Perhatian tertuju pada layar. Saat itu pula pria dengan pakaian yang serba rapi menyapa ringan, “Selamat siang, semuanya,” ujarnya memecah kebekuan dalam perkuliahan konferensi video.
Sementara mendengarkan dengan malas, sontak saya menyadari kalau yang ingin disampaikan oleh orang ini pasti sangat menarik. Dari tayangan slidenya saja terbaca judul unik, yakni hubungan antara kemiskinan dan uban. “Ini pasti ada tipo diantara huruf U dan B, seharusnya urban,” pikirku membetulkan sendiri.
Dua puluh menit mendengarkan, tidak ada kesulitan. Penjelasan tentang uban dan kemiskinan relatif mudah karena diikuti dengan tayangan slide yang mengilustrasikan realitas. Sebetulnya tidak perlu bantuan ilustrasi juga, sih. Karena di tempat saya tinggal, membuka jendela saja sudah ketemu dengan kemiskinan.
Singkat cerita, setelah mengikuti penjelasan yang dipenuhi dengan istilah asing, ia lantas menyuruh membentuk kelompok kecil yang disebutnya dengan istilah breakdown group. Disini, masalah mulai muncul karena istilah yang digunakan tidak familiar dengan kehidupan saya di desa.
Pikiran kemudian menimbang antara menanyakan maksud dari istilah tersebut atau bertahan dalam ((kepuratahuan)). “Maap pak, breakdown maksudnya bagaimana, yah? saya harus melakukan apa?,” tanyaku polos karena ingin tahu.
Mendadak suasana yang tadinya mengheningkan cipta, dipenuhi gelak tawa. Sebagian tampak manahan. Ada juga yang meringis kecil. Yang lain menutup tampilan video supaya bisa tertawa lepas. Sementara sisanya, diam memaklumi.
Wajah saya langsung pucat. Lantaran pertanyaan tadi sudah terlanjur diutarakan, maka perasaan menjadi campur aduk. Bingung, malu dan menyesal. Lagian, kenapa tidak googling saja ketimbang menjadi tertawaan di hadapan lima puluhan peserta.
Menit-menit berlalu, tidak ada tanggapan. Breakdown, frasa yang bagi mereka sangat sepele, tapi bagi saya adalah pengetahuan baru, tidak ditanggapi. Sedih sekali.
Bukan kali pertama saya mengalami hal serupa. Sering dalam pembicaraan tidak formal, seminar atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah-istilah yang sepele bagi mereka tapi pengetahuan baru bagi saya, begitu saya tanyakan, ada senyum remeh yang terpantul. Sebagaimana kejadian diatas.
Suatu kali dalam pembicaraan telpon, “Kak, ini idenya bisa di-pitching dulu ke editor yah?,” katanya. Sembari mengiya-iyakan, otak saya bekerja keras menebak-nebak maksud dari kata pitching ini seakurat mungkin.
Tapi malu bertanya sesat di jalan. Setelah mengumpulkan keberanian, saya pun menanyakan maksudnya, “Jadi dikonsultasikan dulu ke editor,” jawabnya simpel sambil tertawa ringan. Ternyata kata konsultasi diganti menjadi pitching. Keren.
Meskipun dua peristiwa di atas sudah berlalu, tapi masih membekas karena mengajarkan bahwa seberapa kuat penerimaan diri seseorang untuk terlihat bodoh dan bersedia belajar untuk itu adalah hal tersulit kedua, setelah persoalan jodoh.
Nah, belajar dari sejumlah pengalaman itu, saya akhirnya menyusun daftar kosa kata istilah asing. Sekarang, jumlahnya sudah mencapai 23 kata. Kata terakhir yang saya tambahkan adalah social-distancing dan self-quarantine, yang belakangan gencar disosialisasikan pemerintah.
Bukan tanpa alasan. Cara ini sangat membantu. Begitu bertemu dengan istilah asing, saya akan lebih mudah membuka catatan ketimbang harus membuka peramban yang membutuhkan waktu dan jaringan internet.
Barangkali ada juga yang mengalami dan menggunakan metode serupa. Sebab belakangan ini, banyak sekali istilah asing yang digunakan sesukanya oleh pemerintah tanpa memasukkan penjelasan tambahan sebagai pertimbangan latar belakang sosial budaya.
Ini benaran terjadi. Di salah satu gang di kota Yogyakarta, saya pernah menemukan penutupan jalan yang ditulis letdown, bukan lockdown. Layaknya bulan yang dikira matahari, salah kaprah. Ini lantaran kelatahan menggunakan bahasa indonesia dalam bersosialisasi—yang dibarengi dengan tingginya rasa kepuratahuan tadi—sebelum akhirnya dicoret dan diganti menjadi kata lain, ada PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Ingatan kemudian melayang pada wilayah yang, jangankan menguasai bahasa atau istilah asing, menemukan jaringan internet dan tempat belajar saja sulit. Sudah pasti ini menghambat tingkat penguasaan linguistik.
Nah untuk mengatasi sekat linguistik ini, diperlukan bahasa pemersatu, bahasa Indonesia. Ambil contoh Covid-19. Di kolom Bahasa harian Kompas, saya pernah menemukan tulisan yang menyetarakan kata Covid-19 dengan Peviko-19 (Penyakit Virus Korona). Alasannya, memudahkan sehingga dengan begitu, semua orang bisa mengerti. Termasuk saya, sebagai masyarakat yang tinggal di desa.
Lagipula, menghindari istilah asing tidak hanya mengatasi sekat linguistik. Tapi juga sejalan dengan peribahasa: gunakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah.
BACA JUGA Jogja dari Sudut Pandang Mahasiswa Baru atau tulisan M. Fitrah Wardiman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.