Budaya petan sambil sambat dan gibah harus dilestarikan agar emak-emak tetap terjaga kesehatan mentalnya.
Sekolah tempat saya mengajar, yakni SD Mafaza Integrated Smart School Malang memiliki kegiatan yang menjadi agenda rutin bulanan. Tajuk kegiatannya adalah Nguri-uri Budaya Nusantara yang dikemas dalam format sarasehan. Memang judul kegiatannya kental beraroma Jawa, namun isinya berupa pengenalan budaya dari seluruh Indonesia. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah untuk memperluas wawasan guru dan siswa akan budaya dari berbagai daerah di tanah air. Sebuah tujuan yang mulia bukan?
Oktober ini giliran budaya dari tanah Papua yang diangkat sebagai tema. Topik spesifiknya adalah tari yamko rambe yamko. Karena topiknya mengenai tarian, maka sarasehannya nggak hanya berisi wawasan dan teori dan saja dong. Para guru dan siswa diajak untuk mempraktikkan tarian dari ujung timur Nusantara tersebut. Seru? jelaS, mateni S.
Tapi, bukan itu bagian terbaiknya. Masih ada plot twist yang membuat saya terinspirasi untuk menuliskan catatan ini. Di akhir acara sarasehan ada beberapa Ibu guru yang meriung dan membuat forum santai sendiri. Saya yang kepo mencoba mendekat untuk mencuri dengar. Menguping pembicaraan mereka ini sangat urgent saudara, sebab jika ada lebih dari tiga wanita dewasa yang berkumpul pasti ada isu penting menyangkut nasib bangsa yang sedang dibahas.
Dan ternyata benar, mereka sedang membicarakan isu-isu terupdate. Mulai dari tugas menyusun proyek Kurikulum Merdeka dari Pengawas Sekolah, coreng-morengnya wajah institusi tukang bakso berseragam coklat (if you know what i mean), bursa calon Presiden 2024, hingga potensi resesi ekonomi global. Nah, apa yang Ibu-ibu guru lakukan tersebut mengingatkan saya pada kenangan hidup di kampung sekira 20 hingga 30 tahunan yang lalu. Kenangan tersebut berupa kebiasaan atau budaya pétan.
Kebiasaan pétan sebagai sarana healing êndék- êndékan
Setidaknya hingga akhir tahun 90an saya masih sering menjumpai emak-emak di kampung saya yang berkumpul sembari ngobrol santai untuk mengisi waktu luang. Forum santai ini lazimnya disatukan dengan kegiatan super elok yang bernama pétan. Yups, pétan a.k.a. mencari kutu rambut yang dilakukan secara berjamaah.
Aktivitas tersebut biasanya rutin dilakukan selepas jam 10 pagi, setelah mereka selesai dengan pekerjaan rumah tangganya. Ini menjadi semacam healing êndék- êndékan pelepas penat bagi mereka. Rutinitas pétan ini menjadi penting, sebab dalam forum santai tersebut mereka bisa menyalurkan dua hal sekaligus, yakni sambat (curhat) dan rasan-rasan (gibah).
Dalam rutinitas pétan, ini ibu-ibu bisa saling curhat mengenai kehidupan rumah tangganya masing-masing. Bisa tentang anaknya yang jomblo berkepanjangan, tentang mertuanya yang judes setengah edan, atau tentang suami yang mulai punya gebetan. Perkara gibah jangan ditanya lagi. Seorang dai kondang nasional pernah berucap perkara gibah ibu-ibu ini: jika ada dua emak-emak bertemu mereka akan ngrasani orang se-RW. Jika ada tiga, cakupan gibahnya menjadi sekecamatan, dan jika lebih dari 5 ibu-ibu bertemu maka bisa habis se-Indonesia Raya dirasani mereka.
Eits, tapi jangan buru-buru memberi judgement negatif terhadap kebiasaan pétan sambil sambat dan rasan-rasan ini. Kedua hal tersebut sangat penting lho bagi kesehatan mental ibu-ibu. Sebab, dengan curhat mereka bisa saling berbagi pundak sebagai sandaran beban. Sedangkan melalui gibah mereka bisa mengeluarkan segala kesumpekan pikiran.
Melestarikan budaya pétan demi kesehatan mental ibu-ibu
Coba saja sampeyan bayangkan jika emak-emak tersebut tidak menemukan saluran yang tepat untuk sambat dan gibah, bisa depresi mereka. Sedangkan obat depresi tidaklah murah. Di tahun-tahun tersebut, gangguan mental masih belum dicover BPJS (lha ya jelas, wong BPJS belum ada). Memikirkan biaya pengobatannya saja bisa membuat level depresinya berpangkat dua.
Di zaman sekarang kurang lebih ya masih sama saja. Meskipun penyakit mental sudah ada yang ditanggung negara, namun prosedur birokrasinya masih lumayan njlimet juga. Selain itu social cost yang mesti ditanggung keluarga penderita gangguan mental juga amat berat. Masyarakat acapkali masih memberi stigma buruk kepada mereka yang mengalami mental disease. Hal ini bukannya membantu meringankan tapi malah menambahi beban mental bagi keluarga penderita.
Jika membicarakan gangguan mental bagi ibu-ibu yang tinggal di perkotaan, kita akan menjumpai sumber penyebab depresi yang relatif lebih besar daripada emak-emak yang tinggal di desa. Faktor-faktor yang lazim seperti trauma, pelecehan seksual, kekerasan emosional, serta riwayat keluarga; masih ditambah dengan faktor ekonomi yang tekanannya relatif lebih besar bagi masyarakat perkotaan.
Nah, untuk mengurangi risiko gangguan mental tersebut diperlukan sarana healing yang rutin dan terjangkau. Bagi mereka yang dianugerahi privilege berupa kekayaan sih tidak menjadi soal. Mereka bisa memilih cara healing apa pun dan dimanapun. Bisa dengan booking sesi cerita dengan psikiater, atau bisa juga melakukan retreat ke Uganda.
Sedangkan bagi kaum menengah (meneng tapi terengah-engah) perkotaan, tentu butuh sarana yang lebih terjangkau, bahkan kalau bisa yang nirbiaya. Maka acara pétan plus sambat dan rasan-rasan bisa menjadi solusi praktis serta ekonomis yang patut dicoba.
But there’s another problem, bagaimana bisa pétan jika mayoritas wanita zaman sekarang jilbaban?
Penulis: Rois Pakne Sekar
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Ya Tuhan, Mengapa Ghibah Itu Menyenangkan?