Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Membedah Tagline ‘Mondok Sampek Rabi, Ngaji Sampek Mati’ Anak Pesantren

Aly Reza oleh Aly Reza
7 November 2020
A A
tebuireng dipati wirabraja islamisasi lasem pondok pesantren ngajio sampek mati mojok

tebuireng dipati wirabraja islamisasi lasem pondok pesantren ngajio sampek mati mojok

Share on FacebookShare on Twitter

Selain pola hidup di pesantren yang unik dan memorable, para santri, di manapun itu, juga punya tagline andalan yang cukup menarik. Tagline tersebut berbunyi, “Mondok sampek rabi, ngaji sampek mati (Mondok sampai nikah, ngaji sampai mati).”

Sepintas, tagline ini terdengar sangat sederhana dan nggak filosofis babar blas, ya? Eits, jangan salah. Jika ditelisik lagi, tagline ini muncul bukan sembarang othak-athik gathuk. Bukan ngasal nyusun kalimat yang enak dibaca dan didenger saja. Tapi, terdapat prinsip mendasar yang dipegang teguh oleh para santri dalam kehidupan di pesantren dan ketika sudah pulang ke desa masing-masing.

Secara historis, nggak ada yang tahu persis sih mengenai sejak dari kapan tagline ini mulai muncul dalam lingkungan pesantren. Namun, sependek pengetahuan saya, tagline ini memang baru populer dalam kurun tiga sampai lima tahun terakhir, seiring dengan munculnya istilah khas santri Gen Z. Kayak misalnya, santri hits lah, santri kece lah, santri milenial lah, dan istilah-istilah aneh yang lain. Nah, berbarengan dengan itu, tagline “Mondok sampek rabi, ngaji sampek mati” kembali mencuat ke permukaan.

Sebenernya ada nilai penting yang hendak disampaikan dalam tagline andalan tersebut. Namun, banyak sekali santri—khususnya santri-santri zaman sekarang—yang pengetahuan dan pemahamannya nggak sampai sejauh itu.

Bukti konkretnya, saya sempet lah iseng-iseng menggali informasi dari santri-santri di eks almamater saya, yang dalam pantauan saya memang sering nyantumin tagline tersebut dalam story WA mereka. Bahkan tagline tersebut juga disablon di kaos yang mereka buat.

Sayangnya, pas saya tanya-tanya, ternyata nihil. Nggak ada informasi apa pun yang bisa saya gali dari mereka. Sebab, rata-rata mereka mengaku menggunakan tagline tersebut hanya karena easy listening saja, nggak tahu detail filosofisnya kayak gimana. It’s okay, nggak masalah. Itu lah kenapa artikel ini saya tulis.

Saya nggak berani jamin kalau yang bakal saya uraikan ini nanti seratus persen tepat. Namun, yang jelas, informasi ini saya peroleh dari hasil ngobrol dengan salah satu pengurus di pesantren saya dulu.

Kita mulai dari bagian “Mondok sampek rabi (mondok sampai nikah)” dulu, ya. Begini, bagian ini sebenernya memuat prinsip perihal rentang waktu yang harus ditempuh seorang santri dalam menimba ilmu di pesantren. Mondok sampai rabi menunjukkan rentang waktu tersebut yang sebenernya sangat-sangat nggak sebentar.

Baca Juga:

Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

Persamaan Kontroversi Feodalisme Pondok Pesantren dan Liverpool yang Dibantu Wasit ketika Menjadi Juara Liga Inggris

Zaman dulu, seorang santri baru dinyatakan tuntas masa mondoknya (lulus) kalau dia sudah matang dari segi usia. Maksudnya sampai usia matang untuk rabi (menikah). Mangkanya, santri-santri zaman dulu kalau mondok itu durasinya nggak main-main. Belasan bahkan puluhan tahun, Rek.

Mengingat juga sistem pesantren zaman dulu nggak menggunakan sistem klasikal. Jadinya lulus nggaknya seorang santri itu ditentukan oleh keputusan dari Abah Yai langsung. Berbeda dengan sistem pesantren hari ini, di mana santri bisa minta boyong sewaktu-waktu, meskipun masuk pesantrennya belum genap seminggu misalnya. Sementara zaman dulu, yang umum terjadi, pokoknya sekali nyemplung ke pesantren, pantang boyongan sebelum Abah Yai menitahkan.

