Kita tahu, bahwa belum lama ini Amerika Serikat menyelesaikan pemilihan umum yang hasilnya dimenangkan oleh Biden sebagai presiden terpilih dan Kamala Harris sebagai wakil presiden terpilih. Selain itu, tercipta sejarah baru. Kamala merupakan wakil presiden perempuan pertama dalam sejarah Amerika. Kemenangan Biden dianggap angin segar oleh beberapa orang, termasuk orang-orang di luar Amerika sendiri.
Si Tuan Oranye, begitu kiranya julukan yang melekat pada Donald Trump, kalah dengan perbedaan yang lumayan signifikan. Kekalahan kandidat dari Partai Republik ini benar-benar membuat kita berpikir akhirnya Amerika tidak lagi dipimpin oleh pemimpin konservatif yang rasis, seksis, dan juga islamofobik. Lah, kok Amerika yang dianggap negara toleransi dan berpikir terbuka bisa-bisanya dipimpin oleh Trump?
Kemenangan Trump akan Hillary pada 2016 memang dianggap sebagai salah satu plot twist terbesar saat itu. Hillary dianggap kandidat yang benar-benar sempurna, koneksinya dengan Gedung putih alias markas besar pemerintahan Amerika juga tidak main-main; dan dia seorang perempuan. Tentu kalau Amerika adalah negara maju dan progresif, menggandeng calon pemimpin perempuan akan menguntungkan partai, tapi tetap saja Hillary kalah. Katanya, skandal email adalah alasan terbesar kenapa Hillary kalah. Tapi, tetap saja ini plot twist.
Sudah genap empat tahun Trump memimpin. Kemenangan Biden seakan menunjukkan bahwa banyaknya orang progresif dan berpikiran maju. Tapi, benarkah itu? Apa benar Biden adalah malaikat penyelamat politik Amerika?
Biden tak lain dan tak bukan adalah mantan wakil presiden pada dua periode sebelum Trump. Bergandengan dengan Obama, Biden menjabat selama dua periode bersamanya. Secara ringkas, Biden terjun ke dunia politik dengan menjadi Senator Delaware pada 1973 hingga 2009, saat dia memutuskan untuk mengikuti Obama.
Sepanjang kampanyenya banyak tuduhan mengarahkan Biden sebagai seorang pemerkosa, pelaku tindak pedofilia, dan tentu saja penjahat perang. Kok bisa jadi presiden? Kembali lagi di awal, ini semua hanya merupakan tuduhan, meskipun bukti yang bertebaran dimana-mana dan tidak sedikit juga yang mengumpulkannya, Biden tetap dianggap sosok yang lebih bisa diterima dibandingkan Trump.
Kemenangan Biden akan membawa nasib baik bagi warga Amerika? Tentunya. Tetapi, pertanyaan yang harusnya diajukan adalah; kepada warga Amerika manakah Biden akan menaruh nasib baik? Jawabannya pasti tidak kepada warga imigran. Tidak kepada mereka yang kulitnya berwarna selain putih. Saya juga yakin 100% tidak kepada manusia-manusia Timur Tengah yang hari ini menyimpan rasa takut karena Demokrat lagi-lagi berhasil mencetak skor kemenangan.
Obama yang dianggap sosok sempurna dalam memimpin Amerika juga sangat dikenal di Timur Tengah sebagai kriminal perang. Administrasi Obama mungkin tidak mengaku bersalah akan bom yang meledak-ledak dan konflik di timur tengah.
Lalu muncul argumen kontra dari brand ambassador Amerika Serikat, “Kan emang semua kebijakan presiden Amerika gitu,” lantas mengapa masih ramai sekali warga negara non-Amerika yang merayakan dan menjunjung tinggi presiden Amerika bahkan menganggapnya sebagai pahlawan dunia? Mengapa masyrakat luar Amerika begitu senang ikut terlibat sampai meluangkan begitu banyak waktu berharga demi membela negara adikuasa tersebut?
Akhirnya lahir kembali (lagi-lagi) pernyataan yang kerap dipakai sebagai amunisi untuk membela Biden, Obama, serta representatif Demokrat lainnya: choose the lesser evil. Maksud dari pernyataan itu adalah memilih mana yang paling tidak jahat. Dalam pemilihan kali ini, yang tidak lebih kejam di mata beberapa orang ya tentu saja Biden dan Kamala.
Apakah pernyataan ini cukup untuk mendasari pilihan kamu? Apakah pernyataan ini mampu menjawab semua keraguan di hati kamu? Jawabannya tentu berbeda tiap individu. Biarkan privilege-mu yang menjawab semua itu.
Berbicara tentang lesser evil mengingatkan saya tentang polisi. Kamala Harris dulunya bekerja juga sebagai seorang polisi. Masih ingat demo besar-besaran yang masalahnya berada pada ketidakpercayaan rakyat Amerika, bahkan dunia, kepada polisi dan segalanya yang terlibat dalam proses hukum pemerintahan?
Semua seakan lupa, sehingga dengan mudah Kamala menutupnya dan ikut menggunakan momentum berharga ini untuk mengkampanyekan diri sebagai pahlawan yang akan mati-matian berjuang untuk merubah sistem yang sudah tewas dikorupsi. Kamala juga merupakan woman of color yang ikut menambah poin progresif Partai Demokrat: mengusung perempuan, berkulit hitam, dan berdarah India.
Belum lagi banyaknya persoalan Kamala dengan komunitas transgender di Amerika. Kamala terkenal suka memenjarakan transgender dan menempatkannya ke dalam sel yang tidak sesuai dengan identitas mereka setelah transisi. Dia digosipkan melakukan ini pada masa jabatannya sebagai Jaksa Agung California pada 2011-2017.
Memilih Kamala bukanlah wujud nyata dari gerakan feminisme, mengingat Kamala sering menggunakannya untuk menarik simpatisan agar mau mendukungnya. Feminisme harusnya inklusif dan memberikan ruang untuk semua identitas serta ikut menghapuskan kelas-kelas sosial di masyarakat; bukannya tebang pilih.
Imigran selalu dan akan dirugikan, siapa pun presiden terpilih. Meski imigran dari negara tertentu merasa Trump adalah pahlawan, tapi kenyataannya segelintir suara itu tidak mewakili penderitaan banyak orang. Imigran-imigran lain masih harus berjuang demi keamanan mereka. Bayang-bayang kurungan kandang yang mengancam anak-anak mereka, eksploitasi kerja, asuransi kesehatan, dan beberapa masalah lain masih menjadi beban pikiran sebelum tidur menutup mata.
Anak-anak di Timur Tengah juga belum bisa tertidur nyenyak; siapa yang bilang tidak mungkin kalau saat mereka sedang tidur terlalu nyenyak, drone-drone yang akan membangungkan mereka dan keluarganya.
Pada akhirnya, kita tiba di pertanyaan ini. Kita sebenarnya sedang merayakan apa?
BACA JUGA Jangan Jadikan Ritual Minta Bunga sebagai Kebiasaan Sepulang Bertamu