Hampir setiap hari libur, Gunungkidul selalu dipenuhi para wisatawan yang datang dari berbagai daerah. Hal ini bisa dilihat dari padatnya kendaraan sepanjang jalan Wonosari-Jogja yang tampak tumpah-ruah dipenuhi wajah-wajah sumringah. Dari sekian banyak tempat wisata di Gunungkidul, tampaknya objek wisata pantai masih tetap menjadi primadona para pengunjung. Fenomena ini begitu menggambarkan Jogja Istimewa, seperti yang kita tahu.
Demi menyenangkan hati para wisatawan, pemerintah dengan sigap membelah gunung-gunung di sepanjang jalur wisata pantai untuk dijadikan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS). Selain mempermudah akses jalan, tentu saja pembangunan JLS ini semata-mata untuk memanjakan para wisatawan agar semakin betah dan full senyum ketika berkunjung ke Gunungkidul.
Tidak cukup sampai di situ, agar lebih nyaman, kini juga sudah telah tersedia hotel-hotel megah dengan fasilitas mewah yang siap menyambut para wisatawan dari berbagai daerah. Dengan adanya fasilitas-fasilitas pendukung ini, diharapkan wisatawan akan semakin membludak dan mampu menarik para investor untuk menanam modal di kawasan wisata pantai selatan.
Banyaknya wisatawan yang datang ke tanah kelahiran saya ini, tidak sedikit orang luar daerah yang kemudian menganggap bahwa masyarakat Gunungkidul semakin hari semakin sejahtera dan makmur. Mengingat wisatawan yang datang tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa cuan, sehingga akan berdampak kepada masyarakat luas.
Anggapan tersebut tentu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Ya, di balik ingar-bingar pariwisata di Gunungkidul yang semakin berkembang pesat, kami sebagian warga Gunungkidul hanya menjadi penonton. Artinya, keuntungan yang didapat dari gebyar wisata ini hanya dirasakan segelintir orang, sisanya tidak sedikit warga yang justru merasa dirugikan.
Ada beberapa contoh kasus atau fenomena getir yang kini tengah dirasakan oleh sebagian masyarakat Gunungkidul di balik senyum bahagia para wisatawan yang datang berbondong-bondong dari berbagai daerah, di antaranya:
Luka Proyek JJLS
Proyek pembangunan JJLS memang sekilas begitu memukau dan mengagumkan. Jalan yang dulunya sempit, naik-turun, gronjal, serta berliku tajam, kini tampak halus dan semakin memudahkan akses para wisatawan yang ingin mengunjungi obyek wisata pantai selatan.
Namun, di balik proyek pelebaran jalan ini menyimpan sekelumit persoalan yang dihadapi warga yang tinggal di kawasan tersebut. Salah satu kasus yang cukup menghebohkan dari pembangunan JJLS adalah pemindahan batu keramat bernama Watu Manten di Jalan Rongkop-Girisubo, tepatnya di Dusun Semampir, Desa Semugih, Kecamatan Rongkop, Gunungkidul.
Ya, batu yang dianggap sakral oleh masyarakat sekitar tersebut, dipecah lalu dipindahkan di seberang jalan. Padahal, menurut warga sekitar, batu keramat tersebut sejatinya tidak mau dipindah. Namun, oleh para petugas proyek dipaksa menyingkir karena menghalangi proyek pelebaran jalan.
Selain menggusur batu yang memiliki nilai-nilai tradisi tersebut, proyek JJLS ini juga meninggalkan luka bagi sebagian warga yang tanahnya dilalui jalan ini. Saya sempat bertemu dengan salah seorang warga yang mengaku belum mendapatkan ganti rugi secara penuh terkait pembebasan lahan sesuai yang dijanjikan. Bahkan, ia terpaksa harus merelakan beberapa bidang tanahnya karena terkendala masalah administrasi.
Dampak proyek pelebaran jalan ini juga dirasakan oleh sejumlah warga yang memiliki ladang di sekitar JJLS. Rapuhnya galengan atau tebing jalan yang tidak dikerjakan secara serius, membuat sisa-sisa batu kapur di pinggir jalan tersebut ambrol dan terjun bebas ke lahan pertanian. Tak pelak, hal ini cukup mengganggu aktivitas para petani dan bahkan dinilai bisa merusak tanaman.
Tumbal iklan pariwisata Jogja Istimewa
Hampir setiap hari mungkin kita melihat atau mendengar gembar-gembor iklan pariwisata di Jogja yang dilakukan pihak-pihak terkait, baik di media online maupun cetak. Banyaknya objek wisata di Gunungkidul yang indah dan memesona, seringkali mereka jadikan headline utama untuk menarik para wisatawan. Tentu saja, hal ini membuat Kota Jogja tampak semakin istimewa dan moncer tiada tanding untuk urusan wisata. Lalu, bagaimana dengan nasib warga Gunungkidul sendiri?