Hal tersebut dimaksudkan agar para santri bener-bener siap berkiprah—menjadi seorang pemimpin—di desanya masing-masing setelah keluar dari pesantren. Usia matang, ilmu agama juga sudah cukup ngelotok. Ya biar perjalanan nyantrinya nggak sia-sia, dan yang paling penting adalah membanggakan almamater.

Sebab, memang indikator keberhasilan suatu pondok pesantren di zaman dulu itu adalah jika para alumninya bisa berkiprah di masyarakat, khususnya dalam bidang keagamaan. Entah menjadi penceramah, guru ngaji, pokoknya yang penting memberi kemanfaatan kolektif bagi lingkungan sekitar dia tinggal. Dan kalau dicermati, dibandingkan dengan santri zaman sekarang, santri-santri zaman dulu memang terlihat lebih kontributif di tengah masyarakat.

Nah biasanya, seturut pengakuan dari pengurus yang saya ajak ngobrol, isyarat bahwa santri sudah dinyatakan tuntas masa nyantrinya adalah ketika ia secara personal dipanggil Abah Yai ke ndalem. Si santri bakal ditanyai perihal siap nggak dia menikah? Dari obrolan ini Abah Yai kemudian menutupnya dengan pernyataan bahwa si santri sudah boleh buat boyong dari pesantren. Untuk kasus santri yang beruntung, biasanya malah dicarikan calon sama Abah Yai sendiri. Nggak cuma itu, bahkan sampai dinikahkan juga, loh.

Pemboyongan santri oleh Abah Yai ini bukannya tanpa syarat. Sebab, satu hal yang ditekankan oleh Abah Yai, yaitu “Ngajio sampek mati (Mengajilah sampai mati)” Maksudnya adalah, walaupun sudah nggak di pesantren lagi, seorang santri jangan sampai berhenti dari aktivitas belajar (tanggung jawab personal) atau mengajar ilmu-ilmu keagamaan (tanggung jawab sosial).

Tanggung jawab personal yakni, walaupun sudah lulus dari pesantren, seorang santri harus tetap istikamah aktif dalam majelis-majelis ilmu (agama) di mana pun dia berada. Alias nggak boleh ngerasa puas sama apa yang sudah diperoleh selama puluhan tahun di pesantren.

Dalam praktiknya, paling minimal seorang santri harus tetep mendaras ulang kitab-kitab yang pernah dia pelajari sebelumnya. Istilah pesantrennya adalah kegiatan mutholaah. Komitmen ini didasarkan pada sebuah hadis yang menyebut bahwa menuntut ilmu itu dari al-mahdi (dalam kandungan) hingga al-lahdi (liang pemakaman).

Dan lebih dari itu, seorang santri haruslah menjaga konsistensi dalam mengerjakan amalan-amalan yang menjadi rutinan selama di pesantren. Misalnya, jika di pesantren istikamah salat berjamaah, setelah nggak di pesantren pun masih harus berusaha konsisten salat berjamaah. Jika di pesantren tekun baca Alquran, salat sunnah, puasa sunnah, zikiran, atau jenis amalan yang lain, sepulangnya dari pesantren amalan-amalan tersebut sebisa mungkin harus tetep dijaga.

Adapun untuk tanggung jawab sosial, yaitu bagaimana seorang santri membagikan ilmunya kepada masyarakat dalam bentuk mengajar ngaji atau ceramah-ceramah agama. Salah satu tanggung jawab dan kewajiban seorang yang berilmu adalah tabligh (menyampaikan) ilmunya. Dasarnya adalah hadis yang berbunyi, “Sampaikan kebenaran walau satu ayat.”

Begitu sih, hasil obrolan antara saya dengan salah seorang pengurus di pesantren saya dulu, yang mungkin lebih cenderung pada konteks pesantren di masa lalu. Kalau temen-temen punya interpretasi lain mengenai tagline “Mondok sampek rabi, ngaji sampek mati”, ya monggo disampaikan juga. Sing penting aja padha jotos-jotosan, yo?

