Bulan ini mulai tayang drama-drama baru yang sangat menarik yang didominasi dengan genre yang dark. Salah satu drakor yang baru-baru ini tayang dan langsung mencuri perhatian khalayak adalah Law School. Saya sebenarnya sudah menantikan drakor ini sejak rilis pembacaan naskah pertama. Selain Vincenzo yang sudah tamat, Law School jadi drama yang saya tonton karena satu alasan saja sebenarnya. Saya kepingin paham simulasi sidang karena saya—yang bukan mahasiswa Fakultas Hukum ini—keblasuk ikut mata kuliah lintas fakultas yang UAS-nya itu pakai simulasi sidang. Tobat tenan.
Episode pertama Law School sangat menarik, tapi juga cepat. Pada menit-menit awal, penonton sudah disuguhkan dengan kasus pembunuhan profesor Fakultas Hukum Universitas Hankuk yang tewas selagi simulasi sidang tengah berlangsung. Investigasi kemudian dilakukan. Alur maju mundur bolak-balik ditampilkan guna membuat penonton jadi punya bayangan (baca: suuzan) siapa pelaku pembunuhan Profesor Seo Byung-ju.
Karena namanya Law School, maka drakor ini juga nggak jauh-jauh dari kehidupan para mahasiswa Fakultas Hukum. Ada beberapa adegan mengenai kebiasaan mahasiswa di kampus Hankuk yang mungkin asing bagi orang Indonesia. Atas asas kekepoan, saya akhirnya mencari tahu apakah adegan-adegan tersebut memang realistis atau hanya hiperbola semata.
Setelah kasus kematian Profesor Seo, mahasiswa Fakultas Hukum Hankuk tetep harus belajar buat ujian. Sebenarnya Wakil Dekan sudah menyarankan untuk mengundur waktu ujian biar mahasiswa nggak pada stres. Tetapi Yang Joong-hoon a.k.a Yangcrates, seorang dosen killer dan strict, bersikukuh untuk tetap mengadakan ujian sesuai waktu yang sudah ditentukan.
Beberapa mahasiswa belajar secara berkelompok guna membahas kasus yang mungkin keluar di tes. Han Joon-hwi, mahasiswa berprestasi dan ambis di angkatannya, sukarela membantu teman-temannya memilih kasus. Salah satu orang yang ada di kelompok belajar itu, Jeon Ye-seul, meminta buat menunda sebentar belajarnya karena Kang Sol A, temannya, belum datang. Tapi mahasiswa ambis lainnya, Seo Ji-ho, berkata, “Jangan buang waktu untuk orang yang telat.”
Seo Ji-ho adalah representasi mayoritas orang Korea yang sangat menghargai waktu. Di sana ada “ppalli ppalli munhwa” atau kalau diterjemahkan berarti “budaya cepat-cepat”. Ini adalah budaya mengerjakan suatu hal dengan lebih produktif atau cepat karena orang Korea cenderung nggak mau membuang waktu dengan percuma ketika melakukan suatu pekerjaan. Apalagi buat nungguin orang yang telat macam Kang Sol A yang justru merugikan orang-orang yang sudah datang tepat waktu. Time is money, atau kalau kata Suga BTS sih waktu jauh lebih berharga daripada uang.
Masih soal persiapan ujian setelah kasus pembunuhan Profesor Seo. Kang Sol A dan Kang Sol B belajar bersebelahan di perpustakaan. Hari itu perpustakaan sunyi banget. Semua mahasiswa nunduk memperhatikan buku atau pasang mata ke layar laptop. Bahkan, ada mbak-mbak ber-hoodie biru yang waktu meletakkan buku di atas meja saja super hati-hati biar nggak menimbulkan suara.
Lalu datanglah Kang Sol A yang sambat dengan suara keras ke Kang Sol B karena semua mahasiswa bisa-bisanya belajar dengan tenang padahal baru saja ada hal yang menimpa dosen mereka. Langsung deh semua mahasiswa yang lagi belajar di perpustakaan itu menatap sinis Kang Sol A. Mata mereka kayak mengisyaratkan dia untuk diam. Waktu Kang Sol A mau pergi dan mundurin kursinya—yang kemudian menciptakan suara gesekan—satu perpustakaan lagi-lagi melirik sambil berdecak sebal. Waktu balik lagi, Kang Sol A dapat sticky notes yang isinya sambat karena kerusuhannya, yang bahkan embusan napasnya pun dinilai berisik.
Saya jadi teringat kisah kenalan yang sekarang kuliah di Korea University. Ia juga pernah dirasani gara-gara mundurin kursi dan menghela napas waktu lagi belajar di study cafe. Walaupun namanya study cafe yang memperbolehkan pengunjungnya makan, ada peraturan yang kudu ditaati biar nggak memicu keributan. Ngetik di laptop, membuka bungkus makanan, dan mindahin kursi nggak boleh berisik. Untuk yang pakai clicker pen juga harus hati-hati karena suaranya bisa ganggu banget.
Memang nggak semua mahasiswa di Korea Selatan seambisius itu buat dapat nilai A dan lulus cumlaude. Namun kalau mengingat perjuangan buat masuk kampus prestisius yang susahnya minta ampun, sementara waktu sudah berstatus mahasiswa langsung putar balik dan jadi orang yang malas rasanya eman-eman. Istilahnya wis kebacut teles, sisan wae kelelep, atau sudah terlanjur belajar keras jadi sekalian saja belajar lagi.
Untungnya ambisnya mahasiswa Korea ini didukung oleh fasilitas yang memadai. Perpustakaan dan tempat belajar di sana nyaman banget, Mylov. Seoul National University bahkan punya kolam yang membantu menciptakan suasana damai dan tenteram. Ada pula bilik belajar buat para pejuang skripsi yang butuh konsentrasi lebih. Sementara di Korea University, perpustakaannya buka selama 24 jam. Selama musim ujian, perpustakaan bakal penuh banget sampai nggak ada kursi kosong. Bahkan jam 3 pagi pun mahasiswanya masih tahan belajar demi nilai ujian yang memuaskan. Soal hantu? Mereka nggak takut karena mahasiswa yang belajar tengah malam sampai subuh pun banyak. Kalau sialnya ketemu hantu, ya tinggal merapal doa berjamaah.
Mahasiswa di Korea Selatan memang pada sadar kalau nilai bagus dan citra universitas nggak bikin mereka langsung dapat kerja. Apalagi setelah adanya pandemi Covid-19 yang bikin kesempatan kerja makin terbatas. Wawancara kanal YouTube Asian Boss dengan mahasiswa Seoul National University juga mengungkapkan kalau mahasiswa juga cari lowongan magang biar punya pengalaman. Persaingan yang ketat di universitas dan di pasar tenaga kerja kelak akhirnya membuat mereka punya prinsip “pengalaman + nilai bagus = wis mantep tenan”.
Sumber Gambar: YouTube The Swoon
BACA JUGA 10 OST Drakor Paling Menyayat Hati Sepanjang Masa dan tulisan Noor Annisa Falachul Firdausi lainnya.