Haikyuu! adalah obat kesembuhan bagi saya atas kekecewaan terhadap manga Eyeshield 21 yang tamat begitu saja. Manga ini juga sebagai pelipur lara akan sebuah keindahan dari sentuhan tangan dalam genre olahraga yang terakhir kali saya lihat dalam Slam Dunk-nya Takehiko Inoue. Haikyuu! juga menetralisir sebuah kisah realistis dalam dunia olahraga setelah dari kecil kita dicekoki oleh betapa overpower-nya Tsubasa.
Tanpa bermaksud menyampingkan dan meragukan manga maupun mangaka lainnya, Haikyuu! adalah yang terbaik dalam segi kisah, gambar, dan penuturan. Dapat disederhanakan, Haikyuu! adalah manga terbaik dalam genre olahraga saat ini.
Melalui seorang tokoh bernama Hinata, bertubuh pendek dengan segenap kekurangan klise seperti yang ditawarkan anime lainnya, ia menyimpan sebuah gairah luar biasa akan dunia voli. Singkat kata agar menghindari spoiler, setelah Hinata SMA, ia bertemu dengan si jenius Kageyama dan menjadi bromance sejak itu. Dalam sebuah momen yang amat khusyuk, Hinata berkata kepada Kageyama, “Tidak memiliki keinginan untuk kalah, apakah kita membutuhkan alasan?”
Tentunya, kata-kata indah tersebut bisa dijadikan motto dalam skripsi, maupun caption Instagram kamu, lho! Terlebih, bagi kamu yang ingin menjadi selebtweet, kutipan-kutipan ini bisa banget menjadi alternatif selain tweet template seperti, “Yok bisa yok!” atau, “Apa cuman gue…” yang merasa paling segalanya di alam raya semesta ini~
Walau bukan menekankan pada kisah percintaan, manga ini bisa menghaturkan kata-kata indah layaknya bucin senja kopi hujan badai khas Mas Fiersa Besari. Bukan hanya itu, masih banyak kata-kata indah nan sastrawi yang dihaturkan secara manis oleh Haruichi Furudate sang mangaka. Melalui flashback yang dimasukan ke dalam momen-momen menegangkan atau saat para tokoh melakukan kontemplasi ketika akan kalah maupun menang. Keindahan yang dilukis oleh Haruichi berbarengan dengan nilai dan makna hidup khas negeri Sakura.
“Aku (Kageyama) sebenarnya tidak mau mengumpan bola kepadamu (Hinata) karena aku hanya mengumpan kepada orang yang membantu tim kita untuk menang. Sayangnya, orang yang membuat tim ini menang adalah kamu.”
Merinding disko nggak, sih, ketika seorang lelaki menyampaikan pujian kepada partner in crime-nya secara tersirat seperti itu. Terlebih, Hinata dan Kageyama memang selalu berseteru. Namun, menengok tujuan voli adalah kemenangan dan sebuah kewajaran seorang toser mengumpan kepada spiker, maka yan terjadi adalah dendangan lagu Mbak Mawar de Jongh yang berjudul Lebih dari Egoku.
“Ketika menjadi musuh, ia memang sangat menyebalkan. Namun, ketika menjadi kawan, ia akan menjadi sekutu yang menguntungkan.”
Tidak ada bahasan politik dalam manga ini. Tidak ada pula pilpres atau organisasi keolahragaan yang menjadikannya sebagai tunggangan kuda politik. Namun, apa yang dikatakan oleh Suga (rekan satu tim di Karasuno dan kakak kelas Hinata) kepada sang tokoh utama, adalah realita nyata bahwa ada spesifikasi tertentu untuk kelancaran hidup selain orang dalam, uang dan tampang, yakni kekuatan alami dalam tubuh yang tidak bisa diganggu-gugat.
