Jika dulu impian seorang laki-laki adalah menikahi perempuan yang berprofesi sebagai guru. Mengingat waktu yang dimiliki guru terbilang cukup banyak untuk berada di rumah—menimang buah hati sampai urusan gizi suami. Lain soal di zaman ini, profesi guru tidak lagi sefleksibel dahulu. Di mana lepas zuhur sudah ada di rumah dan berjibaku menjadi ibu rumah tangga kembali usai mendidik anak-anak orang lain yang sudah pasti memanggil ibu.
Dalam upaya memerangi budaya titip absen, di mana sudah mendarah daging sejak bangku kuliah ditekuni. Yang mana membuat hasrat tergiur untuk menerima gaji buta alias memakan gaji, namun nihil tanggung jawab atas pekerjaan yang dilakoni. Fingerprint datang membawa solusi sebagai bayang yang terus menghantui setiap jengkal langkah para guru. Di mana praktiknya memiliki jadwal sendiri—mengikat guru dari aktivitas selain di lingkup lembaga. Alasannya klasik menegakkan kedisiplinan.
Kita mulai dari tingkat SD, sepengamatan di daerah saya anak-anak SD pulang sekolah maksimal pukul 12.00 WIB. Tentu, guru tidak sama. Fingerprint kepulangan guru dimulai sejak pukul 14.00 WIB sampai sekitar pukul 16.00 WIB. Alhasil guru yang tak memiliki jam mengajar pun tertahan untuk tetap berada di sekolah hingga waktu fingerprint dimulai.
Lantas, bagaimana dengan tingkat SMP dan SMA? Tentu semakin bertambah tingkat pendidikan, semakin lama pula guru menghabiskan waktu di sekolah sekalipun tiada jam mengajar. Apalagi mengingat diterapkannya sistem full day school yang tak hanya membuat otak siswa-siswi menjerit, tetapi resah benak sang guru memikirkan keluarga di rumah. Apa kabar bayi mungil yang merengek minta ASI? Apa kabar gelisah anak remaja puber yang sekedar ingin mencurahkan isi hati? Dan apa kabar segala perhatian yang mesti tercurah saat suami hendak mengisi kekosongan abdomen?
Jangankan mengurusi orang lain meskipun itu keluarga sendiri, untuk memiliki me time saja sulitnya minta ampun. Sehingga rumah bak tempat segala pelepas emosi yang terpendam di sini, hati. Anak merengek sedikit, naik darah. Apalagi ayahnya anak telanjur sangat ingin dimanja-manja, semprot malah yang diterima. Lelah. Bilamana seseorang dilanda lelah jangan sesekali didekati untuk dicuri perhatiannya agar segera berbelas kasih. Jika tidak, mesti siap dengan segala perabot rumah yang berjalan di atas langit-langit rumah.
Percayalah sebaik apa pun image guru, ia tetap manusia. Manusia biasa sama seperti saya, kamu, dan mereka. Jika tersenyum bibirnya melengkung, jika tertawa deretan giginya tampak, jika belum makan nasi tidak akan berkata sudah makan. Oke yang terakhir habit warga negara +62.
Meskipun seorang guru dituntut tampil sebagai contoh nyata dalam kehidupan bermasyarakat, bukan berarti tak memiliki cela. Terkadang saat deadline pemberkasan sudah di depan mata, tetapi ada satu hal tertinggal saja yang mana akan mempersulit suatu proses, di atas kepalanya akan tumbuh dua tanduk sekaligus keluar semburan asap dari hidung. Diajak bicara pura-pura tak mendengar, disenggol barang sedikit, lepas yang dinamakan kontrol dirinya.
Begitu hebatnya situasi dan kondisi merubah watak seseorang. Andai diprotes, yang disalahkan tiada lain engkau si pengganggu. Andai dinasihati, yang bersalah tiada lain engkau karena tak membantu. Andai dibentak, yang bersalah tiada lain tetap engkau si penoreh luka di hati.
Oh ya, jangan lupakan seperti apa rupa rumah di kala sibuk menjadi sahabat karibnya. Layaknya kapal pecah yang mana sewaktu-waktu bisa meledak, apalagi jika tak sengaja secarik kertas lembar kerjanya terkena tetes air minum pelepas dahaga di siang hari. Jangan mengharapkan bakal ada jatah.
Jadi, masih maukah beristrikan seorang guru? Juga kuat menghadapi segala liku yang disuguhkan di depan mata? Jika ya, berarti Anda seorang pengertian yang terlalu. Sebagaimana mendayung perahu akan dirasa mudah jika berdua, sudah barang tentu bagi sepasang suami-istri saling mengerti satu sama lain—menutupi segala kurang dan lebih. Sehingga saat suntuk melanda salah satu pihak, pihak satunya lagi bak pelepas penat.
Satu hal lagi, terkadang guru lebih pintar mengelabui fingerprint. Siswa-siswi SD pulang, guru pun tak mau kalah. Hanya saja ketika waktu fingerprint, kembali ke sekolah untuk memperlihatkan manisnya jemari. Jadi, hadirnya fingerprint tak begitu kokoh dalam menegakkan disiplin. Lagipula, mengajari kedisiplinan kok kepada mereka yang dalam mengigaunya saja masih mengajari orang lain. (*)