Jujur, sekarang saya semakin malas memberikan komentar—kritik—di media sosial. Karena apa? Dari banyak pengalaman, saya malah mendapat balasan di luar dugaan. Kebanyakan postingan yang saya komentari malah dibalas oleh admin atau yang punya akun dengan nada kemarahan—tidak terima.
Suatu hari saya malah pernah dihajar habis-habisan oleh followers teman saya. Saat itu saya mengomentari postingan teman. Followersnya tidak terima. Padahal teman yang sudah lama mengenal saya bersikap biasa saja, tidak menanggapi apa-apa. Kok mereka malah lebih ribut ya? Saya bingung, kok orang-orang mudah marah dan tersinggung ya? Kebanyakan netizen memang bersumbu pendek. Belum benar-benar memahami isi sebuah postingan atau komentar sudah buru-buru menanggapinya.
Dalam KBBI kritik, /kri·tik/ n kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya;. Nah dari pengalaman, saya lihat orang-orang sepertinya fokus pada “kecaman” semata. Sehingga, ketika seseorang memberikan komentar, mereka malah menanggapinya sebuah kecaman yang mempertaruhkan harga dirinya. “Wah, citraku jadi jelek nih!”
Kemudian, saya lihat kebanyakan orang lebih banyak ingin diberi tanggapan yang baik-baik saja. “Wah, tulisanmu bagus ya! Wah, fotomu bagus ya! Wah, karya-karyamu keren!” Intinya, mereka cuma mau dengar pujian. (Tuhan aja masih sering mendapat kritik dan omelan dari manusia loh, padahal Dia sudah maha sempurna, hehe)
Mungkin anda belum puas. Saya ambil lagi pengertian kritik dari bahasa Yunani. Klitikos berarti “yang membedakan”. Kata itu turunan dari krites artinya “orang yang membedakan”, “pendapat beralasan”, “analisis”, “pertimbangan nilai”, “interpretasi”, “pengamatan”.
Di lapangan, banyak sekali orang-orang yang sulit sekali menerima masukan—kritik—dari orang lain. Sialnya, tidak sedikit pula yang merasa kritikan itu sebagai shaming. “Wah, dia sengaja nih mempermalukan aku.” Padahal, banyak karya-karya terkenal—bahkan awet dari jaman ke jaman—karena terus menerus mendapat kritikan loh.
Suatu ketika, saya pernah mengkritik postingan seseorang. Isinya sebuah buku. Kebetulan saya sudah baca buku itu. Lalu saya berikan komentar berupa kritik. Kebetulan kritik saya lebih banyak melihat sisi kekurangan—kelemahan—daripada kelebihan—kekuatan—buku itu. Wah, saya dikatain book shaming. Benarkah saya book shaming?
Ketika saya berkomentar, “buku ini jelek”, “buku itu sampah” tanpa disertai argumen masuk akal, saya pantas mendapatkan julukan itu. Saya tidak pantas disebut sebagai pelaku book shaming kalau saya memberikan penjelasan misalnya: “Buku itu jelek! Banyak kata-kata yang salah ketik”, “menurut saya novel itu tidak bagus karena logika bahasanya berantakan.” Bukankah, media—termasuk mojok ini—menolak atau menerbitkan tulisan yang masuk berdasarkan konsep kritik itu? Mereka punya argumen atau alasan rasional untuk menolak atau menerimanya.
Saya akui. Dari pengalaman membaca komentar-komentar orang, kebanyakan memang jatuh-jatuhnya ke bentuk shaming atau mempermalukan. Tapi harus kita sadari pula, tidak semua komentar itu berupa shaming. Saya pribadi justru bersyukur jika ada orang yang mau memberikan masukan atau kritikan atas karya-karya saya. Bahkan ketika mereka mengomentari penampilan—tubuh—saya dengan berbagai alasan. Jadi, saya tidak buru-buru tersinggung apalagi marah dan menghakiminya body shaming. Saya tidak sedangkal itu.
Dalam dunia berkarya, kritik sangat dibutuhkan supaya karya-karya kita ikut bertumbuh. Dengan berbagai kritik yang ada, kita bisa memperbaiki kualitas diri. Dunia pengetahuan juga bertumbuh karena adanya kritik. Ingat, kritik itu tak melulu membicarakan hal-hal yang baik—kelebihan—tapi juga kekurangan.
Kalau anda hanya melulu mengharapkan pujian dari orang lain, percayalah anda tidak akan berkembang. Anda akan menjadi pribadi yang rapuh. Bahkan orang bijak dulu sudah pernah mengingatkan. Hati-hati dengan pujian sebab pujian adalah racun.
Mulai sekarang, cobalah membuka diri terhadap kritikan dari orang lain. Kalau bisa fokuslah pada kritikan-kritikan yang bisa membangun kekurangan dan kelemahan anda. Bila perlu, saat ada orang yang melakukan shaming, anda cukup tertawa dan mengambil hikmahnya. Kalau anda cukup kreatif, jadikan itu inspirasi berkarya. Atau, abaikan saja, tak perlu memasukkannya ke hati. Jangan buru-buru tersinggung. Dikit-dikit book shaming. Dikit-dikit body shaming. Jangan buru-buru marah, apalagi sampai melaporkannya ke polisi dan menjeratnya dengan pelanggaran UU ITE. Tidak perlu, kisanak. Pada akhirnya, semua pengalaman itu akan membuat anda semakin tangguh kok.