Rasanya baru kemaren kita melewati bulan Ramadhan, dan sekarang kita sudah mau Idul Adha saja. Idul Adha tahun ini rasanya akan spesial karena pasti berbeda dengan tahun sebelum-sebelumnya. Bagi orang Madura, sejatinya Idul Adha menjadi waktu  untuk menjalankan budaya mudik, namun COVID-19 yang masih tinggi di Jawa Timur sepertinya membuat sebagian dari mereka terpaksa tidak melakukannya di tahun ini. Tak hanya bagi orang Madura yang merasakan spesialnya Idul Adha tahun ini, akan tetapi seluruh penduduk Indonesia. Pada kondisi normal Idul Adha identik dengan penyembelihan hewan kurban di masjid masing-masing.
Sayangnya, COVID-19 mewajibkan penyembelihan hewan kurban dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan. Salah satu syarat protokol kesehatan di kabupaten tempat tinggal saya adalah tidak boleh ada kerumunan massa sehingga penyembelihan hewan kurban tidak terpusat di masjid-masjid. Warga kampung saya mengakalinya dengan cara membagi tempat penyembelihan hewan kurban ke RT masing-masing, dan setiap RT hanya boleh menyembelih maksimal satu sapi serta dua kambing supaya prosesnya bisa cepat. Trik ini berhasil disetujui oleh instansi setempat dengan syarat penyembelih harus warga setempat serta menggunakan masker dan kaos tangan.
Persyaratan wajib berupa penyembelih hewan harus warga setempat membuat para tokoh masyarakat kampung saya memutar otak karena biasanya ada tambahan tenaga bayaran dari kampung-kampung lain. Maklum saja, tingkat urbanisasi pemuda kampung saya sangat tinggi, ditambah para warga asli rata-rata merupakan jajaran birokrat atau priyayi yang tidak mau tangannya kotor oleh darah dan kotoran hewan kurban. Akhirnya, melalui rapat yang penuh perdebatan sengit diputuskan bahwa mau tidak mau setiap KK mewakilkan dua orang untuk terlibat dalam semua sesi penyembelihan hewan kurban. Mulai dari pembelian hewan, perawatan, penyembelihan, buang brodot, hingga distribusi daging.
Menariknya, semua warga menerima keputusan ini dengan menganggapnya sebagai tantangan baru. Wajar saja, selama ini hanya segelintir warga yang turut berpatisipasi dalam penyembelihan hewan kurban. Selebihnya mereka hanya tinggal menunggu di rumah untuk menerima pembagian daging kurban. Saya pribadi cukup senang dengan keputusan tersebut karena bisa merekatkan kembali solidaritas di kampung saya. Budaya gotong royong dan kerja bakti sudah terkikis di kampung saya.
Perwujudan solidaritas tidak hanya saat penyembelihan hewan kurban saja. Mulai dari fase  pembelian, perawatan, penyembelihan, dan pembagian hewan kurban memiliki wujud solidaritas masing-masing. Tahun-tahun sebelumnya pembelian hewan kurban dilakukan mepet sebelum Idul Adha. Tahun ini pembelian hewan kurban dilakukan sejak sebulan sebelum Idul Adha untuk menghemat biaya. Hal itu dikarenakan sapi yang dibeli adalah milik warga kampung setempat. COVID-19 membuat para tokoh masyarakat membuat kebijakan bahwa berapapun harganya, pembelian sapi diprioritaskan kepada para warga setempat. Perlakuan khusus dilakukan sebagai wujud solidaritas kepada warga peternak sapi yang omzetnya menurun selama COVID-19.
Solidaritas juga diwujudkan dalam hal perawatan sapi. Perawatan selama sebulan diserahkan kepada dua warga yang terpaksa menganggur karena perusahaannya terkena dampak COVID-19. Warga tersebut diberi upah yang berasal dari iuran satu kampung. Harapannya sih, semoga warga tersebut bisa memiliki sedikit penghasilan. Penyembelihan hewan kurban kali ini juga penuh dengan solidaritas warga. Baru tahun ini semua warga diwajibkan menjadi panitia, tanpa peduli akan profesinya. Prinsip yang dipegang adalah semua harus sama-sama mau amis darah dan kotoran hewan kurban.
Terakhir, pembagian hewan kurban juga berbeda dari biasanya. Jika pembagian daging tahun sebelumnya dilakukan secara merata entah akamsi atau bukan. Alokasi daging tahun ini diserahkan penuh kepada seluruh warga kampung, tanpa membagikan kepada warga luar kampung. Kebijakan tersebut terpaksa diberlakukan karena tidak dibolehkan adanya kerumunan. Semua yang terjadi di kampung saya memang tidak sama persis dengan kampung lain. Namun terdapat kesamaan yaitu menguatnya solidaritas penduduk satu kampung pada Idul Adha tahun ini.
BACA JUGA Mahasiswa Demo UKT, Universitas Jatuhi Sanksi. Demokrasi kok Ngeri dan tulisan Rofi’i Zuhdi Kurniawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.