Halo Mas Erwin, sudah makan? Sudah kuliah? Atau masih sibuk rebahan aja karena males keluar? Bagaimana di lingkungan Mas Erwin? Semoga kalau masih banjir, segera surut ya, Mas.
Dear Mas Erwin Setia–nggak tahu setia sama siapa, saya nulis ini bukan ingin memberikan rasa simpati saya pada beliau yang katanya sedang kebanjiran itu. Buat apa saya perhatian sama Mas Erwin, toh lingkungan sekitar saya juga terkepung air. Jadi, sebenarnya saya tertarik buat membalas tulisan Mas Erwin tempo hari.
Seingat saya Mas Erwin membuat tulisan berjudul Kita Terlalu Sibuk Ngomongin Anies, Sampai Lupa Pemberitaan Banjir Jakartasentris Banget. Dan tulisan itu kemudian dimuat di Terminal Mojok. Barangkali maksud Mas Erwin baik, yakni untuk mengkritik pemberitaan yang Jakarta melulu.
Bagus sekali, Mas. Saya acungi jempol keberanian Mas Erwin dalam menulis itu. Apalagi sampe mengaitkan dengan gubernur Anies Baswedan segala. Keren tapi aneh. Saya sejujurnya nggak paham betul apa yg Mas Erwin tuliskan. Fokus tulisannya nggak jelas babarblas.
Barangkali Mas Erwin belum tahu, kalau pemberitaan kita sejak dulu memang sudah Jakartasentris. Nggak usahlah dikait-kaitkan sama gubernur Anies Baswedan. Karena semenjak gubernur Ali Sadikin hingga Basuki Tjahaja Purnama (BTP) pasti pemberitaan didominasi oleh Jakarta.
Tahukah alasannya? Ini berhubungan dengan media yang lahir di Jakarta, apalagi televisi. Dengan sangat amat terpaksa, kita mesti mengakui kalau mindset Jakartasentris banyak dipengaruhi oleh media, lebih khusus televisi.
Dari mulai banyaknya kantor pusat media di Jakarta, sampe sinetron-sinetron dengan dialek “loe-gue“. Semuanya bahkan bisa mempengaruhi kebiasaan kita. Saya juga yakin, Mas Erwin ikut terpengaruh, ya kan? Terlebih dalam ranah komunikasi, televisi memiliki efek jarum hipodemik. Efek tersebut membuat audience atau viewers tak berdaya, tidak bisa melakukan feedback. Sehingga informasi ditelan mentah-mentah.
Kalau Mas Erwin mau tahu sejarahnya. Dahulu ada televisi pertama yang lahir dari pemerintahan Orde Baru, yaitu TVRI. Yang menjadi cikal bakal munculnya televisi lain. Sementara media lainnya, seperti cetak baru ada Kompas, Suara Merdeka, atau kalau mau zaman baheula lagi, ada Harian Medan Prijaji.
Pergulatan media massa cetak bisa dikatakan menjadi yang cukup progresif ketimbang televisi. Saat televisi masih bertumpu pada TVRI Pusat di Jakarta, media cetak lokal mulai bergerak. Sebutlah misal Suara Merdeka yang lahir kisaran 1950. Surat kabar ini selanjutnya menjelma sebagai koran Jawa Tengah, dengan slogannya: Perekat Komunitas Jawa Tengah.
Jika Mas Erwin ini mendaku dirinya sebagai mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tentu sedikit mengenal Surat Kabar Pikiran Rakyat. Koran yang berbasis di Bandung itu sudah berdiri sejak 1966. Keduanya sampe sekarang masih bisa bertahan dengan dominan berita lokal masing-masing. Bahkan sudah beralih ke media siber.
Saya nggak menistakan kalimat Mas Erwin dalam tulisannya yang menyebut berita banjir Jakartasentris, tapi masalahnya beliau menghubungkannya dengan gubernur Anies Baswedan. Keliru jika sampe mempertanyakan: Apa harus Anies Baswedan? Seolah-olah, gubernur “Islami” itu adalah tokoh yang terlampau penting, sehingga bisa mempengaruhi berbagai macam pemberitaan. Lalu, kenapa banjir di daerah lain nggak seheboh di Jakarta?