“Aku memang tidak tinggi, tapi aku bisa melompat,” kata Hinata kepada Kageyama. Mata mereka beradu, rasa percaya dan keangkuhan masih melebur menjadi satu. Mungkin hanya di Rumah Kuya mereka bisa jujur kepada satu sama lain.
Kata-kata Hinata ini mengajari tentang manusia yang acap kali melupakan bakat bawaan seperti berlari, melompat, berteriak, mendorong, dan lainnya. Walau setelah itu akan ada pembanding: siapa yang paling cepat dalam berlari atau siapa yang paling tinggi dalam melompat.
Hinata mengajari satu hal, kalah belum tentu buruk. Menang belum tentu berjaya. Lantaran bakat dasar bisa digapai setelahnya melalui usaha. Hingga suatu titik, Hinata mengatakan, “Kalah adalah saat di mana kita diberikan kesempatan untuk bertambah kuat.”
Kalah adalah keakraban bagi Hinata. Berbanding terbalik dengan Kageyama yang lahir dari darah seorang pemenang. Perbedaan sudut pandang dalam menganalisis sebuah sifat semangat yang muncul dalam diri memang tidak semudah, “Yok semangat yok!” ala selebtweet.
Bahkan Kageyama yang terbiasa dengan kemenangan pun sampai berkata seperti ini, “Mengaplikasikan kalimat ‘tidak menyerah’ tidak semudah yang kamu katakan.” Manga ini jelas memberikan rujukan terbaik untuk mengembalikan sebuah rasa semangat dibanding sebuah utas yang diberi judul, “Bagaimana cara mengembalikan kepercayaan diri setelah putus -sebuah utas-“ atau “Cara memberikan energi positif kepada lingkungan sekitar A Thread.”
Salah satu rujukan terbaik muncul dari mulut Daichi, sang kapten Karasuno yang berkata, “Mau sehebat apa dirimu, seakurat apa operanmu, sekeras apa spike-mu, jika tidak bisa bermain secara kolektif, kau tidak dibutuhkan.”
Maksudnya, kekalahan dalam voli bukanlah kesalahan satu pihak. Tidak bisa menyalahkan toser semata atau malah spiker dan bloker. Voli adalah permainan kolektif, seperti apa yang dikatakan oleh salah satu antagonis dalam manga ini, Oikawa, “Voli sama seperti kehidupan bermasyarakat, yakni saling terhubung.”
Selain itu, guru Takeda, selaku penanggungjawab Karasuno memberikan masukan yang amat dalam, “Pertemuan bisa menimbulkan keharmonisan. Aku tidak bisa memberi bukti akan kata-kataku, tapi semua itu tercipta dari apa yang aku lihat dari dirimu.”
Ungkapan yang jadi tamparan terpampang nyata atas segala kejadian yang terjadi di bumi kita belakangan ini. Bukan salah teknologi atas berkurangnya intensitas pertemuan, tapi kita sebagai manusia yang telah kebangetan dalam mengolahnya. Jika punya Twitter, mungkin Guru Takeda akan nge-tweet, “Panjang umur pertemuan.”
Well, Haikyuu! memang manga yang membicarakan hal klise laiknya One Piece atau Naruto, from zero to hero. Bedanya, Haikyuu! dengan atas nama Karasuno dan Hinata, mereka adalah sampah yang berusaha mendambakan kemenangan. Membangun dalam kata-kata humanis yang tidak lebay, pun tidak menggurui maupun digurui.
Namun, terlepas dari semua yang meliputinya, hal itu mengisyaratkan bahwa dalam olahraga, dalam proses yang mengandalkan kekuatan dan daya tubuh, masih menonjolkan beberapa aspek sosial yang terkadang hilang entah ke mana. Seperti apa kata Hinata, “Aku tidak mau kalah lagi!” bisa dijadikan alternatif lain dari tweet-tweet indahnya Fiersa Besari.
BACA JUGA One Piece, dari Liberalisme Bajak Laut Sampai Revolusi atau tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.