Kota Pekalongan katanya religius, pembangunannya terbaik, kreatif. Benarkah?
Beberapa hari lalu, artikel-artikel yang menguak kebohongan kota-kota di Indonesia muncul di Terminal Mojok. Kebanyakan dari artikel itu mengulas kebohongan di kota-kota besar. Jogja, Surabaya, Semarang, sampai yang terakhir saya baca, Kota Bandung.
Nah, karena belum ada yang berani menguak kebohongan Kota Pekalongan, maka kali ini saya akan membahasnya. Tentu pertama-tama saya akui dulu, bahwa kota ini memang bukan termasuk kota besar.
Sekalipun barangkali, oleh penduduknya sendiri dianggap kota besar. Namun, tiada mengapa. Membanggakan kota sendiri toh sebuah tindakan yang bisa jadi berbuah pahala. Karena bukan kota besar, saya rasa kebohongan-kebohongan tentang Kota Pekalongan nggak banyak yang tahu.
Tepat di titik itulah, saya rasa perlu menuliskan ini. Deretan kebohongan dan fakta sesungguhnya di lapangan tentang Kota Pekalongan. Sedikit banyak diketahui oleh penduduknya sendiri, dan ironisnya kebohongan itu acap kali disebarkan oleh penduduknya sendiri.
#1 Religius
Religiusitas bukan hanya perkara individu. Namun, sebuah kota bisa disebut religius. Kota Pekalongan memang nggak dapat julukan Kota Santri. Karena itu adalah julukan Kabupaten Pekalongan, tetangganya.
Namun, entah mengapa Kota Pekalongan juga kecipratan religiusitasnya. Kota Pekalongan, sepertinya sudah kadung disebut kota yang religius. Faktornya bisa cukup banyak.
Salah satunya, karena kami punya sebuah tempat yang, konon disebut “wisata religi”, yaitu Makam Habib Ahmad Sapuro. Namun, keberadaan “wisata religi” tentu saja belum cukup untuk menyebut Kota Pekalongan sangat religius.
Betul suara adzan terdengar bertalu-talu di kota ini. Suara orang bersholawat juga terus terdengar, terutama ketika memasuki Bulan Maulid. Namun, jelas bukan hanya Kota Pekalongan yang punya atmosfer semacam itu. Kota lain pun, saya rasa, punya nuansa yang sama religiusnya.
Namun, orang-orangnya sebenarnya tidak religius-religius amat. Beberapa kali kasus kekerasan seksual terjadi. Itu baru satu kasus.
Beberapa kali saya menemukan kasus pembunuhan di Kota Pekalongan. Saat saya magang di salah satu media lokal, Polres Pekalongan Kota nggak sekali dua kali melakukan konferensi pers. Ada saja kejahatan yang terjadi.
Data dari BPS menunjukkan, ada 123 laporan kasus kejahatan di Kota Pekalongan sepanjang tahun 2021. Angka itu bahkan lebih banyak dari Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Banjarnegara.
Selain menunjukkan kota yang ternyata nggak religius-religius amat, data itu memperlihatkan bahwa warganya ternyata nggak ramah-ramah banget. Jadi jangan terkecoh kalau ada yang bilang warga Kota Pekalongan itu ramah.
#2 Kota Kreatif Dunia
Saya cukup terkejut ketika UNESCO menyebut Kota Pekalongan menjadi salah satu kota kreatif dunia. Tentu sebagai organisasi level dunia yang kredibel, UNESCO punya kriteria khusus untuk nekat menyebut demikian.
Setelah saya mencari tahu, Kota Pekalongan memang oleh UNESCO masuk dalam kota kreatif dunia bidang kerajinan dan seni budaya tahun 2014. Itu karena batik. Sebuah kerajinan lokal yang mampu membuat warga lokal, entah laki-laki atau perempuan bisa berdaya. Bisa mencari nafkah dari sana.
Namun, saya rasa soal batik pun masih banyak sekali kekurangan. Limbah, kesejahteraan pekerja, bahkan soal karya batik itu sendiri. Soal orisinalitas terutama. Sangat sulit untuk melihat karya batik yang orisinil.
Setiap pengusaha, akan cenderung membuat batik dengan motif yang sudah dibuat. Padahal setiap motif punya penciptanya sendiri. Nah, kalau soal motif saja tidak kreatif, dan cenderung membatik dengan motif yang sudah dibikin orang, apa itu layak disebut kreatif?
