Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Dilema Lulusan Psikologi yang Sering Diarahkan Jadi HRD

Bintang Sasmita Wicaksana oleh Bintang Sasmita Wicaksana
4 September 2020
A A
Menjadi Sarjana dari Desa dengan Tuntutan Sukses Versi Tetangga terminal mojok.co

Menjadi Sarjana dari Desa dengan Tuntutan Sukses Versi Tetangga terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Belakangan ini, saya berusaha merenungi apa yang telah saya dapatkan selama saya menjalani kuliah di Fakultas Psikologi selama 3 tahun 18 bulan ini. Banyak hal bisa saya dapatkan atau, dalam bahasa Nabi, ibrah dan hikmah harusnya bisa didapatkan dari pengalaman yang saya alami selama sebagai seorang ‘mahasiswa’.

Nyatanya, semakin kesini, saya hanya semakin terjebak dalam pusaran 2 paradigma mengenai kelulusan dari pendidikan tinggi, yakni lulus tepat dan cepat atau lulus di saat yang tepat dan mantap. Dua hal yang berbeda dan selalu diperdebatkan di setiap sudut kampus ini. Jika saya boleh memilih, saya memilih untuk menjadi kuat di setiap pilihan yang ada.

Saya berpikir, banyak keganjilan selama saya kuliah. Ada semacam ketakutan untuk berekspresi. Ada semacam kepatuhan tak bersyarat dari mahasiswa ke dosen yang malah menurut saya pertanda pembungkaman intelektual. Hanya tersiksa pada rekaan teori dan praktik yang ‘kering’ tanpa pernah terpikir untuk berekspresi dengan lepas.

Di fakultas tempat saya kuliah dulu (btw ini kurikulum lama, kalo sekarang harusnya beda sih hehe), terdapat mata kuliah wajib seperti mata kuliah Observasi Interview (OBIN) yang bisa sampai 8 sks. Belum lagi di semester 4 ada mata kuliah Tes Psikologi yang bisa sampai 9 sks. 

Tolong, itu mubazir sekali lo bapak dan ibu dosen, kan masih banyak sks yang bisa dialokasikan ke mata kuliah yang lain ☹.

Untuk profil lulusan pun, prospek yang dianggap paling enak adalah menjadi HRD. Saya rasa jarang sekali yang berminat menjadi akademisi atau kaum intelektual. Ingin melanjutkan kuliah S-2 profesi juga tentu masih pikir-pikir karena biaya yang melangit. Tentu saja, saya tidak bisa memaksa, toh yang pasti rezeki orang itu berbeda-beda. 

Namun tetap saja kemudian timbul pertanyaan, apa iya kuliah psikologi kebanyakan bakal jadi HRD? Sebenarnya kita ini jadi S.Psi. atau S.HRD sih?

Maka, pertanyaan berikutnya adalah, sejauh mana kita terdidik menjadi akademisi atau praktisi psikologi sampai saat ini? Apakah hanya sekadar mekanistis, terstandar, dan ‘mencentang kotak’ saja, jika menukil penelitian dari Mulya, 2016? Apakah dengan bekal tersebut kita sudah siap?

Baca Juga:

4 Hal Menjengkelkan yang Saya Alami Saat Kuliah di UPN Veteran Jakarta Kampus Pondok Labu

4 Dosa Pemilik Jasa Laundry yang Merugikan Banyak Pihak

Neoliberalisme dalam psikologi?

Tidak dapat dimungkiri bahwa pola kebijakan pemerintah saat ini tidak dapat dilepaskan dari faktor ekonomi neoliberalistik yang kian mencengkeram di tanah air. Sehingga hal ini berdampak ke berbagai hal, salah satunya adalah pendidikan tinggi.

Komodifikasi pendidikan tinggi yang dilakukan oleh pemerintah dengan melepaskan institusi pendidikan tinggi (kampus) ke dalam mekanisme pasar turut memberi implikasi terhadap sistem belajar di dalamnya sehingga kampus dapat melegitimasi kekuasaannya melalui ‘bisnis’ yang mereka jalankan untuk membentuk mahasiswa menjadi modal kapital yang terus berputar sepanjang waktu.

