Banyak anak muda menganggap bekerja di cafe itu keren. Suasananya santai, dekat dengan kopi, banyak ketemu orang baru, dan rasanya seperti bagian dari gaya hidup urban. Tidak heran kalau banyak mahasiswa atau fresh graduate mencoba peruntungan di sana. Tapi tunggu dulu, kalau tempatnya masih berstatus perintis alias baru buka, siap-siap mentalmu diuji!
Cafe perintis biasanya lahir dari semangat besar pemiliknya. Mereka ingin menciptakan “tempat nongkrong baru” yang beda dari yang lain. Tapi di balik semangat itu, sering kali karyawanlah yang jadi korban. Bayangkan, kamu daftar jadi barista, tapi begitu masuk malah merangkap jadi kasir, pelayan, tukang cuci piring, sampai tukang sapu. Semua kerjaan dilimpahkan dengan alasan “tim kita masih kecil, semua harus saling bantu”. Kedengarannya manis, tapi praktiknya bikin badan rontok.
Yang bikin tambah miris, gajinya sering kali jauh dari kata layak. Ada yang dibayar di bawah UMR, padahal jam kerja bisa tembus 10 sampai 12 jam sehari. Giliran protes, jawabannya klasik: “anggap aja ini kesempatan belajar” atau “anggap ini investasi pengalaman.” Padahal itu cuma cara halus untuk bilang: sabar aja ya, tenagamu lagi dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Lingkungan kerja di cafe perintis yang (kadang) menyebalkan
Belum selesai sampai situ, tantangan di cafe perintis juga datang dari lingkungan kerja. Ada saja rekan kerja yang sok senioritas. Hanya karena masuk lebih dulu, dia merasa jadi “atasan bayangan.” Kerjaan berat dilempar ke anak baru, sementara dirinya sibuk mengatur-ngatur. Komunikasi pun jadi seret, suasana kerja yang seharusnya kompak malah penuh tensi.
Lalu, ada juga tantangan menghadapi pembeli yang sok mau sendiri. Dalam teori, setiap cafe pasti punya SOP: yakni, aturan yang jelas tentang melayani tamu, antrean, atau standar pelayanan. Tapi di cafe perintis, SOP itu sering hanya berhenti di kertas. Begitu ada pelanggan yang minta aneh-aneh, karyawan disuruh mengalah. Mau kursi digeser seenaknya, mau menu dimodifikasi di luar kemampuan, bahkan mau suasana cafe diatur sesuka hati. Semua dilayani, semua dituruti. Karyawan akhirnya jadi bulan-bulanan, bukan hanya fisik yang capek tapi mental juga terkuras.
Situasi seperti ini bikin kerja di cafe perintis terasa seperti bertarung di medan perang tanpa perisai. Aturan berubah-ubah, jam kerja tidak menentu, hak lembur diabaikan, dan yang tersisa hanyalah rasa lelah bercampur frustrasi. Istilah “suasana kekeluargaan” yang sering digaungkan pemilik pun sebenarnya hanya pemanis bibir. Nyatanya, tidak ada keluarga yang tega menyuruh anggotanya kerja rodi dengan bayaran yang minim.
Yang bikin khawatir, banyak anak muda masuk ke dunia ini tanpa sadar sedang dieksploitasi. Karena ingin pengalaman, mereka menerima semua perlakuan tidak adil. Mereka menganggap wajar kalau cafe baru masih semrawut. Padahal justru dari awal, sebuah bisnis harus bisa memperlakukan karyawan dengan wajar. Kalau sejak merintis saja sudah mengorbankan tenaga orang lain, bagaimana bisa bisnis itu berkembang dengan sehat?
Tidak semua, tapi tetap waspada
Tentu tidak semua cafe sama. Ada cafe yang profesional sejak awal, SOP jelas, gaji layak, dan jobdesk sesuai. Di sana, bekerja benar-benar bisa jadi pengalaman berharga. Tapi kalau bicara cafe perintis yang masih bingung arah, sering kali karyawanlah yang jadi tumbal.
Karena itu, sebelum tergoda dengan iming-iming kerja di cafe baru yang katanya seru dan estetik, alangkah lebih baik untuk dipertimbangkan kembali terlebih dahulu. Jangan sampai kamu masuk ke dalam lingkaran pekerjaan tanpa aturan jelas, gaji seadanya, rekan kerja penuh drama, dan pelanggan yang maunya dituruti terus. Hidup sudah berat, jangan ditambah dengan kerjaan yang malah bikin mental drop.
Pekerjaan yang sehat bukan cuma soal gaji, tapi juga soal penghargaan. Karyawan berhak mendapatkan aturan kerja yang jelas, pembagian tugas yang masuk akal, dan perlindungan dari sikap semena-mena, baik dari manajemen maupun pelanggan. Kalau semua itu tidak ada, jangan ragu untuk bilang tidak.
Pada akhirnya, harus diakui bahwa bekerja di cafe memang bisa menjadi pengalaman menarik. Akan tetapi, kalau cafenya masih perintis dan semua masalah tadi ada di sana, lebih baik pikir seribu kali. Jangan biarkan kata-kata manis menutupi kenyataan pahit. Pilihlah tempat kerja yang benar-benar menghargai usahamu, bukan yang hanya menguras tenaga sambil berlindung di balik alasan “masih merintis”.
Penulis: Muhammad Rizky Shorfana
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















