Apa pengalaman anda yang paling berkesan saat tinggal di tanah rantau untuk pertama kalinya? Orang-orang yang pergi merantau ke daerah atau kota yang sangat berbeda baik dari segi bahasa maupun suku, pasti mengalami banyak hal-hal unik atau lucu—sedih atau senang—yang sulit dilupakan.
Perantau seperti saya yang jauh dari Medan sana sudah pasti mengalaminya pula. Apalagi saya lahir dan besar di kota yang sangat jauh berbeda dengan lingkungan saya sekarang. Pada 22 juli 2019 yang lewat, saya sudah sembilan tahun di Jogja. Selama sembilan tahun itu, saya pulang kampung sebanyak enam kali.
Sebagai perantau, tentu banyak suka-duka yang sudah saya alami. Pada tahun pertama di Jogja—2010, saya tinggal di daerah selatan Jogja dekat kampus Institut Seni Indonesia—Sewon. Pada tahun itu saya dan teman-teman khususnya dari Medan banyak mengalami culture shock. Kami butuh beberapa minggu—saya sendiri lebih lama—untuk beradaptasi.
Misalnya, ketika meminta es the di warung makan saya menyebutnya mandi—manis dingin. Ketika meminta sedotan, saya menyebutnya pipet. Air putih saya menyebutnya teh. Dan kobokan tangan, saya menyebutnya cuci tangan. Yang lain misalnya, soal penyebutan korek atau gas. Di kampung, saya biasa menyebutnya mancis dan rokok sigaret (sepertinya itu berasal bahasa inggris matches dan cigarettes, hehe).
Semua itu kata-kata–bahasa Indonesia—yang biasa dipakai di warung-warung makan di Medan. Jadi bisa anda bayangkan kegagapan—kelucuan—yang terjadi saat berkomunikasi. Mbak atau Mas-nya sering bingung menghadapi saya. Saya juga ikutan bingung—salah tingkah. Akhirnya untuk makan pun butuh penjelasan yang lebih panjang.
Berikutnya, salah satu kebiasaan yang terkadang sulit diubah yaitu penyebutan sepeda motor. Perlu anda ketahui, di Medan penyebutan sepeda motor adalah kereta dan penyebutan mobil adalah motor. Sehingga dulu ada sebuah meme (sekarang juga masih): orang-orang Medan rata-rata kaya karena bisa beli kereta sedangkan orang Jogja, jangankan mobil sepeda motor aja masih susah. Kadang sesama orang Medan suka meledek ketika salah satu keceplosan menyebutkan kereta. “Relnya di mana?” Semua tertawa.
Selain itu, baru-baru di Jogja saya sering memanggil setiap laki-laki atau perempuan yang sudah menikah dengan sebutan Pak atau Bu. Kemudian saya tahu ternyata itu membuat mereka yang masih muda risih. Dari situ saya belajar memanggil Mas atau Mbak. Bila umurnya sudah cukup tua, saya panggil Pak atau Bu, atau bahkan Mbah.
Sebagai anak Medan, salah satu kendala yang paling berat saya ubah—teman-teman lain juga—adalah intonasi dan logat—dialek. (saya juga lemah bahasa, hehe) Suatu ketika di warung makan, saya menelepon ibu. Kami berbincang-bincang seperti biasa. Setelah pulang, teman saya tertawa karena si penjaga warung mengira saya sedang berkelahi. Dari situ saya belajar melembutkan suara saya.
Pengalaman lain, misalnya di kelas atau saat nongkrong bersama teman-teman jawa. Dosen kerap kali menggunakan bahasa jawa saat mengajar sehingga kita sering bingungas. Teman-teman jawa khususnya dari Jogja juga begitu. Jadi kita sering mengalami suasana yang krik krik—roaming.
Culture shock lainnya adalah soal makanan. Makanan Medan itu kaya dengan bumbu dan rempah seperti Aceh atau Sumatera Barat. Makanan biasanya pedas. Ada asin dan asam juga. Sehingga kebanyakan teman-teman kesulitan mencari makanan yang sesuai dengan lidahnya. Saya sendiri dengan teman-teman kos masak sendiri satu tahun pertama di Jogja. Apalagi saat itu di sekitar Sewon masih sedikit warung makan. Berbeda dengan daerah utara—kota—yang sudah banyak restoran atau warung makan khas luar Jogja.
Dua tahun terakhir, saya bahkan sudah bisa makan gudeg—rasanya manis. Sekarang, ketika teman-teman ngobrol dalam bahasa jawa, sedikit sudah bisa saya paham walau untuk bicara masih payah. Intonasi dan logat saya menjadi lebih lembut. Sedikit banyak dalam kurun sembilan tahun ini saya berubah—beradaptasi dengan lingkungan Jogja.
Tapi di balik keberhasilan saya berdaptasi itu, ada masalah baru yang harus saya hadapi. Ketika saya pulang ke Medan, saya juga harus mengalami culture shock. Saya yang sudah terbiasa menyebut motor, es teh, sedotan, di sana saya justru harus beradaptasi kembali dengan budaya asli saya. Sungguh, itu bikin pusing kepala. Sialnya, beberapa orang menganggap saya sedikit aneh karena cara bicara saya menjadi lebih lembut.
Ah itulah konsekuensi tinggal di negara yang amat beragam budaya dan bahasanya ini. Lucu, unik, kadang kesal, tapi sekaligus juga ada rasa bangga sebagai anak Indonesia. Terlepas dari semua pengalaman culture shock itu, setidaknya saya sudah belajar mengamalkan pepatah: di mana bumi dipijak, di situ langit dijungjung. Untuk perantau—mahasiwa baru—yang datang ke Jogja, selamat beradaptasi. Nikmatilah kekayaaan, keragaman dan keindahan yang ada! (*)
BACA JUGA Jenis Pengendara Kendaraan Bermotor di Jalanan Jogja atau tulisan Tappin Saragih lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.