Maka dari itu, kampus melakukan berbagai kerjasama dengan institusi yang bersifat industrial sehingga berimplikasi pada orientasi kampus kedepannya dalam menelurkan anak didik. Kampus yang seharusnya menjadi Kawah Candradimuka para intelektual berubah menjadi tumpukan jarum dalam jerami yang menunggu untuk dipergunakan jasanya. Kampus yang hendaknya menjadikan intelektual organik malah makin mengerdilkan perannya dan hanya mencetak ‘robot-robot’ pekerja.

Konkretnya, logika-logika industrial perlahan merasuki dalam setiap sendi pembelajaran di kelas. Mindset mengenai pembelajaran psikologi kian dipersempit hanya sebatas pada mata kuliah yang dianggap penting dan sangat praktikal. Seperti yang saya sebutkan di atas, seakan menegasikan diskursus-diskursus mengenai keilmuan psikologi yang dinamis, misterius dan bersifat paradoks. Atmosfir akademik yang harusnya mencerahkan dan membebaskan justru membelenggu dengan rasa ‘takut’ dan ‘malu’ dalam berpendapat. 

Ada kesan pula bahwa sikap asertif yang ditunjukkan oleh beberapa mahasiswa malah cenderung ditekan dengan asumsi-asumsi seperti ‘cari muka’, ‘banyak tanya’, ‘sok pintar’ yang ironisnya, justru dilakukan oleh rekan mahasiswa sendiri. Padahal, keilmuan psikologi yang membahas mengenai manusia hendaknya dapat memunculkan diskursus yang radikal dan ‘liar’ karena betapa sukarnya kita untuk memaknai dan mengartikulasikan kompleksnya manusia. Namun, wadah diskursus semacam ini cenderung semakin eksklusif.

Pada akhirnya, saya pikir kebanggaan dalam kuliah ini sebenarnya hanya terletak pada sulitnya untuk memasuki perguruan tinggi dan larisnya kampus di masyarakat. Sehingga kadang kita melupakan orientasi yang melampaui itu semua, yakni produksi-produksi pemikiran yang telah diberikan kepada masyarakat layaknya Sarlito di UI dan Soekarno di ITB. 

Kita seakan kehilangan tokoh yang mampu berbuat demikian, yang mampu memberikan sumbangsih melalui pemikiran dan visinya secara nyata. Sudah selayaknya kita perlu untuk menciptakan Ahmad Dahlan-Ahmad Dahlan baru sesuai dengan konteks zaman saat ini. Ahmad Dahlan modern yang mampu mengubah peradaban.

Peneliti kritis telah menunjukkan bahwa wacana neoliberalisme sesungguhnya telah menjadi prinsip yang dominan, khususnya dalam praktik pendidikan tinggi psikologi di Indonesia. Wacana neoliberalisme seperti standarisasi, persaingan, dan orientasi pasar telah mereproduksi kebijakan, kurikulum, serta praktik pendidikan tinggi psikologi di Indonesia sehingga pendekatan yang mekanistis, terstandar, dan sekadar mencentang kotak (Mulya,2016). Tak hanya itu, terjadinya defisit jumlah psikolog klinis di Indonesia (1143 orang per 5 Mei 2019) merupakan implikasi dari wacana neoliberalistik yang dehumanis ini.

Quo vadis psikologi?

Neoliberalisme sebagai perangkat konseptual yang telah diterima sebagai prinsip yang dominan perlu untuk terus dikritisi. Maka dari itu, urgensi untuk mengeksplorasi alternatif dari pendidikan tinggi psikologi di Indonesia perlu untuk dilakukan. Perlunya rekonstruksi terhadap kebijakan serta kurikulum pada pendidikan tinggi psikologi adalah hal yang menarik jika memang akan dilakukan. Hendaknya pendidikan tinggi psikologi di Indonesia tidak hanya menitikberatkan pada aspek keterampilan saja, melainkan juga pemenuhan aspek lainnya yakni etika dan nilai-nilai kemanusiaan, yang sesuai dengan konteks di Indonesia sehingga tidak menghasilkan profil lulusan yang ‘itu-itu saja’. Bukankah kredo yang lazim didengar oleh mahasiswa psikologi adalah ‘memanusiakan manusia’?