Itu baru soal batik. Jika kita menariknya ke spektrum yang lebih luas, tentu Pekalongan sangat nggak kreatif. Soal wisata, misalnya. Kota Pekalongan sangat tidak kreatif. Alih-alih menyesuaikan dengan kondisi kota yang kerap diselimuti rob, pembangunan wisata di Kota Pekalongan justru “meniru” kota-kota besar. Yang begini, kreatif?
#3 Pembangunan Daerah Terbaik
Ini adalah kebohongan yang nggak masuk akal. Jika kalian mencari di Google dengan kata kunci “penghargaan Kota Pekalongan”, kalian akan menjumpai bahwa kota ini mendapat predikat kota terbaik Penghargaan Pembangunan Daerah tahun 2022 di Provinsi Jawa Tengah.
Ini jelas ra mashok. Pembangunan daerah terbaik? What? Itu yang ngasih penghargaan nggak salah, nih?
Sampai hari ini saya sulit untuk menemukan pembangunan yang konon terbaik itu. Di mana ada yang tahu? Hei warga Kota Pekalongan, ada yang tahu nggak pembangunan sukses itu yang mana?
Jika yang diambil contoh adalah wisata air, itu sangat nggak masuk. Wong itu bukan sepenuhnya proyek Pemkot. Lagi pula, andai pembangunan di Kota Pekalongan baik, nggak ada jalan-jalan yang berlubang dan tergenang air.
Nggak ada tuh pembangunan wisata yang lebih didahulukan dari pada aksesnya. Ini logika ngaco sih. Belum lambatnya pembangunan Pasar Banjarsari yang terbakar. Belum alun-alun yang, lagi-lagi harus direnovasi.
Belum daerah-daerah yang masih rob. Belum ini. Belum itu. Weslah banyak banget pokoknya yang belum. Begitu kok disebut terbaik. Hadeh.
#4 Kaline Kotor Tandane Masyarakat Makmur Rejekine, Kaline Resik Tandane Rejekine Seret
Ini adalah kebohongan, yang bahkan tak jarang diucapkan sendiri oleh wali kota. Dari periode ke periode. Kalimat “Kaline kotor tandane masyarakat makmur rejekine, kaline resik tandane rejekine seret” atau yang berarti “Sungainya kotor pertanda rezeki masyarakatnya makmur, sungainya bersih pertanda rezeki masyarakatnya seret” sering diucapkan.
Hah?
Wali kota maupun jajaran Pemkot sering mengucapkan itu. Apalagi ketika dikritik soal sungai di Kota Pekalongan yang nggak pernah bersih. Dan lucunya, pernyataan itu disepakati banyak orang.
Benar bahwa sungai yang keruh pertanda aktivitas batik tetap berjalan. Masyarakat Kota Pekalongan yang kebanyakan adalah buruh batik sedang bekerja. Sanggan atau pesanan mereka sedang banyak.
Perusahaan sedang memproduksi batik. Hal itu berbeda ketika sungainya bersih. Karena sungai bersih bisa menjadi pertanda sepinya aktivitas membatik. Ketika pandemi sedang mengamuk, saya sudah membuktikannya bahwa sungai di Kota Pekalongan sedikit lebih bersih. Mungkin karena aktivitas membatik yang sedikit.
Sedikit lebih bersih.
Namun belakangan saya sadar. Kalimat itu hanya pepesan kosong. Kredo itu benar-benar kebohongan yang harus segera dilenyapkan. Sungai-sungai di Kota Pekalongan tetap kotor. Bahkan bertambah keruh, tapi kita lihat, mana ada buruh batik yang sejahtera?
Rezeki buruh batik juga tidak akan selancar pengusahanya. Mereka digaji sangat jauh dari UMR. Kalau mau gaji lebih, harus lemburan. Sementara, pekerjaannya sangat melelahkan. Harus bergulat dengan uap malam batik yang dipanaskan. Harus bergulat dengan risiko kecelakaan kerja, dan masih banyak lagi.
Akhirul kalam, dengan menulis kebohongan-kebohongan tadi, saya nggak ada maksud untuk menjelekkan Kota Pekalongan. Saya juga lahir dari sini. Nggak mungkin juga saya menjelekkan kota kelahiran saya yang, memang sudah jelek itu.
Penulis: Muhammad Arsyad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Panduan Membedakan Kota dan Kabupaten Pekalongan biar Nggak Salah Lagi!