BACA JUGA Jangan Coba-coba Punya Isian Demit, di Badan Rasanya Nggak Enak Banget! dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 6 November 2020 oleh

Tags: ngajiPesantrenPondok
Aly Reza

Aly Reza

Muchamad Aly Reza, kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Penulis lepas. Bisa disapa di IG: aly_reza16 atau Email: [email protected]

ArtikelTerkait

6 rekomendasi pondok pesantren di Malang mojok

6 Rekomendasi Pesantren Dekat Kampus di Malang

19 November 2020
Kalau di Kota Ada Kirim Parsel, di Desa Ada Ater-ater Tipe-tipe Orang saat Menunggu Lebaran Datang Terima kasih kepada Tim Pencari Hilal! Ramadan Sudah Datang, eh Malah Menanti Bulan Syawal Ramadan Sudah Datang, eh Malah Menanti Lebaran Buku Turutan Legendaris dan Variasi Buku Belajar Huruf Hijaiyah dari Masa ke Masa Serba-serbi Belajar dan Mengamalkan Surah Alfatihah Pandemi dan Ikhtiar Zakat Menuju Manusia Saleh Sosial Inovasi Produk Mushaf Alquran, Mana yang Jadi Pilihanmu? Tahun 2020 dan Renungan ‘Amul Huzni Ngaji Alhikam dan Kegalauan Nasib Usaha Kita Nggak Takut Hantu, Cuma Pas Bulan Ramadan Doang? Saya Masih Penasaran dengan Sensasi Sahur On The Road Menuai Hikmah Nyanyian Pujian di Masjid Kampung Mengenang Asyiknya Main Petasan Setelah Tarawih Horornya Antrean Panjang di Pesantren Tiap Ramadan Menjadi Bucin Syar'i dengan Syair Kasidah Burdah Drama Bukber: Sungkan Balik Duluan tapi Takut Ketinggalan Tarawih Berjamaah Opsi Nama Anak yang Lahir di Bulan Ramadan, Selain Ramadan Panduan buat Ngabuburit di Rumah Aja Sebagai Santri, Berbuka Bersama Kiai Adalah Pengalaman yang Spesial Panduan buat Ngabuburit di Rumah Aja Pandemi Corona Datang, Ngaji Daring Jadi Andalan Tips Buka Bersama Anti Kejang karena Kantong Kering Mengenang Asyiknya Main Petasan Setelah Tarawih Rebutan Nonton Acara Sahur yang Seru-seruan vs Tausiyah Opsi Nama Anak yang Lahir di Bulan Ramadan, Selain Ramadan Drama Bukber: Sungkan Balik Duluan tapi Takut Ketinggalan Tarawih Berjamaah Sebagai Santri, Berbuka Bersama Kiai Adalah Pengalaman yang Spesial Aduh, Lemah Amat Terlalu Ngeribetin Warung Makan yang Tetap Buka Saat Ramadan Tong Tek: Tradisi Bangunin Sahur yang Dirindukan Kolak: Santapan Legendaris Saat Ramadan

Pandemi Corona Datang, Ngaji Daring Jadi Andalan

1 Mei 2020
PMA PPKS, Langkah Progresif Kementerian Agama yang Patut Dirayakan Terminal Mojok

PMA PPKS, Langkah Progresif Kementerian Agama yang Patut Dirayakan

26 Oktober 2022
Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

Mahasiswa UIN Nggak Wajib Nyantri, tapi kalau Nggak Nyantri ya Kebangetan

30 November 2025
Sabun Pepaya: Murah yang Jadi Andalan Anak Pesantren Kayak Saya terminal mojok.co

Sabun Pepaya: Murah dan Jadi Andalan Anak Pesantren Kayak Saya

17 Desember 2020
Oknum Lora di Pesantren Kerap Bikin Jengkel, Bertingkah Seenaknya Bawa-bawa Nama Besar Bapaknya

Oknum Lora di Pesantren Kerap Bikin Jengkel, Bertingkah Seenaknya Bawa-bawa Nama Besar Bapaknya

21 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang Mojok.co

4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang

29 November 2025
8 Aturan Tak Tertulis Tinggal Surabaya (Unsplash)

8 Aturan Tak Tertulis di Surabaya yang Wajib Kalian Tahu Sebelum Datang ke Sana

1 Desember 2025
Sudah Saatnya Bandara di Indonesia Menjadi Ruang untuk Mempopulerkan Makanan Khas Daerah

Sudah Saatnya Bandara di Indonesia Menjadi Ruang untuk Mempopulerkan Makanan Khas Daerah

3 Desember 2025
Madiun, Kota Kecil yang Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya Mojok.co

Madiun, Kota Kecil yang Sudah Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya

2 Desember 2025
5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain Mojok.co

5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain

1 Desember 2025
5 Tips Agar Kantong Nggak Jebol Dikeroyok Diskon Natal dan Tahun Baru Mojok.co

5 Tips Agar Kantong Nggak Jebol Dikeroyok Diskon Natal dan Tahun Baru

2 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.