Saya hanya bisa jawab: media kita sudah terlanjur Jakartasentris. Mulai dari kantor pusat yang di Jakarta. Banyaknya wartawan yang bermukim di Jakarta. Sampai yang menurut Mas Erwin, Jakarta sebagai Ibukota. Semuanya memang benar.
Dalam tulisannya itu, Mas Erwin mengklaim telah menemukan 15 link berita atau informasi banjir tapi seluruhnya memberitakan Jakarta. Saya hanya bisa mengira, Mas Erwin pasti menemukan link dari media online yang notabene berkantor pusat di Jakarta. Coba cek, kalau nggak Kompas, Tempo, Merdeka, Detik, Tribun, atau Liputan6.
Media yang saya sebutkan di atas memiliki kantor pusat di Jakarta. Apa yang ditemukan dari 15 link oleh Mas Erwin sebagai bukti kalau informasi banjir terlalu Jakartasentris, justru beliau patahkan sendiri pada redaksi kalimat berikutnya. Pada redaksi berikutnya, Mas Erwin mencantumkan satu link berita yang memberitakan banjir tapi tidak di Jakarta, melainkan Kabupaten Karawang.
Hal itu beliau cantumkan seolah untuk memperkuat argumennya yang menyesalkan nggak viralnya pemberitaan banjir di Kabupaten Karawang. Dengan asumsi luas Kabupaten Karawang lebih besar dari Jakarta, jadi patut diberitakan dan ramai. Logika macam ini abstrak sekali, nggak bisa dong beritain hanya karena luas lebih besar.
Wahai Mas Erwin yang saya hormati, jika ditilik kembali permasalahan minimnya pemberitaan banjir di daerah lain sungguh kompleks sekali. Lebih abstrak dari logika Mas Erwin sendiri. Begini, minimnya informasi dari daerah luar Jakarta yang diberitakan lantas viral adalah akibat dari tidak adanya kantor lokal yang ada di daerah.
Mustahil Tempo atau Kompas membangun kantor di setiap daerah di seluruh Indonesia. Tentulah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sebenarnya melalui Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 pemerintah menyiasati itu. Dalam UU Penyiaran tersebut, terutama televisi wajib ada siaran di daerah.
Namun, karena biaya untuk siaran di daerah itu membutuhkan biaya banyak, maka amanat UU Penyiaran itu tidak terlaksana secara menyeluruh. Mungkin ada beberapa televisi yang kuat pendanaanya bisa membuka saluran lokal, kemudian muncul televisi berjaringan. Nah, bagaimana dengan media cetak dan online?
Saya nggak usah ambil contoh terlalu jauh deh, nanti capek. Di kota saya, Kota Pekalongan saja kantor media nasional sangat sedikit, sebut saja KompasTV dan Jawa Pos. Setahu saya ada satu lagi, Suara Merdeka yang membuka kantor perwakilan di Pekalongan, itu pun cuma seperti tempat singgah sejenak para wartawannya dan tempat periklanan, aktivitas keredaksiannya tetap di Semarang. Sisanya?
Nggak banyak media mainstream berskala nasional yang bisa menjangkau daerah-daerah. Media nasional hampir seluruhnya memakai sistem korespondensi. Wartawan media mainstream, kaliber Sindo atau Metro sekalipun cuma memperkerjakan tidak lebih dari dua wartawan di tempat saya.
Sementara media lokal sendiri, paling banter tersebar di kota-kota sekitar yang berdekatan. Jadi, bukan tidak ada berita banjir dari daerah, hanya saja problem-problem tadi yang saya sebutkan itulah enggan diselesaikan. Belum lagi, agenda setting yang dilakukan media-media mainstream itu telah berhasil.
Publik baik di ranah nyata maupun maya, semuanya terkecoh dan fokus pada banjir di Jakarta akibat pemberitaan yang terlalu Jakartasentris. Padahal belasan daerah di belahan Indonesia lain juga mengalami musibah yang sama. Wajarkah?
Selama belum ada langkah konkret dalam problem media berjejaring, maka pemberitaan bakal selamanya Jakartasentris. Saya termasuk orang yang percaya, meski diganti gubernurnya, pemberitaan akan tetap Jakartasentris. Sekali lagi, siapa pun gubernurnya. Kecuali kantor-kantor pusat itu pindah ke lain kota.
BACA JUGA Bagi Haters dan Fans Anies, Korban Banjir Jakarta Itu Cuma Calon Kertas Suara atau tulisan Muhammad Arsyad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.