7 Murah

Jogja itu murah, murah dengkulmu mlocot! Apanya yang murah? Tanah sudah bersaing dengan Jakarta dan Bali. Bahkan tanah di pinggiran juga mulai mahal. Harga kos-kosan juga cukup tinggi, ketika dibandingkan dengan UMR. Perkara bensin dan kebutuhan hidup juga sama dengan daerah lain. Lha wong tidak ada harga istimewa untuk harga kebutuhan hidup di daerah istimewa.

Kalau membandingkan harga makanan, ya jangan bandingkan harga Jakarta Pusat dengan Jogja. Pasti akan terlihat murah. Bandingkan saja dengan kabupaten lain yang mengelilingi Jogja. Jelas Jogja lebih mahal selayaknya kota besar pada umumnya.

#8 Indonesia utang uang ke Jogja

Jujur, dulu saya percaya mitos ini. Dongeng Kraton Jogja menjadi penyumbang utama berdirinya Indonesia memang romantis. Tapi bukan utang ya. Jadi jangan bayangkan Jogja bisa menagih uang 6,5 juta gulden itu kalau sedang BU atau ngambek seperti masa referendum.

Toh tidak hanya Jogja, tapi banyak kerajaan lain serta para saudagar yang ikut patungan. Beberapa bahkan lebih dari 6,5 juta gulden. Yang membuat Jogja istimewa secara hukum ya karena bergabung dengan Indonesia ketika menyandang status sebagai kerajaan merdeka. Kalau perkara sumbangsih, toh semua daerah ikut menyumbang. Termasuk rakyat jelata Jogja.

#9 Banyak begal

Urusan kriminalitas seperti perampokan dan begal, Jogja memang rendah. Bahkan sangat jarang muncul berita pembegalan. Sekalinya muncul berita begal, malah begal payudara yang tidak lebih dari pelecehan seksual yang menjijikkan.

Yang banyak di Jogja itu bukan begal, tapi klitih. Penyerangan yang sifatnya fatal dan gerilya ini berbeda dengan begal. Tidak ada perampokan atau perebutan kendaraan. Yang ada hanya serangan satset tanpa mengambil barang. Kalian tanya kenapa mereka kek gitu? Sama, saya juga heran sama kegoblokan orang-orang tersebut.

#10 Jauh dari isu SARA dan radikalisme

Memang benar Jogja tidak ada aksi demo ormas agama. Benar juga tidak ada penyegelan tempat ibadah akibat penolakan “warga”. Tapi apa berarti jauh dan bebas isu SARA dan radikalisme? Tentu tidak.

Isu Tionghoa masih menjadi hukum adat, di mana mereka tidak boleh memiliki tanah dan pemukiman. Tekanan pada masyarakat Indonesia Timur masih kuat, sampai cari kos saja susah. Kalau radikalisme, beberapa terduga teroris juga terciduk di Jogja. Bahkan penyerangan umat agama lain sesekali terjadi, baik brutal maupun senyap. Sejauh ini, seingat saya, tidak ada pengeboman di tempat ibadah Jogja. Dan semoga tidak ada. 

Kebohongan di atas jangan dijadikan alasan Anda untuk tidak berkunjung ke Jogja. Kota ini, tetap punya magis dan wisata yang mengesankan buat Anda. Tetap dikunjungi, tapi dengan pikiran yang lebih waras dan nggak terkontaminasi romantisasi.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kok Bisa Ada Orang Bahagia di Jogja, padahal Hidup Mereka Susah?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version