Jujur saja, dari sekian film yang mejeng di bioskop, hanya film Gara-Gara Warisan yang membuat saya tertarik. Tentu saya punya alasan mengapa saya lebih tertarik dengan film Gara-Gara Warisan.
Pertama, karena film ini disutradarai oleh Muhadkly Acho, seorang pelawak tunggal yang baru kali ini menyutradarai film layar lebar. Kedua, karena film Gara-Gara Warisan adalah film bergenre komedi, dan saya amat menyukai film komedi.
Secara konsep cerita, film Gara-Gara Warisan yang diproduseri oleh Ernest Prakasa ini mengangkat tema keluarga. Namun, sayang sekali film ini sedikit banyak meleset dari judul yang dipakai. Awalnya, saya mengira film ini akan bercerita tentang rebutan warisan sebagaimana judul dan posternya.
Akan tetapi, tebakan saya agak salah. Meski tak melebar terlalu jauh, tapi porsi soal warisan, apalagi menceritakan rebutan warisan di film ini sangat minim. Saya tak menemukan poros cerita yang membuat saya nyaman mengikuti ceritanya dari awal sampai akhir.
Pertama, karena cerita yang diangkat sangat klise. Sebuah keluarga yang runtuh karena si ibu meninggal, sementara bapaknya kawin lagi. Anak-anaknya terpisah. Anak pertama, Adam (Oka Antara) diceritakan sudah menikah dan sudah punya anak. Anak kedua, Laras (Indah Permatasari) diceritakan menjadi pengurus panti jompo swasta. Sementara anak ketiga, Dicky (Ge Pamungkas) adalah anak band, suka manggung, dan seorang pecandu narkoba yang hendak taubat.
Setiap anak punya permasalahan masing-masing. Adam yang tiap hari hanya bekerja sebagai call center sebuah bank, mempunyai istri yang hobinya belanja online melulu. Laras yang kehilangan donatur untuk panti jomponya. Dan Dicky yang masih mencoba terhindar dari narkoba demi pacarnya, Vega (Sheila Dara).
Permasalahan mulai diperlihatkan ketika si bapak yang bernama Dahlan (Yayu Unru) mulai sakit-sakitan. Di saat itu, ia yang memiliki Guest House sudah tak bisa melanjutkan usahanya. Pilihannya antara dijual ke Sanusi (Lukman Sardi) atau diwariskan ke anak-anaknya. Tentu pilihan kedua yang diambil.
Tapi untuk menuju ke situ, seperti ada yang ganjal. Dari awal diceritakan bahwa Dicky menjadi anak kesayangan Dahlan. Sebabnya apa, bakal dijelaskan di adegan-adegan lainnya. Saya berpikir, jika Dicky adalah anak kesayangan, mengapa Dahlan nggak mewariskan Guest House ke Dicky?
Pertanyaan yang sempat menari di pikiran saya itu, tak terjawab sampai filmnya tandas. Karena alih-alih langsung mewariskan ke Dicky dan bikin saudara lainnya marah, Dahlan justru mengadakan semacam sayembara. Ketiga anaknya disuruh bergantian memimpin Guest House. Sebetulnya, sebelum Dahlan mengatakan bahwa sebagian besar pendapatan Guest House akan diberikan ke anaknya yang mau mewarisi, anak-anak Dahlan sama sekali nggak tertarik melanjutkan warisan.
Dahlan memilih mengadakan sayembara untuk anak-anaknya. Siapa yang menurut karyawan Guest House paling baik, akan menjadi pemimpin. Dan lucunya lagi, untuk itu menggunakan sistem voting. Padahal karyawan di Guest House cuma empat orang. Persis seperti audisi “Indonesian Idol”.
Sayangnya, jalan cerita tentang warisan nggak dipertajam lagi sama si pembuat film. Konfliknya hanya muncul tatkala pencatatan keuangan kacau ketika Guest House dipegang Dicky.
Namun, itu pun diselesaikan begitu saja. Membuat kita hanya berpikir, “Heh, kok selesai begitu saja, sih?” Anak-anak yang lainnya cuma marah-marah ke Dicky, sementara Dahlan tetap membelanya. Setelah marah-marah, kedua anaknya pergi begitu saja.
Kedua, sementara itu, konflik Laras yang nggak suka sama ibu tirinya, Astuti (Ira Wibowo) juga terkesan memaksakan diri. Pokoknya, konfliknya selesai hanya karena menonton sebuah video.
Ketiga, ironisnya lagi, meski ini adalah film layar lebar, si penulis naskah justru menciptakan masalah yang sangat sinetron-able. Dicky yang masih tergila-gila dengan narkoba, ditipu oleh calon pembeli Guest House, Sanusi, yang juga seorang bandar narkoba. Sanusi menipu Dicky agar bisa mendapatkan Guest House secara gratis.
Permasalahan itu pun selesai dengan cara yang gampangan. Sang pengedar narkoba yang menipu Dicky ditangkap polisi. Namun, mengapa polisi bisa langsung menemukan sang pelaku? Itu nggak jelas prosesnya, mirip banget sama sinetron.
Dari sekian permasalahan, film Gara-Gara Warisan ini nggak memiliki poros cerita. Ia terkesan nggak punya klimaks dan antiklimaksnya. Yup, benar, ceritanya nggak bisa dinikmati.
Sebagai penonton, sejujurnya saya nggak menikmati ceritanya. Feel sedihnya nggak sampai ke saya. Saya rasa, sutradara nggak berhasil membawa saya masuk ke suasana dalam film tersebut. Barangkali ini karena ceritanya yang sangat klise, dan saya sudah sering menonton film dengan premis serupa.
Namun, kelemahan dari segi cerita sedikit tertutup oleh komedi-komedi di dalamnya. Menurut saya, Muhadkly Acho berhasil membuat penonton terpingkal-pingkal dengan jokes-jokes yang biasa saja, tapi patah. Seperti suara “Pakeeet…” yang berulang-ulang kedengaran di rumah Adam.
Atau tingkah laku Umar (Dicky Difie) karyawan Guest House yang sangat kemayu. Atau didukung juga oleh dialog kocak para karyawan lainnya. Komedi dalam film ini, saya rasa didukung karena kebanyakan aktornya adalah seorang pelawak tunggal. Belum lagi, reputasi Muhadkly Acho yang punya sense of humor yang baik. Muhadkly Acho, jika ingatan saya tidak memberontak, pernah jadi konsultan komedi di film Imperfect besutan Ernest Prakasa.
Well, overall dari segi komedi film ini berhasil. Tapi mohon maaf, soal cerita film ini masih kacau. Namun, saya tetap penasaran pada film besutan Muhadkly Acho berikutnya. Konon ia bakal jadi sutradara lagi di film Ghost Writer 2. Will we see~
Penulis: Muhammad Arsyad
Editor: Audian Laili
BACA JUGA 5 Film Komedi Jepang Sarat Makna yang Pas Ditonton di Waktu Luang