Ngomongin soal dunia percilokan, memang seperti Slank, nggak ada matinya. Di Terminal Mojok sendiri saja sudah berapa penulis yang membahas cilok. Mulai dari rekomendasi cilok terenak hingga tipe-tipe orang makan cilok. Memang, sih, cilok ini adalah camilan yang pas saat menemani waktu-waktu gabut kita. Apalagi saat sedang sedih dan hujan. Bueuh, jan pokokke bisa jadi obat, deh. Tapi, di sini saya nggak akan merekomendasikan cilok apa saja yang terenak, atau membagikan resep rahasia bagaimana cilok menjadi enak, terutama cilok yang ada di Jember. Yah, karena saya bukan penjualnya, dong.
Akan tetapi, sebelum ngomongin soal cilok yang mewabah, pertama saya akan mengungkap keresahan saya tentang pandangan orang luar yang (((lagi-lagi))) masih asing dengan Kabupaten Jember. Pliss, Jember itu di Jawa Timur, bukan di Jawa Tengah apalagi Sumatera.
Dah cukup marah-marahnya. Lanjut.
Meskipun Jember nggak seterkenal kota-kota lain, seperti Malang, Surabaya, dan Yogyakarta, tapi sumpah demi apa pun di Jember juga ada cilok, kok. Salah satu yang paling fenomenal adalah Cilok Edy. Cilok yang terdiri dari butiran-butiran pentol krucil dan saus kacangnya yang nampol ini menjadi menjadi cita-rasa khasnya sendiri di Jember. Wes tala, siapa orang Jember yang nggak tahu Cilok Edy. Kalau ada orang Jember nggak tahu Cilok Edy, wah…. jangan-jangan orang ini siluman. Hahaha.
Cilok Edy ini sudah ada di Jember sejak sekian lama, pendirinya adalah Pak Harsono. Katanya, awal mula usaha cilok dimulai sejak 1997 bersama istrinya, Bu Siti. Ciloknya, sih, ya, sama seperti cilok-cilok pada umumnya. Namun, setelah saya menggali informasi secara mendalam, cerdas, tangkas, dan trengginas, ide membuat cilok ini didapat ketika Pak Harsono merantau ke Bali.
Ketika Pak Harsono masih berjualan cilok di Bali, ia menyadari bahwa terdapat perbedaan antara cilok Bali dan cilok yang ada di Jember saat itu. Katanya, di Jember mayoritas ciloknya masih terbuat dari tepung saja, belum ada cilok berbahan daging. Nah, dengan menggunakan metode ATM (Amati, Tiru, Modifikasi), Pak Harsono mulai merancang rencananya. Makanya, setelah menemukan peluang itu, ia kembali ke Jember untuk memulai usahanya membuat cilok berbahan daging (sapi dan ayam). Serta, yang paling fantastis, ia hanya bermodalkan uang Rp20.000 saja. “Modalku dulu Cuma Rp20.000, tok, kok, Mas,” ucap Pak Harsono.
Tapi, dari modal yang hanya cukup untuk beli rokok Gudang Garam Surya itu, kini Pak Harsono sudah bisa dibilang sebagai salah satu sultannya Jember. Bagaimana tidak, wong penghasilannya saja bisa Rp5.000.000 hingga Rp8.000.00 per hari, kok. Bahkan, yang bikin saya kaget, ia mengaku kalau saat ini ia sudah memiliki tiga apartemen, 13 rumah kontrakan. Selain itu, ia juga telah menaikkan haji orang tuanya dengan hasil jualan ciloknya itu.
Sampai-sampai, usaha ciloknya itu sudah membuka cabang. Yakni, selain di pojok-pojok kota Jember, juga ada di Probolinggo dan Wonosobo, lho. Jan mashook. Seharusnya, Pak Harsono ini yang kudu diundang ke seminar-seminar kewirausahaan, karena memang ia usaha dari nol, dan nggak ada campur tangan privilese lain. Privilese “bapaknya” misalnya.
Maka dari itu, saya sebagai warga Jember dan anak mudanya, sayang sekali jika orang-orang seperti Pak Harsono ini tidak diperhatikan pemerintah. Lha piye maneh, wes Jember ora terlalu terkenal, masa orang-orang yang mencoba mengangkat eksistensi Jember nggak didukung, sih.
Oleh karena itu, jika nanti ada yang tanya soal Jember, meskipun nggak tahu lokasinya di mana, setidaknya tahulah ikon-ikonnya. Seperti Jember Fashion Carnival alias JFC, tapai, suwar-suwir, tembakau, dan tentu saja Cilok Edy yang legendaris itu. Kalau mau, besok, deh, saya anterin beli. Lokasinya wenak pol, kok. Yaitu, di depan kantor DPRD Kabupaten Jember/pojok bundaran DPRD persis. Kurang enak piye? Wes tak anterin, tak beliin, dan tak ajak jalan-jalan juga. Hahaha.
Sumber gambar: Pixabay