Perlu dipahami juga bahwa wacana mengenai neoliberalisme tidak mudah untuk ditantang. Tidak ada acara yang mudah dan instan untuk mengatasi ini. Butuh proses yang panjang untuk mengubah ini. Mungkin tidak sekarang, entah kapan khayalan ini dapat terwujud, hehehe. Menarik untuk melihat jurusan psikologi berkembang seperti apa nantinya.

BACA JUGA Tren Para (So Called) Influencer yang Menginginkan Gratisan Bermodalkan Jumlah Followers atau tulisan Bintang Sasmita Wicaksana lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 3 September 2020 oleh

Tags: MahasiswaPsikologi
Bintang Sasmita Wicaksana

Bintang Sasmita Wicaksana

ArtikelTerkait

Mahasiswa Terjebak Judi Online, Bukti Orang yang Mengecap Pendidikan Tinggi Nggak Melulu Punya Nalar Mojok.co

Mahasiswa Terjebak Judi Online, Bukti Orang yang Mengecap Pendidikan Tinggi Nggak Melulu Punya Nalar

16 Juli 2024
Bersyukurlah Jadi Maba Universitas Jember, Biaya Hidup Murah dan Wisatanya Banyak unej maba ospek madura jawa terminal mojok.co

Bersyukurlah Jadi Maba Universitas Jember, Biaya Hidup Murah dan Wisatanya Banyak

18 September 2020
jurnal ilmiah kemendikbud mojok

Kok Bisa Kemendikbud Nggak Masukin Situs Jurnal Ilmiah dalam Daftar?

1 November 2020
KKN Itu Asyik dan Menyenangkan, tapi Tidak untuk Diulang

KKN Itu Asyik dan Menyenangkan, tapi Tidak untuk Diulang

8 Maret 2023
4 Opsi Pekerjaan biar Dapat Pemasukan sambil Kuliah terminal mojok.co

Menyoal Kuliah: Mau Ambisius Apa Chill Aja Ya?

26 Agustus 2019
Pilih Kuliah D3 karena Realistis Ingin Cepat Kerja Malah Disangka Malas Nggak Punya Cita-cita

Pilih Kuliah D3 karena Realistis Ingin Cepat Kerja, Malah Disangka Malas Nggak Punya Cita-cita

3 Mei 2025
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

26 Desember 2025
Perlintasan Kereta Pasar Minggu-Condet Jadi Jalur Neraka Akibat Pengendara Lawan Arah

Perlintasan Kereta Pasar Minggu-Condet Jadi Jalur Neraka Akibat Pengendara Lawan Arah

24 Desember 2025
Garut Bukan Cuma Dodol, tapi Juga Tempat Pelarian Hati dan Ruang Terbaik untuk Menyendiri

Garut Itu Luas, Malu Sama Julukan Swiss Van Java kalau Hotel Cuma Numpuk di Cipanas

23 Desember 2025
Opel Blazer, Motuba Nyaman yang Bikin Penumpang Ketiduran di Jok Belakang

Opel Blazer, Motuba Nyaman yang Bikin Penumpang Ketiduran di Jok Belakang

23 Desember 2025
Situbondo, Bondowoso, dan Jember, Tetangga Banyuwangi yang Berisik Nggak Pantas Diberi Respek

Situbondo, Bondowoso, dan Jember, Tetangga Banyuwangi yang Berisik Nggak Pantas Diberi Respek

25 Desember 2025
Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, tapi Layanan QRIS-nya Belum Merata Mojok.co

Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, Sayang Layanan QRIS-nya Belum Merata 

24 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Kala Sang Garuda Diburu, Dimasukkan Paralon, Dijual Demi Investasi dan Klenik
  • Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario
  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.