Saat pertama melihat video polisi membanting mahasiswa, saya langsung nyeletuk, “necklock slam!” Bantingan ala gulat pro atau Smackdown itu sempat membuat saya terpukau. Setidaknya selama lima detik sampai saya berteriak “bajingan”.
Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang yang dipercaya menjaga keamanan melakukan tindakan berbahaya. Necklock slam bisa saja membunuh Anda karena leher menerima impact dari bantingan. Di ring Smackdown saja berbahaya, Apalagi dilakukan di trotoar yang keras? Terbukti si mahasiswa yang dibanting kejang dan pingsan.
Tentu banyak pihak mengutuk aksi yang seperti bocah mencontoh Smackdown ini. Bahkan sangat sulit untuk menemukan suara pro pada tindakan brutal tersebut. Dan seperti biasa, karena viral pihak kepolisian langsung bersuara. Baik dengan klarifikasi, sampai menjanjikan menghukum si polisi nggatheli itu.
Saya pribadi merasa mual dan muak melihat aksi berbahaya ini. Apalagi saya tahu, bantingan tadi bukan drama ala Smackdown. Tapi, saya perlu menertawakan tragedi tersebut. Bukan karena tidak bersimpati, tapi tawa masam melihat sebuah ironi. Ironi yang disajikan oleh aparat dalam waktu 24 jam saja.
Sehari sebelumnya, muncul tagar #PolisiSesuaiProsedur yang menguasai trending di Twitter. Banyak pihak menduga, tagar ini bertujuan untuk melawan tagar #percumalaporpolisi yang digaungkan Project Multatuli. Itu lho, kanal reportase yang sedang panas-panasnya membongkar kasus yang terlewat mata masyarakat.
Saya sih ikut berpikir demikian. Munculnya tagar ala polisi tadi dalam momentum yang pas banget. Ketika warganet sibuk menanggapi tagar #percumalaporpolisi, tiba-tiba tagar yang berlawanan muncul dan ikut trending. Sebenarnya keren sih, tagar ala polisi tadi bisa trending di hari pertama. Tim digital marketing dan social media specialist polisi patut diacungi jempol
Pihak Polri pun menyanggah anggapan di atas. Menurut mereka, tagar #PolisiSesuaiProsedur adalah bentuk konsistensi polisi dalam melayani masyarakat. Dan menurut mereka, lahirnya tagar ini tidak berhubungan dengan viral ya #percumalaporpolisi. Yah sulit untuk percaya, ketika Stevie Wonder saja bisa melihat kecenderungan perang tagar ini.
Sehari kemudian, tragedi Smackdown tadi terjadi. Dan kalau kembali ke urusan tagar, apa benar bantingan tadi bagian dari prosedur? Saya sebagai rakyat jelata saja melihat bantingan tadi tidak perlu. Tanpa dibanting, si mahasiswa tidak memberi perlawanan berarti kok. Kuncian leher si polisi ndlogok tadi sudah cukup untuk menaklukkan mahasiswa yang (sebenarnya tidak perlu) diborgol saja.
Di sinilah ironi lahir. Ketika polisi sibuk mengkampanyekan tagar sesuai prosedur tadi, baru sehari jalan anggota mereka melakukan tindakan brutal yang melanggar prosedur. Baru sehari saja, tagar yang digenjot viral ini bisa dilecehkan.
Seolah-olah memang sulit untuk menuntut polisi untuk melakukan sesuatu sesuai prosedur. Dibilang skeptis, ya gimana tidak. Lha wong jauh sebelum tagar tadi membangun opini publik, langsung dibantah kok. Kan nggatheli. Rasanya seperti dijanjikan bakal setia, besoknya ketahuan mainan Tinder.
Tapi, ironi ini belum usai. Sampai saat saya menulis ini, tagar #PolisiSesuaiProsedur masih viral. Tapi, ketika Anda buka, yang muncul adalah video bantingan polisi diikuti hujatan dan sumpah serapah.
Tagar yang seharusnya mengharumkan citra polisi menjadi alasan polisi dikecam. Tagar yang bisa menyelamatkan muka tebal polisi kini berisi perilaku subversif yang dibenci masyarakat. Dan ketika tagar sesuai prosedur tadi bisa mengalahkan tagar #percumalaporpolisi, yang membuat viral adalah masyarakat yang benci perilaku polisi.
Perang tagar ini dimenangkan polisi. Itu sudah jelas terlihat di Twitter. Tapi, polisi tetap kalah dan salah di mata rakyat. Tanpa perlu investigasi mendalam ala Project Multatuli, semua tersaji secara gamblang dan jelas setajam Silet. Bahkan polisi sendiri yang menyuapi masyarakat dengan sikap apati dan skeptis terhadap kinerja aparat keamanan rakyat ini.
Tanpa harus dilawan dengan tagar baru, tagar #PolisiSesuaiProsedur akhirnya dipertanyakan. Apa benar polisi telah sesuai prosedur dalam tindakannya? Apa benar bantingan polisi itu karena mengikuti prosedur? Saya sih skeptis jika bantingan polisi yang fatal itu ada dalam prosedur melumpuhkan target yang tidak berdaya.
Meskipun bantingan itu disebut “gerak refleks”, saya pikir tetap saja prosedur yang sedang diunggulkan itu tidak terlaksana. Mungkin polisi brengsek tadi belum membaca panduan melumpuhkan seseorang dalam berbagai situasi. Dan ketika reflek yang disalahkan, ke mana akal sehat si pembanting mahasiswa itu? Apakah pelajaran selama di Akpol, yang dibiayai pakai uang rakyat itu, tidak nyantol di kepala? Ah, kok sepertinya kepekokan ini selaras dengan sebuah kata pepatah: “Banyak membaca jadi pintar, sedikit membaca jadi polisi”.
Mau dengan cara apa lagi polisi memperbaiki citra? Tagar sudah gagal memenangkan hati rakyat. Bahkan rakyat makin bertanya di manakah polisi baik berada. Yah mungkin memang benar kata Mbah Gusdur. Polisi baik itu hanyalah polisi tidur, patung polisi, dan polisi Hoegeng.