Ketika aksi mahasiswa tanggal 25 September lalu, saya dan Kresna pergi ke DPR untuk melihat mahasiswa demonstrasi, hal pertama yang kami komentari adalah: “Bangsat, massanya banyak banget!”
Dan memang luar biasa banyak. Kami meyakini, mahasiswa yang datang bisa jadi berjumlah 10 ribuan orang atau lebih. Dari arah Patal, tempat kami memarkir motor di depan minimarket, puluhan bus sudah berjejer, dan mereka, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus itu, sudah mengoordinasikan dengan teratur kelompoknya masing-masing.
Saya perlu menekankan kata “koordinasi” karena itulah istilah yang pas untuk menjelaskan ketakjuban saya selanjutnya.
Sepengamatan saya, korlap masing-masing kampus bekerja dengan tangkas. Mereka amat sigap menjaga setiap tali pembatas, mengawasi mahasiswa yang keluar dari barisan, memberikan ruang bagi kelompok lain yang ingin bergerak lebih dulu, memandu yel-yel, hingga cekatan membopong kawan yang sakit. Di beberapa kelompok, bahkan ada yang menugaskan dua orang untuk mengumpulkan sampah.
Bagi Anda yang pernah turun aksi, atau bahkan sekadar ikut acara suatu organisasi sekali pun, Anda mestinya tahu bahwa hanya ada dua orang yang bersedia menjadi tukang bersih-bersih: mereka yang memang punya kesadaran melakukannya atau mereka yang diberkahi gengsi amat minim. Dan kedua jenis orang itu sudah pasti amat sangat langka dijumpai dalam dunia aktivisme.
Percayalah, orang-orang yang kepalanya telah dipenuhi narasi-narasi besar mengenai masalah dunia, justru jadi pihak yang kerap kali abai terhadap hal-hal remeh macam buang sampah. Buktikan saja sendiri kalau tak percaya.
Ketakjuban saya selanjutnya amat mungkin dinilai seksis dan karenanya saya mohon maaf sebelumnya. Tapi, begini, 10-an tahun lalu (dan bisa jadi bertahun-tahun sebelumnya), adalah sebuah pemandangan luar biasa asing jika ada seorang mahasiswi dengan dandanan trendi ikut aksi. Dan dengan kepala masih dilekati stereotipe goblok macam itu, maka alangkah terkejutnya kami ketika tadi melihat ada ratusan mahasiwi fashionable nan cantik jelita yang ikut berdesak-desakkan sambil menyanyikan yel-yel:
“Dua lima jigo, dua lima jigo, DPR goblooookkk!”
Sungguh, buat saya pribadi, itu keren luar biasa. Luar biasa. Dengan kemunculan mereka, saya meyakini tidak ada lagi nyinyiran sampah soal “proletar vs borjuis” seperti zaman udik dulu, atau sindiran dari gerombolan congkak yang mendaku paling paham strategi aksi langsung, hingga kerap menyebabkan banyak mahasiswa lain jadi apolitis karena dianggap/merasa kurang rebel atau tidak peduli rakyat kecil.
Saya dan Kresna juga membayangkan, barangkali sebagian dari mahasiswi fashionable itu sebelumnya tengah asyik nongkrong di Sency, atau habis nonton di Plaza Senayan. Lalu mereka ikut aksi semata karena ajakan kawan-kawan lain di grup Line. Dan dandanan mereka, disadari atau tidak, justru jadi fashion statement yang ampuh buat meninju kekolotan paradigma dalam konteks aktivisme.
Hal lain yang bikin saya takjub adalah kreativitas mereka dalam membuat poster. Terkait hal ini tentu sudah banyak dibahas di media, tapi saya, toh, tetap saja ngakak kala membaca poster dengan tulisan super vulgar dan menohok macam “gua males ngewe digerebek orang goblok” atau “cukup Man Utd aja yang bapuk, pemerintah jangan”.
Favorit saya tapi masih dua poster masing-masing dari aksi #GejayanMemanggil dan unjuk rasa di DPRD Malang: “Aku bingung arep nulis opo” dan “Gedung ini jadi warung pecel”.
Oya, mau tahu lagi yang lebih keren? Tak jauh dari perempatan Patal, ketika kami berjalan kaki hendak menuju pusat konsentrasi massa, perhatian saya sempat tertuju kepada sepasang bapak dan ibu yang baru turun dari mobil dengan membawa dua plastik besar berisi puluhan nasi kotak.
Tentu sebelumnya saya sempat mengira keduanya adalah bagian dari sindikat panasbung yang legendaris itu. Puji Tuhan saya salah: mereka adalah orang tua dari salah satu pendemo yang membawakan bekal untuk anak dan kawan-kawan demonstrannya yang lain. Usai memberikan bekal, sang anak mencium tangan kedua orang tuanya lalu memeluk erat mereka. Seratus persen saya tidak bohong, tidak mendramatisir, dan tidak mengada-ada tentang ini.
Tak lama usai melihat adegan tersebut, saya jadi ingat sebuah kaos keren yang pernah dipakai seseorang. Kalau tidak salah kaos itu bertuliskan: THE REVOLUTION WILL BE CUTE AS HELL. (*)
BACA JUGA Generasi K (Keminter dan Karatan) Harusnya Berkaca Dulu Sebelum Nyinyiri Aksi Mahasiswa atau tulisan Eddward S Kennedy lainnya. Follow Facebook Eddward S Kennedy.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.