“Di daerahku hidupnya lebih enak, makanannya murah-murah,” tulis seorang warganet di sebuah kolom komentar. Warganet lain menyaut, membantah argumen sebelumnya dengan menyatakan makanan murah di daerahnya adalah nilai plus. Ada lagi yang menyambar dengan menyuarakan murahnya makanan kedua daerah tadi cuma murah di cerita. Sejatinya, daerah asal orang ketiga ini yang punya harga makanan yang lebih murah.
Debat ra cetho di atas adalah contoh nyata dari argumen absurd seputar adu kesejahteraan. Seolah-olah kesejahteraan sebuah daerah hanya ditentukan oleh makanan murah.
Kenapa saya bilang absurd? Ya bagaimana mungkin bicara kesejahteraan sebuah tatanan masyarakat dilegitimasi dengan makanan murah? Tapi, argumen nggatheli ini masih saja menjadi senjata pamungkas saat berdebat dan beradu masalah kedaerahan. Sudah chauvinistic, absurd pula.
Saya bisa memaklumi bagaimana makanan menjadi alasan untuk menakar sebuah kesejahteraan. Sejak SD kita sudah diajari perihal kebutuhan manusia. Kebutuhan pokok meliputi sandang, pangan, papan. Kemudian ada kebutuhan sekunder seperti kendaraan dan alat komunikasi. Terakhir ada kebutuhan tersier yang identik dengan kebutuhan batiniah seperti liburan atau nyinyir di media sosial.
Tingkatan kebutuhan ini seperti mantra setiap bicara kesejahteraan. Dan saya tidak berniat membantah atau memungkiri ajaran dasar ini. Memang, setiap manusia membutuhkan itu kok. Bentuk dan cara pemenuhan kebutuhan saja yang berbeda.
Bicara makanan, memang kebutuhan satu ini sangat krusial. Tanpa memenuhi kebutuhan fisiologis dasar ini, untuk apa seseorang harus memenuhi kebutuhan yang lain? Untuk apa memikirkan liburan jika masih khawatir besok makan apa.
Tapi, apakah urusan makanan bisa menjadi tolok ukur yang tepat saat bicara kesejahteraan? Apakah kebutuhan paling dasar ini bisa digunakan untuk menglorifikasi kesejahteraan sebuah daerah? Saya rasa tidak!
Makanan memang memenuhi kebutuhan hidup paling dasar. Tapi, kesejahteraan punya faktor yang lebih kompleks daripada perut kenyang. Kelaparan jelas menunjukkan seseorang tidak sejahtera. Itu saja terlepas dari urusan puasa dan diet ketat. Tapi, makan cukup saja tidak cukup membuat seseorang sejahtera.
Jika urusan makanan murah dan cukup menjadi tanda kesejahteraan, para tunawisma bisa dibilang sejahtera dan hidup enak. Toh mereka masih hidup karena dapat mengakses makan dengan cukup. Setidaknya cukup untuk bertahan hidup.
Realitasnya, makan saja memang tidak cukup. Apalagi bicara makanan murah untuk menyebut sebuah daerah dengan upah murah itu sejahtera. Tidak perlu saya sebut lagi ya mana daerah yang sering dipuja karena makanan ini. Clue-nya sederhana: daerah istimewa, hehehe.
Akses untuk penunjang hidup juga menentukan kesejahteraan. Ingat, selain pangan, ada papan dan sandang. Ada tempat bermukim serta pakaian. Apakah bisa diakses dengan mudah sesuai kemampuan rerata masyarakat? Jika belum, kok ya bisa-bisanya mutusi bahwa sebuah daerah itu sejahtera. Hanya bicara makan lho.
Maka dari itu, ada yang namanya Kriteria Hidup Layak (KHL). Dokumen yang menjadi acuan dalam menentukan upah ini berisi berbagai instrumen untuk memenuhi hidup layak. Itu pun sering diprotes karena dipandang tidak dilandasi survei yang bisa dipertanggungjawabkan.
Bahkan, KHL yang saya sebutkan tadi masih bicara “hidup layak”. Belum tentu hidup layak ini berbuah kesejahteraan. Kebutuhan psikologis masyarakat juga harus dipenuhi. Dari rasa aman sampai nyaman itulah yang akan menyempurnakan hidup layak menjadi sejahtera. Apakah makan murah bisa membuat masyarakat sejahtera ketika saat pulang malam terancam klitih? Apakah makan murah bisa membikin masyarakat sejahtera, padahal hidup berkubang sampah? Sekali lagi, Anda tahu daerah yang saya jadikan contoh.
Masalahnya, romantisasi yang berlandaskan makanan murah ini terus terjadi. Ketika ada kritik pada daerah tersebut, lagi-lagi dibenturkan dengan urusan makanan murah ini lagi. Sedikit-sedikit bicara biaya makan lagi. Saya ingatkan ya, setiap daerah pasti punya makanan murah kok.
Apalagi jika yang bersuara adalah mereka yang datang sebagai pengunjung atau musafir. Lalu memuliakan temuan makanan murah sebagai bukti kesejahteraan sebuah daerah. Kalau lini itu saja yang dibahas, pantes wae banyak perdebatan yang memperebutkan gelar “paling sejahtera”.
Bukan berarti saya berniat menjadi pendekar keadilan sosial di antara perdebatan ini. Apalagi melarang perdebatan perkara daerah mana yang punya biaya makan paling murah. Kan saya bukan Menkominfo. Tapi, membandingkan antar daerah dengan tolok ukur makanan murah itu memang absurd. Apalagi untuk menentukan sebuah daerah lebih nyaman dan sejahtera. Sudah absurd, primitif, dan ra mashok blas!
BACA JUGA Sejarah Minol di Jogja: Dari Kedai Pemabuk Sampai Lahirnya Minuman Oplosan dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.