Semenjak viral, saya selalu skeptis dengan konsep Non-Fungible Token (NFT). Bukan skeptis dengan idenya, tapi dengan cara masyarakat memahami produk digital ini. Apalagi sampai ikut-ikutan membeli NFT karena gampang percaya cocotnya influencer. Salah satunya adalah Chef Arnold.
Semua berawal dari balasan koki wibu ini tentang NFT. Akun @laihoo_val mengeluhkan transaksi NFT terutama Karafuru, PXN, dan Irukandji yang anjlok. Chef Arnold dengan enteng menjawab, “Ya sorry kalau Anda jadi exit liquidity kita.”
Kalau Anda nggak paham maksud Chef Arnold, mari saya jelaskan. Exit liquidity menurut bisnis.com adalah fenomena saat investor kecil membeli token NFT dari investor besar dengan harga tinggi. Tapi, harga token yang sudah dibeli itu menurun. Masih bingung? Sederhananya, Chef Arnold berterimakasih karena si akun yang sambat tadi sudah memberi keuntungan baginya. Meskipun harus berimbas kerugian bagi pembeli NFT.
Jadi ladang uang
Saya sih nggak kaget. Seperti yang saya sampaikan, saya sudah skeptis dengan NFT. Masalahnya yang bikin gemas adalah orang-orang bermental Fear Of Missing Out (FOMO) ini. Hanya karena cocot influencer macam Chef Arnold, mereka menjadi ladang uang yang siap diserok.
Sudah waktunya kita lebih jeli melihat tren hari ini. Apalagi ide ndakik-ndakik seperti NFT. Lebih dari itu, sudah waktunya kita skeptis bahkan apatis terhadap influencer. Tidak perlu husnudzan terhadap influencer!
Dalam liputan saya tentang Indo NFT Festiverse, sudah jelas tujuan NFT itu apa. NFT lahir sebagai cara seniman, apapun jenisnya, untuk lebih mudah menjual karya. Memanfaatkan cryptocurrency (yang sama-sama ra mashok), seniman bisa melompati proses menjual karya. Penikmat seni bisa langsung membeli karya, dan seniman tidak bergantung pada kurator dan galeri. Bahkan seniman tadi terus mendapat keuntungan dari transaksi NFT yang sudah dibeli orang. Idenya sih gitu.
Praktiknya jauh dari ide
NFT, seperti cryptocurrency, dipandang sebagai aset investasi. Lebih parahnya, orang-orang yang mudah terpukau memandang NFT sebagai sumber keuntungan.
Untuk kasus Chef Arnold, bayangkan skenario ini: ada orang yang menjual 100 lembar lukisan. Beberapa tokoh memborong lukisan tadi. Setelah diborong, mereka bilang kalau lukisan tadi bernilai tinggi. Mereka menjual lukisan tadi 5 kali lebih mahal dari harga saat beli.
Orang-orang berebut membeli lukisan itu. Lalu menjual kembali demi mendapat untung, meskipun tidak sebesar keuntungan para tokoh tadi. Sampai akhirnya harga lukisan tadi sudah tidak masuk akal. Orang berhenti membeli lukisan tadi. Si pemilik terakhir tidak tahu lukisan miliknya mau diapakan. Akhirnya mereka plonga-plongo seperti orang goblok.
Nah, itulah gambaran dari apa yang dimaksud exit liquidity-nya Chef Arnold. Ketika orang membeli NFT koleksinya, barang digital tadi dipandang bernilai. Setelah beberapa kali dijajakan, akhirnya tidak ada yang mau beli. Sedangkan bagaimana dengan nasib Chef Arnold dan investor awal? Ya sudah untung dari kemarin.
NFT Karafuru yang dibeli Chef Arnold jika dirupiahkan sebesar Rp150 jutaan. Terdengar fantastis. Tapi harga Karafuru pernah mencapai Rp300 juta lebih pada Februari 2022. Ketika Chef Arnold menjual NFT dengan harga segitu, sudah jelas dia untung 100 persen. Ketika orang membeli NFT seharga Rp300 jutaan tapi tidak bisa dijual kembali, apa yang dilakukan? Ya hanya mengagumi karya NFT tersebut di depan layar.
Kekuatan ucapan influencer
Memang, Chef Arnold bukan satu-satunya influencer NFT. Tapi kapasitasnya sebagai orang yang dipercaya publik ikut menyumbang fenomena gelembung NFT ini. Orang seperti dirinya bisa membeli NFT paling nggak masuk akal, lalu dijual karena masyarakat percaya pada nilai yang digambarkan.
Padahal, nilai tadi hanyalah jualan Chef Arnold dan influencer NFT semata. NFT Karafuru menjadi berharga karena orang percaya pada nilai yang nggak masuk akal ini. Ketika nilai tersebut tidak sebanding dengan harga, ya ending-nya goblok
Untuk apa sih percaya sama influencer. Apalagi urusan investasi. Dari kasus Binomo saja harusnya kita pasang red flag pada cara mereka jualan di media sosial. Sekalinya ikut-ikutan apalagi karena FOMO, boncos, kan? Mereka para influencer sih tidak peduli nasib Anda. Toh mereka mendapat untung dari mental ikut-ikutan masyarakat.
Sungguh benar, betapa indahnya Indonesia tanpa influencer. Hidup lebih tenteram tanpa harus ikut-ikutan cocot orang yang menyerok untung dari dompet kita.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 3 Kemampuan Tersembunyi Chef Arnold selain di Bidang Kuliner.