Saya tidak cukup berani mengatakan bahwa tanah Gunungkidul sebenarnya telah dijual oleh mereka para pemilik modal dan mereka yang memiliki kepentingan. Saya hanya ingin mengabarkan kepada wisatawan, bahwa di balik keindahan panorama alam Gunungkidul, tersimpan keluh-kesah dan luka terpendam yang diam-diam dirasakan sebagian warga.
Mungkin banyak orang berpikir bahwa banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Gunungkidul akan membawa berkah bagi para pedagang di kawasan wisata. Jelas, anggapan tersebut tidak salah. Namun, hal tersebut hanya dirasakan segelintir orang yang punya cukup energi untuk mengelola serta memanfaatkan peluang untuk hidup.
Beberapa waktu lalu, saya sempat menanyakan kepada sejumlah pedagang yang memiliki toko kelontong pinggir jalan di salah satu pantai di Gunungkidul. Menurut penuturan pedagang tersebut, tidak banyak warga sekitar yang beruntung sepertinya. Bahkan, ia menyebut bahwa warga di sekitar berprofesi sebagai nelayan, buruh, dan kuli bongkar ikan. Sementara, mayoritas para tengkulak ikan bukan berasal dari Gunungkidul, melainkan dari luar daerah.
Ya, begitulah realitas yang tengah dialami sebagian masyarakat Gunungkidul, terutama mereka yang tinggal di kawasan pesisir pantai selatan. Yang mana mayoritas para pemilik hotel, tengkulak ikan, dan toko-toko besar, bukan warga Gunungkidul. Sementara, warga asli Gunungkidul berprofesi sebagai kuli, buruh kasar, dan menggantungkan nasibnya di tanah perantauan.
UMK paling rendah se-DIY
Meski daerahnya diserbu wisatawan dan pembangunan, UMR Gunungkidul adalah salah satu yang paling rendah. Bahkan, UMR Jogja kota masih mendingan ketimbang kabupaten ini. Jogja Istimewa bangetz.
Pesatnya perkembangan sektor wisata di Gunungkidul membuat para pemilik modal berjejal-jejal datang ke Gunungkidul untuk mengembangkan bisnisnya, mulai dari membangun wisata baru, hotel, hingga kafe. Banyaknya lahan yang masih luas di kawasan wisata, tentu sangat mudah bagi kaum berduit untuk berbuat apa saja di Bumi Handayani ini.
Ya, di saat para investor berbondong-bondong datang ke tanah kelahiran dengan wajah sumringah, justru sebagian kawula muda Gunungkidul pergi merantau ke luar daerah. Tidak sedikit warga yang tinggal di pesisir pantai memutuskan untuk mengadu nasib di perkotaan. Alasannya cukup sederhana, apa yang mau diharapkan tetap tinggal di wilayah ini, selain jadi kulinya kaum berduit?
Situasi yang dihadapi sebagian warga perantau Gunungkidul memang simakalama atau istilah orang Jawa “maju tatu, mundur ajur”. Meninggalkan keluarga dan orang tua yang rata-rata sudah lansia tentu tidak mudah, tetapi kita tahu bahwa UMK Gunungkidul menempati posisi paling bontot se-DIY dan masuk 15 besar UMK terendah se-Indonesia, yaitu Rp1.900.000. Jadi, tidak ada pilihan lain selain merantau atau jadi kuli di tanah sendiri.
Harus diakui ketimpangan sosial tampak begitu nyata di Gunungkidul. Meski banyak tempat wisata yang mendapatkan omzet ratusan juta per bulan, tetapi masih banyak warga sekitar masih melarat dan tidak terlibat dalam pengelolaan obyek wisata. Hal ini yang kemudian kerap memicu konflik di tengah-tengah masyarakat dan akhirnya membuat warga cukup merana.
Terlepas dari itu semua, sampai sekarang warga masyarakat Gunungkidul masih tetap guyup-rukun dan suka gotong-royong. Ini bisa dilihat dari banyaknya kegiatan kolektif yang sering dilakukan masyarakat, seperti sambatan, rewangan, kelompokan, dan lainnya. Hal ini yang kemudian menjadi modal utama warga untuk tetap bertahan hidup dan tidak bergantung dengan sistem yang semakin amburadul.
“Adoh Ratu, cedhak watu”, mungkin kalimat itulah yang paling tepat menggambarkan Gunungkidul. Mereka jauh dari gemerlap Jogja Istimewa yang menyilaukan mata, dan yang mereka lihat adalah pedihnya dunia. Mereka, bahkan, jadi turis di tanah kelahiran sendiri.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Gunungkidul Adalah Sebaik-baiknya Kabupaten untuk Tempat KKN