Di benak banyak orang, Solo mungkin kota yang enak dan santai. Namun, itu dahulu, sekitar 10 tahun yang lalu. Sebagai seseorang yang sejak kecil hingga saat ini tinggal di Kota Batik ini, saya menyaksikan sendiri bagaimana kota ini perlahan mulai berubah.
Perubahan signifikan terjadi pada cara berkendara di kalanan Solo. Menurut saya, sekarang ini Solo sudah darurat tertib berkendara. Semakin banyak pengendara nggak peka sehingga jalanan jadi semrawut. Dan, sebaiknya, operasi zebra dilakukan setiap hari tanpa libur sebelum kondisi jalan semakin buruk.
Kekesalan akan pengguna jalan di Solo sebenarnya sudah saya pendam sejak sekitar tiga tahun lalu. Rasa kesal ini sesekali saya singgung dalam tulisan di Terminal Mojok. Namun, kali ini saya ingin menuliskan kekesalan saya terhadap pengendara-pengendara nggak peka di jalanan Solo secara lebih lengkap dan utuh.
#1 Pengendara menerobos lampu merah
Tindakan satu ini yang paling saya benci: pengendara menerobos lampu merah. Pengendara tidak menghiraukan warna lampu pada Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) dan asal terobos saja. Percaya deh sama saya, menerobos lampu merah bisa dengan mudah kalian temukan di tiap lampu merah Solo.
Saya mengalami kejadian semacam ini tidak hanya sekali atau dua kali. Setiap kali saya keluar rumah, hampir selalu saya melihat orang menerobos lampu merah. Lebih sering saya menjadi saksi kebodohan para pengendara, tapi pernah sekali waktu saya hampir celaka karenanya.
Kejadian ini baru saya alami seminggu lalu. Saat perjalanan menuju kampus di pagi hari, saya menyaksikan pengendara yang menerobos lampu merah. Saya masih ingat betul, pada saat itu lampu masih merah dan saya berhenti seperti biasa. Di sebelah saya ada seorang pengendara motor matic warna putih. Tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas, orang ini langsung tancap gas. Padahal lampu masih merah dan kondisi jalan cukup ramai. Saya terheran-heran, pengendara itu diklakson banyak orang dan bahkan diteriaki, tapi dia malah balik menantang. Aneh kan?
Di hari yang sama, sore harinya sekitar jam 4, di saat menuju pulang ke rumah saya berhenti di lampu merah. Kali ini lampu sudah hijau, dan kebetulan saya berada paling depan. Begitu lampu berubah hijau, saya mulai melaju, dan tiba-tiba ada pengendara lain yang menerobos dari arah samping.
Tentu saja nyaris banget tabrakan, saya refleks mengklakson, tapi pengendara itu malah cuek. Bahkan, sambil ngomel nggak jelas, seolah dia yang benar. Aneh banget, kan?
#2 Parkir sembarangan mulai menjamur di jalanan Solo
Berdasar pengamatan saya sebagai warga lokal alias warlok, semakin banyak orang yang parkir sembarangan di jalanan Solo. Saya tidak tau apa yang ada di kepala orang-orang seperti ini. Apa mereka berpikir, “Ah, cuma sebentar kok, parkir pinggir jalan juga nggak apa-apa, lagian masih bisa dilewati,” begitu?
Saya jadi ingat suatu kejadian sekitar tiga bulan lalu. Saat itu saya hendak mengantar kakak saya ke bandara, di perjalanan tiba-tiba saya terjebak macet. Padahal, saya tahu betul bahwa jalan itu biasanya tidak pernah macet.
Saya menunggu karena mobil masih bisa bergerak pelan-pelan. Setelah beberapa menit, akhirnya saya menemukan biang keroknya yaitu sebuah mobil yang parkir seenaknya di pinggir jalan, hanya untuk… makan soto. Bayangkan saja, hanya demi satu mobil yang parkir sembarangan demi semangkuk soto, efeknya satu ruas jalan jadi macet panjang.
#3 Melawan arah saat di lampu merah
Saya juga mengamati, di jalanan Solo saat ini semakin marak pengendara yang nekat lawan arah dan mengambil jalan seenaknya. Dan, lucunya atau mungkin tragisnya, kejadian ini justru paling sering terjadi di area lampu merah.
Kenapa demikian? Karena ketika antrean lampu merah sedang panjang, selalu saja ada satu dua orang yang tiba-tiba memutuskan untuk mengambil jalan dari arah berlawanan demi bisa berada di barisan paling depan. Mereka memotong jalur, melawan arus, dan memaksa pengendara dari arah lawan untuk mengalah. Padahal jelas-jelas perbuatannya salah.
Dari satu orang, tiba-tiba ada yang ikut, lama-lama jadi kebiasaan dan budaya yang akhirnya? Ya, kemacetan makin parah, pengguna jalan lain ikut terganggu, dan suasana jalan semakin kacau. Semua demi ingin duluan.
#4 Jalanan Solo menjadi arena balapan
Bagi saya, rasanya sudah tidak aman kalau ingin bepergian malam hari di Kota Solo. Bukan karena takut bertemu orang jahat, tetapi karena banyak pengendara yang suka kebut-kebutan atau balapan di jalanan. Saya sering melihat pengendara yang memaksimalkan gas kendaraannya. Seolah-olah jalanan adalah milik pribadi.
Mungkin, sebagian besar dari orang yang kebut-kebutan itu merasa, Solo pada jam 12 malam sudah sepi ya sehingga boleh-boleh saja dijadikan area balap. Kejadian ini sering terjadi di Jalan Slamet Riyadi, Balekambang, hingga beberapa ruas jalan besar lainnya sering menjadi “arena balap” dadakan.
Tidak jarang, saya harus ekstra hati-hati karena tiba-tiba ada motor, mobil, bahkan bus melaju kencang dari belakang. Biasanya ada juga rombongan pengendara yang saling susul-susulan tanpa memikirkan keselamatan orang lain. Rasanya benar-benar tidak aman. Apalagi, jika kita hanya ingin pulang atau pergi sebentar di malam hari.
Semoga Solo yang dulu dikenal sebagai kota yang santai, enak, dan nyaman bisa segera kembali. Semua alasan di atas membuat saya merasa bahwa Solo memang sudah masuk tahap darurat tertib berkendara semakin lama semakin semrawut. Saya pribadi berharap operasi zebra atau razia ketertiban dilakukan setiap hari, tanpa jeda, supaya perilaku-perilaku yang saya sebutkan tadi tidak berubah menjadi budaya buruk yang akhirnya membuat kota ini semakin tidak nyaman.
Penulis: Imanuel Joseph Phanata
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Kasihan Solo, Selalu Dibandingkan dengan Jogja, padahal Perbandingannya Kerap Tidak Adil!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















