Saya Sakit Hati Mahasiswa Universitas Terbuka Dituduh Cuma Kejar Gelar, Nyatanya Kami Sungguh-sungguh Belajar

Saya Sakit Hati Mahasiswa Universitas Terbuka Dituduh Cuma Kejar Gelar, Nyatanya Kami Sungguh-sungguh Belajar Mojok.co

Saya Sakit Hati Mahasiswa Universitas Terbuka Dituduh Cuma Kejar Gelar, Nyatanya Kami Sungguh-sungguh Belajar (unsplash.com)

Tulisan ini berangkat dari sebuah cuitan di X (Twitter) beberapa hari silam viral. Cuitan tersebut menyebut mahasiswa Universitas Terbuka (UT) hanya mengejar gelar, tidak benar-benar belajar. Cuitan itu membuat banyak orang marah, termasuk saya. 

Jujur saja, sebagai mahasiswa UT saya sangat tersinggung. Saya mengecam keras cuitan tersebut. Hanya karena sistem pembelajaran kami tidak seperti kampus lain, bukan berarti UT kampus kaleng-kaleng. Kehadiran UT justru menjadi solusi bagi polemik permasalahan pendidikan di Indonesia. Khususnya, bagi kalangan yang punya berbagai keterbatasan.

Stigma dan kesalahpahaman

Banyak stigma yang melekat pada UT: kampus tanpa gedung, kampus “Uang Terus”, universitas khusus untuk orang tua, ijazah tidak diakui, atau pas lulus hanya dapat sertifikat saja. Namun, kenyataan di lapangan mematahkan semua tuduhan tersebut. Banyak publik figur, pejabat, dan tokoh masyarakat merupakan alumni UT. Kampus ini juga terbukti menghasilkan lulusan yang bisa bersaing di dunia kerja maupun melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Selain itu, saat pandemi Covid-19, hampir semua kampus akhirnya menerapkan sistem daring. Hal ini seolah membuktikan bahwa model pendidikan UT bukanlah hal yang “aneh”, melainkan justru lebih maju dan visioner.

Keunggulan yang tidak ditawarkan universitas lain

UT menawarkan biaya kuliah yang terjangkau dan sistem pembelajaran jarak jauh. Fleksibilitas dan aksesibilitas waktu memungkinkan mahasiswa tetap bisa bekerja sambil kuliah. Sesuai dengan misi utama UT yaitu pemerataan pendidikan, memberikan kesempatan belajar bagi siapa saja tanpa batas usia, latar belakang, maupun kondisi geografis.

Mahasiswa tidak perlu hadir tatap muka setiap hari sehingga bisa belajar kapan saja sesuai kondisi pribadi. Hal ini membantu mereka yang memiliki keterbatasan waktu, biaya, maupun situasi keluarga. Sistem yang dimiliki UT membebaskan mahasiswa dari biaya tambahan seperti kos, transportasi, atau biaya gedung. Hal ini menjadikan UT sebagai universitas negeri paling inklusif di Indonesia.

Luasnya fleksibilitas UT tidak berarti kualitasnya rendah. Justru mahasiswa UT dilatih untuk mandiri, konsisten, dan tekun. Bagi sebagian orang dengan keterbatasan mobilitas, sistem belajar jarak jauh ini menjadi jalan keluar terbaik untuk tetap menempuh pendidikan tinggi.

Meski kerap dipandang sebelah mata, kualitas akademik UT juga diakui secara nasional maupun internasional. Dosen-dosennya berasal dari kampus-kampus ternama, serta sudah terakreditasi A seperti halnya Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Universitas Terbuka sebagai manifestasi hak pendidikan tiap insan

Universitas Terbuka (UT) adalah wujud nyata dari pendidikan sebagai hak asasi manusia. UT hadir untuk membongkar sekat-sekat pendidikan yang selama ini membatasi masyarakat berdasarkan lokasi, usia, status ekonomi, maupun latar belakang. Perguruan tinggi ini memberikan akses pendidikan tinggi untuk semua orang, tanpa diskriminasi.

UT tercatat menampung lebih dari satu juta mahasiswa pada 2021. Angka tersebut menjadi yang tertinggi dibanding perguruan tinggi lain di Indonesia. Layanan yang dimiliki membantu masyarakat dari berbagai kalangan untuk dapat mengakses pendidikan. Baik ibu rumah tangga, pekerja paruh waktu, penyandang disabilitas, hingga warga yang tinggal di pelosok. Universitas Terbuka adalah implementasi dari penerapan pilar Tridharma yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian.

Mahasiswa Universitas Terbuka bukan sarjana kertas!

Hanya karena sistem pembelajaran di Universitas Terbuka berbeda dengan universitas lain, bukan berarti kuliah di UT itu mudah apalagi kualitas mahasiswanya ecek-ecek. FLeksibilitas jadwal dan metode kuliah menjadikan mahasiswa lebih kompetitif. Dan secara tidak langsung terdorong untuk belajar secara intens tanpa batasan ruang dan waktu. 

Belum lagi dengan sistem pengawasan ujian yang ketat. Tidak mudah mendapatkan nilai tinggi apalagi berbuat culas. IPK yang baik hanya bisa diraih dengan keseriusan, kemandirian, dan disiplin belajar. Oleh karena itu, stigma bahwa kuliah di UT lebih mudah atau longgar terhadap kecurangan adalah keliru.

Banyak figur publik serta profesional berkualitas yang merupakan lulusan UT. Dari media sosial UT, kita juga bisa melihat jaringan mahasiswa dan alumni yang tersebar di berbagai belahan negara. Mulai dari Jepang, Korea, Malaysia, hingga Cina. Bahkan, UT diakui secara internasional dan melahirkan banyak CPNS serta alumni yang melanjutkan studi ke luar negeri karena tidak perlu lagi ikut penyetaraan. Artinya, mahasiswa UT tak kalah berkualitas dan bisa ikut bersaing.

Kami adalah bukti bahwa dengan manajemen waktu yang baik, kami bisa berkuliah sambil bekerja. Bahkan bisa meraih prestasi di bidang akademik maupun non akademik. Kami merupakan generasi penerus bangsa yang punya niat untuk belajar tanpa memandang umur, tempat dan waktu. Kuliah di UT menempa kami untuk mandiri, tekun, dan konsisten agar bisa dapat nilai bagus dan bisa lulus tepat waktu.

Penulis: Reza Cahya Kamila
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Tidak Ada Skripsi hingga Jarang Ketemu Dosen, Hal-hal yang Lumrah di Universitas Terbuka, tapi Nggak Wajar di Kampus Lain.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version