Rumah simbah saya di Tulungagung dekat dengan rel kereta api. Jaraknya tidak sampai 15 meter dari pintu rumah. Menurut cerita turun-temurun, rel kereta api ini sudah ada sejak zaman Belanda. Tidak jauh dari rumah simbah juga ada pabrik gula yang kini sudah berhenti beroperasi.
Pernah sekali waktu kereta yang saya naiki berhenti di depan rumah simbah karena menunggu ganti rel sebelum memasuki stasiun. Alhasil, saya yang masih kecil digendong bapak untuk turun langsung di depan rumah. Rasanya sudah seperti naik angkot saja. Padahal, jarak rumah dengan stasiun juga tidak jauh. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tapi itu dulu ya, sebelum peraturan soal naik kereta diperketat.
Orang-orang dari luar daerah yang baru pertama kali berkunjung ke rumah simbah pun “akan norak” melihat kereta lewat, terutama anak-anak. Melihat kereta melintas setiap saat memang jadi salah satu privilese orang-orang yang tinggal dekat dengan rel kereta api. Bagi orang-orang luar, hal itu unik dan layak untuk dijadikan bahan story media sosial. Memang sih melihat kereta lewat bisa jadi hiburan.
Dulu simbah saya suka duduk di teras, menanti kereta yang mengangkut anak cucunya lewat. Entah jam berapa saja kereta kami lewat, simbah selalu setia duduk di kursinya sambil dada-dada walaupun sebenarnya beliau nggak tentu bisa melihat kami duduk di mana. Sejak simbah meninggal setahun lalu, tidak ada lagi yang menunggu kereta saya lewat. Saya jadi sedih setiap melintas di depan rumahnya.
Selain kisah-kisah manis yang bisa diromantisasi, ada juga kisah menjengkelkan tinggal di dekat rel kereta api. Dulu, sebelum 2010, banyak benda tidak lazim yang ditemui penduduk di sepanjang rel kereta. Dari sampah, popok bayi, bau pesing urin, sampe kotoran manusia lantaran di zaman itu kereta masih memakai toilet bolong.
Saat ada pertandingan bola, penduduk sekitar rel kereta api juga dibikin ketir-ketir. Pasalnya, kereta yang mengangkut suporter fanatik lawan terkadang melempar batu ke rumah penduduk sepanjang rel di wilayah musuhnya untuk melampiaskan emosi. Akibatnya, baku lempar batu dari dalam dan luar kereta tidak bisa dihindari. Tapi sekali lagi, itu dulu saat aturan kereta belum ketat dan sebagus saat ini. Sekarang, kejadian semacam itu tidak pernah terjadi. Tapi masih ada duka penduduk sekitar rel kereta api yang masih abadi:
#1 Bising
Untuk penduduk di sepanjang rel kereta api, apalagi yang rumahnya hampir mepet, suara bising dan getaran kereta lewat tidak bisa dihindarkan. Suara dan getarannya bahkan bisa mencapai radius 500 meter. Kadang enak-enak bertelepon akan terpotong bunyi kereta yang lalu lalang.
Buat yang nggak biasa tinggal di sekitar rel kereta api dan apesnya sensitif pada bunyi-bunyian, kalian harus siap-siap susah tidur. Pasalnya, kereta masih akan lewat bahkan sampai tengah malam. Terkadang, bunyi kereta lewat juga memunculkan kesan horor yang membuat diri resah. Kalau penduduk setempat sih sudah biasa tidur nyenyak walaupun terganggu suara kereta.
#2 Hewan peliharaan gampang mati
Ada yang bilang ayam itu hewan paling menyebalkan saat mau menyebrang. Mungkin beberapa dari kita pernah mengalami sendiri, ketika dibuat jengkel oleh kelakuan si ayam yang kalau ditunggu malah nggak nyebrang. Tapi, giliran kita lewat, mereka juga ikutan nyelonong tiba-tiba. Ayam-ayam ini terlalu mudah bimbang.
