Munculnya wacana ekspor ganja yang diusulkan oleh salah anggota komisi VI DPR tidak hanya menjadi pertarungan wacana dalam ruang para wakil rakyat tapi juga menjadi bola liar dalam linimasa media sosial warga +62. Saya cukup terkejut karena yang mengutarakan wacana yang sangat progresif tersebut adalah seorang politisi PKS, di mana PKS terkenal sebagai partai yang sangat konservatif. Sayang sekali yang muncul bukannya diskusi publik tentang perlu atau tidak wacana ekspor ganja direalisasikan, justru penghakiman publik terhadap yang bersangkutan.
Betapa mendarah dagingnya doktrin ganja sebagai benda yang buruk, haram, dan ilegal. Lucunya orang-orang yang ngotot mengatakan ganja itu buruk, haram, ilegal ini sama sekali tidak tahu atau tidak mau tahu alasan kenapa ganja ilegal. Pokoknya sudah dikatakan ilegal ya sudah tidak boleh diganggu gugat. Inilah bentuk sebuah keimanan absolut yang menuntut orang tidak untuk mempertanyakan, hanya mempercayai.
Banyak orang menolak wacana ekspor ganja karena itu sama saja dengan memberikan kesempatan kepada penyalahgunaan ganja. Bagaimana mungkin ganja bisa disalahgunakan sedangkan konsep pem-benar-gunaan ganja saja tidak ada sekali. Di Indonesia ganja tidak boleh ditanam, dirawat, digunakan, dan dikonsumsi. Melihat fenomena ini saya jadi teringat para prajurit berseragam loreng yang hobi merazia buku kiri tapi tidak tahu sama sekali isinya apa. Bahkan ada buku yang jelas-jelas mengkritik pemikiran kiri ikut terjaring razia. Beginilah hasilnya jika ketidaktahuan bukannya diberantas tapi dibudidayakan.
Dalam buku Hikayat Pohon Ganja dikisahkan sejarah bagaimana ganja menjadi tanaman ilegal di Indonesia. Semua itu terjadi pada masa Orde Baru, tepatnya pada tahun 1976. Indonesia memilih untuk mengikuti dalil PBB yang disampaikan dalam Single Convention On Narcotic Drugs tahun 1961. Konvensi ini adalah sebuah ratifikasi pertama yang mengkategorikan Ganja sebagai jenis narkotika. Sejak saat itu budidaya ganja menjadi sesuatu yang ilegal di muka bumi. Lucunya negara-negara besar yang tergabung dalam PBB ini semua adalah pemain dalam pasar ganja baik legal maupun ilegal.
Inggris misalnya, meski secara hukum negara ini masih membuat ganja menjadi barang ilegal untuk dibudidaya dan dikonsumsi namun Inggris memiliki salah satu perusahaan farmasi ganja terbesar di dunia yang bernama GVV Pharmaceuticals. Inggris sudah mulai meriset ganja sejak periode awal PBB membuat ganja menjadi barang ilegal. Untuk bisa memproduksi obat yang terstandarisasi tentu saja butuh riset. Riset ini jelas tidak sebentar karena untuk aman dicoba pada manusia dicoba dulu pada hewan. Setelah dicoba pada manusia dengan sampel yang kecil pasti dicoba pada sampel yang besar. Semua itu makan waktu 10-20 tahun dari mengekstrak sampai akhirnya obat bisa bebas beredar di pasar.
Prancis di lain sisi adalah produsen kosmetik yang menggunakan bahan dasar ganja. Amerika dan Rusia adalah pemain pasar gelap ganja dengan kekuatan. China dari dulu sudah menanam dan membudidayakan ganja. Negara-negara besar ini sudah menyiapkan diri dalam permainan pasar ganja. Jangan kaget jika dalam beberapa waktu ke depan terjadi perubahan kebijakan bahwa ekspor ganja menjadi legal. Saat itu Indonesia hanya akan menjadi penonton dalam permainan pasar global.
Produk-produk olahan ganja dalam beberapa tahun ke depan akan membanjiri pasar dunia. Saat itu mungkin Indonesia akan menjadi pengimpor produk-produk farmasi ataupun kosmetik berbahan dasar ganja. Indonesia, sebagai negeri yang terletak di khatulistiwa di mana ganja yang tumbuh liar merupakan kualitas nomor satu, hanya akan jadi penonton. Di saat negeri-negeri lain sudah menyiapkan diri untuk memonopoli pasar ganja kita masih saja menutup diri dan termakan hoaks yang diciptakan para negera pemegang hak veto.
Mereka negara-negara pemegang hak veto itu susah payah melakukan rekayasa terhadap alam karena lingkungan dan iklim tidak mendukung untuk menghasilkan ganja apalagi dengan kualitas tinggi seperti di Indonesia. Karena itu saya tidak hanya sepakat dengan ide politisi PKS tentang ekspor ganja, saya bahkan bersepakat dengan Lingkar Ganja Nusantara yang mewacanakan legalisasi ganja nasional. Jika tidak bisa dilegalisasi setidaknya dimunculkan regulasi yang mengatur bagaimana perizinan ganja.
Dengan legalnya ganja, akan memberi kesempatan kepada para petani untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan membudidayakan ganja. Dengan legalnya ganja, kita memberi kesempatan bagi para peneliti kita untuk bisa meneiliti ganja yang tentu saja akan membantu perekonomian nasional. Perusahan-perusahaan besar akan berani meng-invest apalagi setelah banyak hasil penelitian yang bahkan menemukan berbagai potensi baik dari ganja.
Jadi pak Jokowi tidak perlu repot-repot memanjakan korporasi yang berpotensi merusak alam demi keluar dari krisis ekonomi. Janji pertumbubuhan ekonomi 7% bukan hanya akan terealisasi bahkan mungkin bisa dilampaui. Karena itu mari kita semua membuka diskusi tentang wacana ekspor ganja ini ketimbang hanya menghakimi. Jangan sampai ganja menjadi emas, nikel, timah, dan kekayaan Indonesia lainnya yang jatuh ke tangan aseng. Daripada jatuh ke tangan aseng lebih baik kita yang kelola, benarkan Pak Prabowo?
BACA JUGA Galaunya Si Marijuana: Haruskah Dilegalkan atau Tidak? atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.