Suatu ketika saya meminta teman di kantor untuk mengupload foto kami bersama di akun Instagramnya, sekaligus tag akun saya agar tetap ada di fitur tag, berhubung teman saya mau resign, jadi hitung-hitung dapat dijadikan kenangan.
Tak disangka, teman saya menolak karena merasa rugi jika foto yang di-posting di akun Instagramnya tidaklah estetik, dan sialnya bagi dia foto bersama yang baru saja di-take tidak termasuk ke dalam kriteria standar minimum estetik versi dia.
Setelah kejadian itu, saya jadi paham mengapa foto yang diposting di akun instagramnya tidaklah banyak—hanya 20 foto—dan terakhir di-upload tahun 2018 lalu. Akhirnya, agar foto tetap bisa dijadikan kenang-kenangan bersama, saya meminta foto tersebut dikirim via Whatsapp. Hadeeeeh, mau posting foto di medsos aja kok ya ribet banget—pikir saya kala itu.
Bukan hanya satu atau dua orang, tapi banyak dari teman saya yang aktif di Instagram tidak sembarang dalam posting foto. Selalu dipilah mana yang bagus, dari segi warna, tone, pose, ekspresi, editan, dan lain sebagainya dengan istilah yang belum saya pahami. Entah ingin seperti para selebgram—mengikuti tren yang sedang ramai—atau justru ingin bersaing dengan mereka para selebgram—dalam berebut rezeki melalui endorse yang ditawarkan.
Alasan yang sering teman-teman saya sampaikan selain ingin foto yang estetik adalah mereka ingin feed Instagram mereka selalu rapi dan hanya foto-foto terpilih yang terpampang di akun mereka. Wahai teman, coba yang dirapikan bukan hanya feed Instagram, tapi juga kisah cinta dan pertemanan kalian juga.
Memang saya akui jika melihat feed Instagram—dengan segala foto estetiknya—selalu berhasil memanjakan mata saya. Dari mulai angle foto yang pas, latar belakang juga pemandangan yang paripurna, semuanya dipadupadankan dengan pas dan sempurna—bagi saya yang awam akan dunia fotografi.
Meski bukan selebgram, likes bisa mencapai minimal ratusan bahkan ribuan dalam satu foto yang di-posting. Berbeda dengan saya yang untuk mengumpulkan 20 likes dalam satu postingan saja sulitnya minta ampun. Perlu merangkai caption sok bijak yang ngga bijak-bijak amat—itu pun masih lebih sering gagal dan berujung hanya sekitar 20 likes.
Seingat saya, dari awal saya main medsos, mulai dari Friendster, Facebook, Plurk, Twitter, Instagram, Path, semua foto yang di-posting sembarang. Mau foto yang dirasa bagus atau dengan pose tidak karuan sekalipun, selama brightness cukup dan wajah terlihat jelas, foto siap diposting demi mendapat komentar dan likes, juga notifikasi yang ramai.
Tidak banyak syarat atau filter yang saya gunakan untuk posting foto di medsos, yang penting posisi fotonya landscape. Entah kenapa saya lebih menyukai posisi foto seperti itu, mungkin secara tidak sadar agar jika di-posting di Instagram tidak terpotong otomatis dan langsung fit. hehe.
Meskipun demikian, saya paham fungsi lain merapikan feed Instagram adalah bisa jadi untuk portofolio bagi mereka yang memang menggemari dunia fotografi. Jadi, jika memang sudah waktunya tiba menunjukan portofolio tidak usah repot-repot, tinggal memberikan nama akun Instagram. Dengan syarat, tidak perlu digembok untuk memudahkan proses penilaian.
Sebetulnya, tidak ada tuntutan berlebih dalam bermain media sosial—khususnya Instagram—selama yang diposting adalah konten yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya tidak katakan harus selalu positif, namun apa pun itu yang penting harus siap dengan segala konsekuensinya.
Sebab, semua media sosial umumnya mendunia dan sudah pasti digunakan banyak orang, jadi bagaimana pemakaiannya adalah tergantung dan menjadi tanggung jawab si pemilik akun. Entah mencari rezeki lewat endorse yang diterima, jualan, mencari teman baru, bahkan sebagai hiburan pribadi sekalipun. Apalagi saat ini makin banyak aku anonim lucu yang bermunculan.
Selanjutnya bagi saya pribadi dari awal pemakaian hingga saat ini, instagram tidak lebih sebagai album foto dalam bentuk digital. Mau foto yang diposting biasa saja atau pun yang memiliki tingkat estetik tinggi.
Seperti fungsi album foto pada umumnya –jika kelak ingin melihat kembali foto di waktu lalu—terpenting adalah dapat mengingat dan mengenang kembali semua momen yang terekam pada foto tersebut dan tanpa disadari alam bawah sadar akan memaksa untuk bernostalgia dengan atau tanpamu.