Harga cabai hari ini bikin kita menderita. Bagaimana bisa negara yang memuja sambal malah kelabakan gara-gara masalah cabai?
Sebagai pencinta sambal kecap dan sambal bawang, hati saya berkecamuk melihat kenyataan bahwa harga cabai hari ini melonjak. Menurut ibu-ibu penjual sayur, harga cabai rawit terkini di Malang Raya mencapai angka Rp100.000,00 per kilogram. Persis seratus ribu rupiah. Padahal, sekitar Mei menuju Juni lalu, satu kilogram cabai secara anggun dan santuy berada di harga Rp60.000,00.
Momentum kenaikan harga cabai hari ini menjadi nightmare bagi orang-orang kere seperti saya. Sementara teman-teman saya yang bekerja sebagai petani cabai di lereng Gunung Kelud sana mungkin sedang party, lossss!
Eh, tapi saya nggak yakin juga sih. Biasanya, ketika harga naik, justru petani yang kesusahan. Angele golek duit, Rek.
Tapi, mau bagaimana lagi? Cuaca dan perubahan iklim yang sedang ugal-ugalan saat ini sangat memengaruhi produktivitas pertanian. Para petani harus ekstra usaha dengan cara merogoh kocek mampus-mampusan untuk menyelamatkan hasil panen akibat hujan di Juni yang nggak uwis-uwis. Ya, sebanding, lah!
Dua ribu dapat lima
Demi menjunjung martabat saya sebagai pemuda agar tidak kelihatan fakir dan menyedihkan, saya nekat membeli cabai walaupun sudah tahu persis kalau saya akan menyesal. Suatu sore, saya beranjak dari kamar menuju toko kelontong yang juga menjual sayur-sayuran. Toko tersebut tidak jauh dari kos-kosan sehingga saya memilih jalan kaki sambil menyusuri rel perlintasan kereta api.
Benar saja. Satu bungkus cabai yang dikemas rapi dalam plastik harganya dua ribu rupiah, berisi lima buah cabai. Sebenarnya, saya kurang suka menyebutnya “lima buah” karena lebih etis dan praktis jika disebut “lima butir”. Saya tidak sampai hati melihat ukuran cabai yang kecil dan mungil itu, belum lagi kalau ada cabai yang tidak lama lagi akan busuk.
Ibu pemilik toko juga ketar-ketir mau kulakan cabai dalam jumlah yang banyak, paling mentok hanya satu kilogram dari pasar. Tidak ada pilihan lagi selain mengemas cabai dengan harga dua ribuan. Dan tidak ada pilihan selain tetap berjualan untuk menyambung hidup di tengah harga sayur-mayur yang ikut meroket.
Harga cabai hari ini, nyatanya, tak hanya mengubah hidup pencinta sambal, tapi pedagang pun terkena imbasnya.
Tentu saja saya tidak ingin membiarkan kenestapaan ini berlarut-larut, saya harus tetap memenuhi kebutuhan akan rasa pedas. Lima buah cabai dengan harga dua ribu rupiah tidak cukup untuk satu masakan, jelas tidak mampu menopang kehidupan saya sebagai anak kos yang kere ini.
Setelah mencari berbagai cara dan mencoba menemukan pengganti cabai, alhasil saya menemukan bumbu instan nasi goreng pedas. Tentu saja, selain bisa untuk memasak nasi goreng, bumbu itu bisa saya gunakan untuk masakan tumis walaupun sebenarnya tidak masuk akal. Namun, lagi-lagi, terobos!
Saya tetap memilih jalan ninja tersebut karena sangat ekonomis. Satu bungkus bumbu instan seharga Rp2.000,00 tersebut bisa dibuat dua kali masakan versi porsi saya, lebih hemat jika dibandingkan dengan bubuk cabai (sensor merek) yang isinya dikit biangeeettt!
Sepanjang ini saya ngedumel, sebenarnya yang mau saya sampaikan adalah, harga cabai hari ini sudah tak masuk akal. Pun sampai sekarang, saya tak melihat ada langkah yang diambil untuk mengatasi ini. Atau setidaknya, meringankan dampaknya.
Padahal, cabai adalah barang yang amat penting bagi orang Indonesia. Berpegang pada fakta itu saja, seharusnya prioritas dan tindakan preventif untuk masalah-masalah yang akan datang. Realitasnya, tiap ada kejadian serupa, semuanya kelabakan. Rakyat kelabakan sih lumrah, kalau pemerintah kelabakan itu yang saya heran. Kok bisa? Apalagi ada yang bikin komentar nggak mutu semacam saatnya pedagang cari untung. Ealah.
Sudah saatnya kita berontak. Tidak harus menggulingkan pemerintahan, tapi kita pertanyakan terus kesiapan pemerintah tentang hal ini. Mereka, yang punya kekuatan untuk membuat kebijakan, harus didesak untuk mencari jalan keluar. Dan yang paling utama, membuat daftar tindakan preventif agar hal serupa tak terjadi lagi.
Jika satu bulan ke depan harga cabai tidak bisa sopan, kami sebagai penduduk Malang pasti akan cukup gelagapan. Bagaimana tidak? Suhu udara di Malang yang cenderung dingin ini hanya bisa dihangatkan dengan cara nyambel, bukan dengan cara memeluk mantan.
Ini baru Malang. Masih ada banyak pihak yang rugi dengan kenaikan harga cabai. Bagaimana nasib ayam geprek di Jogja? Sambel ijo nasi padang? Pecel? Ah, entahlah. Yang jelas, harga cabai hari ini bikin kita makin pusing, padahal tanpa itu saja, kita sudah pusing menghadapi hidup.
Penulis: Nurlailatul Hidayah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Bumbu Merah Instan Pengganti Cabai yang Harganya Makin Nggak Ngotak