Beberapa hari lalu, di media sosial X viral video tawuran di daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tawuran melibatkan sekumpulan remaja berusia belasan tahun. Dalam video itu, terlihat salah satu pelaku tawuran mengalami luka cukup parah. Tangannya ditebas dengan benda tajam.
Saya miris melihat melihat video itu, tapi sudah tidak heran lagi. Bagi warga Jakarta Timur, tawuran sudah sangat familiar saking seringnya terjadi. Bukan hanya tawuran pelajar, bahkan tawuran antar warga juga masih sering terjadi di kota ini. Setiap tahun korban yang berjatuhan akibat tawuran sangat banyak, baik korban tawuran langsung ataupun korban salah sasaran.
Daftar Isi
Korban yang sering salah sasaran
Saya merasa perlu berpikir berulang kali untuk hidup Jakarta Timur. Sebab, mereka yang menjadi korban tidak hanya yang terlibat tawuran saja. Kerap kali korban justru berasal dari mereka yang tidak terlibat alias salah sasaran. Benar-benar tidak aman.
Seorang teman pernah cerita, dia mengendarai sepeda motor untuk ke sekolah karena jaraknya yang cukup jauh. Pada suatu hari kesialan menimpa dirinya ketika pulang sekolah. Sebuah batu besar mengarah ke bagian kepalanya, persis saat ia sedang melintas di salah satu jalan di daerah Rawamangun, Jakarta Timur.
Saat itu, dia tidak tahu sedang terjadi tawuran antar pelajar. Beruntungnya dia menggunakan helm yang SNI sehingga tidak terluka begitu parah. Coba bayangkan kalau teman saya ini tidak menggunakan helm atau terkena benda tajam lain, pasti sangat mengerikan akibatnya.
Cerita serupa juga menimpa anak tetangga saya. Ketika pulang sekolah, tiba-tiba anak tetangga saya dibacok dari belakang. Lukanya sangat parah karena saat kejadian dia sedang membonceng motor temannya. Bahkan, dia sampai koma berhari-hari. Pelaku yang tertangkap mengaku, dia salah mengira anak tetangga saya adalah musuhnya dari sekolah lain.
Seragam bebas tidak mencegah terjadinya salah korban
Sebenarnya sekolah sudah berusaha meminimalisir terjadinya korban salah sasaran dengan membebaskan seragam batik setiap hari Kamis. Tujuannya, agar tidak bisa dikenali asal sekolah pelajar.
Termasuk sekolah saya dahulu yang berada di Klender, Jakarta Timur. Selain batik yang dibebaskan setiap Kamis, tidak boleh ada emblem apapun yang mencirikan identitas sekolah yang menempel atau menjadi pelengkap di baju putih abu-abu. Setiap pulang sekolah ada guru yang berdiri di depan pos sebelum pintu keluar. Tugas guru itu memastikan pakaian murid-muridnya tidak mencirikan identitas sekolah.
Akan tetapi, sepertinya hal itu tidak memberikan dampak berarti. Hingga saat ini masih sering terjadi korban salah sasaran.
Tawuran di Jakarta Timur seperti lingkaran setan
Di Jakarta Timur tawuran dan tindak kekerasan lain dianggap sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan segala masalah. Mereka yang terlibat tidak memikirkan dampak atau efek jangka panjangnya. Padahal dendam yang timbul setelah tawuran bisa panjang, bisa menjadi lingkaran setan yang sulit putus.
Persoalan ini kian sulit menemukan titik terang ketika warga sekitar justru mengucilkan para pelaku tawuran. Saya tidak bisa menyalahkan mereka juga sih, mungkin terlalu banyak kerugian yang dialami karena tawuran. Hanya saja, tidak terlibatnya warga dalam mengentaskan masalah ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan lingkaran setan tawuran tidak pernah putus.
Tawuran sudah berkali-kali terjadi, tapi masalah ini tidak pernah menemukan solusi berarti. Pihak keamanan seperti polisi tampak tidak bisa diandalkan dalam kasus tawuran. Mereka tidak bisa mencegah dan cenderung terlambat ketika tawuran pecah.
Saya pikir, menjadi warga Jakarta Timur ini benar-benar harus serba sendiri alias mandiri. Seolah-olah tidak hidup di dalam pemerintahan atau semacamnya. Lha, kalau pihak-pihak yang seharusnya menyelesaikan masalah tidak mampu mengatasinya, mau tidak mau memang setiap keluarga yang harus menjaga anaknya masing-masing.
Selain serba sendiri, saya warga jadi warga Jakarta Timur perlu punya banyak nyawa juga. Rentan jadi korban salah sasaran tawuran.
Penulis: Muchlis Amin
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.