Belakangan ini, kata radikalisme begitu berdengung di kuping, juga berserak di layar ponsel seperti sampah. Terlepas dari makna radikalisme, apakah ia sudah terpeyorasi atau tidak, kata tersebut kini digunakan untuk menandai kelompok tertentu yang dianggap nesunan dan intoleran.
Dalam konteks fenomena keislaman, sebagian orang misalnya melabeli ormas tertentu sebagai kelompok radikal yang dikit-dikit ngamuk, dikit-dikit demo, dikit-dikit ganti prrr…—eh. Mereka menganggap kelompok seperti itu berbahaya, sebab mereka terkenal tak mau bertoleransi, suka main hakim sendiri, dan menganggap kebenaran kelompok sebagai kebenaran mutlak. Alhasil mereka bisa merusak tatanan bangsa-negara, dan lebih jauh: marwah Islam itu sendiri.
Namun, apakah benar begitu?
Jawabannya—bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Intoleransi memang bisa merusak citra Islam, tetapi saya pikir, ada hal lain juga yang membuat tabiat generasi muda Islam kurang baik—untuk tidak menyebut ngawur—hingga menyebabkan citra yang kurang baik pula.
Pikiran ini muncul saat beberapa kawan mulai menginisiasi dan mengorganisasi pembentukan IPNU-IPPNU di beberapa desa di kecamatan. Mereka mengeluhkan sulitnya merekrut kader, lalu menjaganya agar tetap konsisten berkhidmat. Faktor utama yang menyebabkan kesulitan itu tidaklah muluk-muluk seperti terlibat dalam organisasi berideologi radikal. Tidak. Penyebabnya, tak lain tak bukan, mereka—para remaja itu—telah terjangkit wabah kimcilisme.
Waduh, apa tuh kimcilisme?
Sederhananya, kimcilisme itu semacam ideologi yang membuat para pemeluknya kemenyek, alay, ngganyik. Biar teoretis, saya membagi kimcilisme jadi dua mazhab yaitu mazhab cintaiyyah dan mazhab gayaiyyah.
Mazhab cinta membuat para remaja hanya paham cinta-cintaan, galau-galauan, yangyangan. Kalau anda menemukan seseorang tiba-tiba bikin status satu huruf atau titik doang, foto profilnya dihapus, lalu mengunggah kata-kata mutiara penenang kesedihan—waini. Inilah contoh sikap para penganut mazhab cintaiyyah. Dikit-dikit mewek, dikit-dikit hapus foto profil, dikit-dikit ganti prrr…—ah, mbuh lah~
Kalau kata Karl Marx agama itu candu—maka dalam ideologi kimcilisme, cinta adalah (salah satu) candu. Cinta membuat para remaja atau muda-mudi mabuk kepayang, males ini itu jika tak berdua, sehingga jika tak bisa mengontol, hah, mengontrol, niscaya hidup jadi tak produktif. Produktif lho yha, bukan bereproduksi.
Mereka yang harusnya pergi ke majelis ilmu malah mondar-mandir nggak jelas di jalan raya boncengan. Mereka yang seharusnya baca buku malah cuma sibuk baca chat. Yang harusnya sedih saat nilai ulangan jelek, eh malah sedih saat dirinya tak bernilai di matanya. huahh, dalem ini~
Jika sudah sedih kayak gitu, apa yang kemudian dilakukan? Ya malas-malasan. Jangankan mau ikut organisasi keagamaan atau ke pengajian, berusaha melupakan kebangsatan pacar dengan fokus belajar aja nggak. Mentok-mentok paling baca kata mutiara atau novel pop yang sesuai dengan keadaan hati—maka begitulah mereka kian jatuh ke lembah kebucinan.
Mazhab gaya—yakni mazhab gayaiyyah—juga tak kalah penting. Dalam struktur masyarakat kimcilisme, setidaknya ada dua golongan, yakni golongan influencer dan golongan influenced. Struktur seperti ini memungkinkan terciptanya tren yang berubah dari waktu ke waktu, baik itu soal gaya rambut, pakaian, hingga gaya bonceng motor—ha? Gaya bonceng motor?
Anda tidak salah baca. Jadi sebelum kimcilisme mewabah, dulu saya hampir tak pernah melihat perempuan boncengan tiga. Saya tak bermaksud diskriminasi, tapi yang jelas menurut penuturan kawan-kawan perempuan saya perbuatan itu saru. Mengapa saru—ya karena biasanya perempuan pakai rok. Para perempuan desa biasanya tidak pakai celana training panjang sebagai pelapis. Karenanya, mereka akan bonceng mode cewek (menyamping) agar tak tersingkap.
Sebagian dari mereka memang pernah bonceng tiga, tapi itu biasanya sangat jarang dan dalam kondisi darurat. Jika itu terjadi, maka yang paling depan (orang yang menyetir) biasanya harus rela memperoleh sedikit tempat duduk, sebab dua orang di belakangnya akan tetap bonceng mode perempuan.
Nah, semua berubah saat kimcilisme menyerang. Sejak beberapa tahun lalu, populasi cewek-cewek bonceng tiga semakin banyak. Tradisi ini dibarengi dengan penggunaan jeans ketat atau celana pendek (biar boncengnya praktis), jalan-jalan keliling banyak desa, lalu berhenti di tempat-tempat tertentu.
Mereka akan foto-foto dengan berbagai gaya, mengunggahnya di media sosial dengan caption yang menyalin sana-sini. #lfl #likeforlike
Yhaaa~
Busana mereka juga berubah dari waktu, menyesuaikan tren apa yang diciptakan dan disebar di media sosial. Dari yang pakai baju gombrong-celana pendek-kaos kaki panjang, kerudung dimundurin hingga rambut depan terlihat, pake topi-baju-jaket Supreme super KW, hingga pakai baju pendek yang tak sampai pusar ke mana-mana.
Fenomena inilah yang secara konsisten menjerat para remaja dan muda-mudi di wilayah pedesaan. Gerakan kimcilisme menyebar terus-menerus, meluas, mengakar. Ia berada terutama di desa, daerah semi-kota, dan juga kota; ia berada di mana-mana. Ini berbeda dengan gerakan (yang disebut) radikalisme, yang agaknya masih terfokus di perkotaan dan bergerilya di media sosial.
Di tempat saya, model seperti itu tak laku. Yang laku ya tadi: kimcilisme. Inilah yang harus kita hadapi pula. Jika kita abai, Islam akan hancur! Sebarkan jika kamu ingin masuk surga!
Eh, kok malah ngawur.
Jadi begitulah. Di tempat saya, IPNU-IPPNU itu bukan untuk menangkal radikalisme, melainkan kimcilisme. {}