Dua minggu yang lalu, dalam perjalanan dinas ke luar kota, salah seorang teman saya menceritakan pengalamannya liburan ala backpacker ke Jepang. Yang menggelitik jiwa nasionalisme saya kala itu adalah saat dia mengatakan malu mengaku sebagai orang Indonesia. Bahkan dia sengaja akting ngobrol menggunakan bahasa Inggris supaya tidak dicap sebagai orang Indonesia. Hahaha. Memangnya kenapa sih dengan turis Indonesia di sana?
“Pokoknya malu-maluin deh!” kata teman saya sambil nyengir. Saya berusaha meresapi kalimatnya. Malu? Ini bagus sesuai dengan anjuran Rasulullah. Tapi kalau sudah malu kuadrat plus akhiran -in, artinya berubah seratus delapan puluh lima derajat.
Oke, siapa sih yang nggak kenal Jepang? Negerinya anime dan manga. Wibu mana nih suaranya? Ups, kok jadi ngelantur ya…
Saya yakin nggak ada orang yang nggak kenal Jepang. Bahkan kakek saya yang pernah merasakan era penjajahan Jepang juga mengatakan betapa kuat budaya disiplin dan kerja keras mereka. Negara yang masyarakatnya nggak bisa berbahasa Inggris itu juga terkenal sangat menghargai waktu. Sampai di sini pasti sudah paham kan kenapa teman saya menanggalkan wajah orang Indonesia di sana? Beda budaya, Lur…
Pertama, saat naik Shinkansen atau kereta cepat di Jepang, dia mendengar bisik-bisik dua gadis Indonesia di seberang tempat duduknya. Padahal, ada aturan yang menyebutkan bahwa penumpang dilarang berbicara atau menelepon saat berada di dalam kereta. Bahkan mendengarkan musik dengan headset pun nggak boleh sampai didengar oleh orang yang duduk di sebelahnya lho. Takutnya suara itu akan mengganggu orang lain dalam kereta.
Kemudian, teman saya juga melihat dua gadis Indonesia (yang berbeda dari dua gadis sebelumnya) berfoto dengan latar belakang Shinkansen. Akibatnya, kereta dengan kecepatan 300 km/jam itu terlambat berangkat.
Setelah itu, dia melihat lagi warga +62 lainnya menggunakan eskalator yang khusus diperuntukkan bagi manula dan penyandang disabilitas. Kata teman saya, warga +62 itu malah marah-marah lantaran ada seorang kakek yang menegur dengan cara menyorongkan tongkatnya ke arah mereka. Duh!
Jadi, wajar saja ya kalau teman saya memilih menyembunyikan jiwa Indonesianya. Saya ingat dia tertawa kencang saat berkata bahwa dua gadis Indonesia di kereta mengira teman saya ini berasal dari Filipina. Dia itu contoh orang-orang langka yang benar-benar mengingat, menghayati, dan menerapkan dengan sukses peribahasa: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Benar sih kita harus bisa menyesuaikan diri di mana pun berada. Tapi yang namanya kebiasaan dan watak, apakah bisa hilang dalam sekejap? Nggak kan? Wong kita bukan pemain watak kok.
Sejak di dalam kandungan, tanpa sengaja mayoritas dari kita telah dididik dengan budaya orang asli Indonesia. Semakin bertambah usia, semakin matang pula proses budayanisasi kita sebagai warga Indonesia. Dan jreng jreng… Bukan sulap bukan sihir, lahirlah kita, orang Timur yang menjunjung tinggi kebebasan alias sak karepe dewe. Katanya, aturan dibentuk hanya untuk dilanggar. Hmmm…
Nah kalau soal dua gadis Indonesia yang berisik saat naik Shinkansen, agak wajar nggak sih? Hehehe. Sepertinya nggak ada cewek-cewek yang bisa diam kalau sudah menemukan teman sejenisnya, kecuali para introvert yang memang irit berbicara.