Padahal ya, mata mereka kan ada di samping kiri dan kanan. Harusnya memudahkan untuk nggak tolah-toleh lagi sebelum nyebrang. Mungkin kecerobohan inilah yang bikin ayam di sekitar rel kereta api gampang tertabrak kereta yang melintas.
Sudah tidak terhitung ayam simbah saya dan tetangga-tetangganya yang jadi korban tabrak lari kereta. Beberapa tewas mengenaskan, beberapa yang lain harus menderita cacat seumur hidup. Semoga saja arwah para ayam dan hewan lainnya yang jadi korban tabrak lari kereta bisa tenang di alam sana.
#3 Dihantui cerita seram
Banyak kisah seram yang jadi urban legend di desa simbah saya lantaran di sana ada beberapa pabrik tua, pelakon pesugihan, dan rel kereta api. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak cerita seram di sepanjang perlintasan kereta.
Menurut penuturan penduduk, hal itu benar adanya. Rel kereta jadi saksi bisu nahasnya orang-orang yang meregang nyawa karena tertabrak kereta. Ada yang sengaja bunuh diri, tidak sengaja tertabrak saat mabuk, kecelakaan, atau jatuh terlindas dari atas kereta.
Sialnya, korban-korban itu kadang menampakkan diri untuk meminta bantuan dicarikan bagian tubuhnya yang tidak lengkap. Ada cerita orang yang ditampaki sosok yang meminta tolong dicarikan jempol tangan. Eh besoknya jempol itu benar-benar ketemu di tempat yang ditunjukkan “si makhluk”. Jempol itu lantas dikembalikan ke kuburan yang bersangkutan sehingga tidak ada lagi teror penampakan.
Cerita lainnya saat geger 65 dulu. Para “sakera” di tempat simbah saya sering mengasah kelewangnya di atas besi rel kereta api. Suara deritnya yang memilukan itu konon menjadi alasan tetangga simbah saya frustasi dan akhirnya gantung diri di rumahnya saat sang suami pergi dinas ke luar kota.
Padahal, kabarnya, si simbah ini bukan orang yang aktif berorganisasi, jadi entah apa alasannya. Rumahnya kebetulan hanya berjarak tiga rumah saja dari rumah simbah saya. Sampai saat ini, kabarnya, rumah itu jadi angker.
Untungnya saya bukan orang yang “sensitif” dan tidak suka keluyuran malam-malam. Jadi, selama puluhan tahun saya berkunjung ke rumah simbah belum pernah mengalami kejadian mistis walaupun beberapa saudara saya pernah mengalaminya. Jangan sampai, naudzubillah.
#4 Siap-siap digusur PT KAI
Penggusuran ini berlaku untuk orang-orang yang menempati lahan milik PT KAI. Sewaktu-waktu, saat PT KAI perlu mengklaim kembali kepemilikan lahannya, misalnya untuk pelebaran rel kereta api, penduduk harus siap-siap hengkang.
Hal ini pernah saya lihat langsung ketika rumah dan kios dekat stasiun dibongkar. Untungnya, penggusurannya juga tidak mendadak. Selalu ada pemberitahuan jauh-jauh hari. Alhamdulillah, rumah simbah saya sudah menempati tanah milik sendiri, jadi tidak perlu risau pada penggusuran.
Itulah derita yang biasa dialami penduduk di sepanjang rel kereta api. Memang selalu ada plus dan minus di mana saja kita tinggal. Dari tepi rel kereta api, saya ikut menyaksikan perubahan wajah perkeretaapian negeri ini. Saya sangat bersyukur dengan revolusi perkeretaapian Indonesia yang sekarang sudah lebih tertib dan baik untuk para penumpang maupun penduduk di sekitarnya.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Hal Konyol yang Saya Temui Saat Melewati Palang Pintu Rel Kereta Api.