Mungkin mereka sudah berniat, sebelum bertolak dari Indonesia, akan mengunci rapat mulut mereka selama berada di dalam kereta. Namun yang namanya kebiasaan, sekuat apa pun kita mencoba, pasti gagal di ronde awal. Bahkan kata Om James Clear, perubahan kecil pun harus dipupuk minimal satu tahun agar menjadi sebuah kebiasaan.
Selain itu, suasana di dalam kereta pun memang mendukung untuk mengadakan “rapat” dadakan. Apa wajar kalau kita mengungkapkan ketakjuban kita akan budaya dan keindahan alam Jepang yang ada di depan mata kita hanya melalui WhatsApp? Kalau disuruh diam, momentumnya sudah basi dong saat keluar dari kereta.
Bagi orang Jepang sendiri, jelas wajar kalau mereka sudah nggak excited dengan perjalanan naik Shinkansen. Blas nggak ada yang menarik lagi dalam perjalanan mereka. Mereka sudah menyaksikan semua seumur hidup mereka. Hingga akhirnya sibuk dengan pikiran mereka sendiri, sibuk memikirkan rencana kegiatan mereka pada hari itu. Hampir sama seperti kita yang berada di negeri sendiri dalam menjalani rutinitas, bukan berwisata.
Selain itu, sudah menjadi kesepakatan tak tertulis bahwa ketika melakukan perjalanan wisata, pasti kita tak ingin luput mengabadikan setiap momennya. Apalagi wisata ke luar negeri yang rata-rata hanya memakan waktu satu minggu. Sudah banyak uang yang keluar demi liburan, apa rela pulang dengan Feed Instagram yang kosong?
Jadi, biarkan saja dikata ndeso, kampungan, asal bisa berfoto bersama Shinkansen. Lha wong memang benar kok kita nggak pernah lihat kereta apik supercepat seperti itu. Sayang sekali kan kalau liburan ke Jepang, tapi gagal berfoto dengan ikon utama mereka hanya gara-gara takut disemprit atau malu? Bodo amat kalau dibilang malu-maluin. Mumpung liburan ke Jepang loh!
Kemarin saya baru membaca artikel tentang keterlambatan Shinkansen akibat ada gerombolan warga +62 yang sedang melakukan swafoto. Akibatnya, kereta mengalami keterlambatan sepuluh menit dari waktu keberangkatan yang sudah terjadwal. Bahkan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jepang mengeluarkan imbauan agar seluruh wisatawan Indonesia yang sedang liburan hendaknya mengikuti aturan yang berlaku di Jepang
Sepertinya keterlambatan Shinkansen karena menjadi objek foto memang bukan merupakan berita yang langka ya. Alih-alih alasan operasional seperti di negara kita, keterlambatan transportasi publik di Jepang gara-gara hal yang sungguh di luar nalar. Hahaha.
Oke tunggu nanti—entah kapan, pokoknya nanti, kalau negeri kami sudah memiliki copy dari Shinkansen, kami nggak akan membuat kereta kalian terlambat lagi kok. Biarkan saja orang-orang ramai berswafoto, terlambat bukan hal yang aneh di negara kami.
Bagi kakek dan nenek di Jepang, mohon pengertiannya ya. Budaya “membaca” di negeri kami masih rendah, jadi kami nggak melihat peruntukan eskalator tersebut. Setiap hal yang menguntungkan bagi kami, pasti kami akan condong kepadanya. Dan setiap orang yang “mengganggu” kesenangan kami, tentu bakal kami nyinyirin. Tak peduli bahwa kami lah yang melakukan kesalahan. Lah kok keluar jalur?
Nah, untuk para backpacker atau yang pernah menikmati keindahan bunga sakura di alam aslinya di Jepang, kalian masuk tim yang mana? Tim Nam Do San atau Han Ji Pyeong? Ups, salah! Tim menjunjung peribahasa layaknya teman saya atau tim yang mendukung seni bersikap bodo amatnya Mark Manson? Saya yakin pilihan itu tergantung dari prinsip hidup masing-masing orang.
BACA JUGA Yogyakarta yang Istimewa Tengah Putus Asa Ditelanjangi Covid-19.