Awal Juli lalau, ketika membaca berita-berita yang berseliweran di media sosial mengenai Felix K. Nessi—pemenang sayembara DKJ 2018 lewat novel berjudul Orang-Orang Oetimu—yang ditangkap karena “berulah” di pastoran, saya jadi de javu dengan cara ibu saya menggugat pemuka agama di desa.
Ada kemiripan antara kasus yang menjerat kami dengan Kaka Felix. Yaitu, sama-sama menggugat otoritas pemuka agama yang secara kasat mata dan akal goblok manusia saja sudah bisa dibilang bermasalah.
Kaka Felix menggugat pihak pastoran SMK Bitauni yang terkesan tutup mata dengan seorang romo yang terindikasi cabul. Seorang romo yang, menurut penuturan Kaka Felix di akun Facebook-nya, pernah tersandung kasus pelecehan terhadap perempuan.
Seorang romo melecehkan perempuan, padahal syarat mutlaknya adalah harus hidup selibat, jangan sampai syhawat sama perempuan, tentu nggak bisa dibenerin, dong. Goblok-goblokan, kalau emang nggak tahan, ya udah mending nggak usah jadi romo. Tapi fakta itulah yang coba ditutup-tutupi oleh pihak pastoran.
Nggak butuh sekian dalih bertele-tele lagi bagi Kaka Felix untuk menghantamkan helmnya ke kaca jendela pastoran dan membanting kursi plastik sampai hancur. Tindakan yang berbuntut “penjemputan” terhadap dirinya satu jam kemudian.
Saya dan ibu saya memang nggak sampai ekstrem seperti itu, sih. Kami nggak cukup berani untuk melempar helm ke kaca jendela madrasah tempat para pemuka agama yang kami gugat. Hanya saja saya belajar dari keberanian ibu sebagai seorang umat, apalagi perempuan, yang berani mengkritisi ketidakberesan para pemuka agama di desa kami.
Gugatan pertama dilayangkan ibu pada 2016 lalu. Waktu itu, ibu merasa ada yang nggak beres dengan model takziyah di desa kami. Jadi di desa kami, setiap ada orang meninggal, sudah menjadi keharusan bagi pihak keluarga untuk menyiapkan amplop berisi uang Rp5.000. Amplop tersebut nantinya harus dibagikan ke para pelayat yang datang ke kediamannya.
Yang mengganjal di hati ibu, dan sebenernya bertahun-tahun membuatnya sering bertanya-tanya, apakah ini termasuk bagian dari fikih? Kalau emang iya, bagaimana nasib orang-orang yang dari keluarga nggak punya? Ibarat habis jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah bersedih karena ditinggal mati anggota keluarga, eh ketambahan susah karena keharusan ngasih amplop ke pelayat.
Tapi kalau emang bukan bagian dari fikih, lantas kenapa para pemuka agama hanya diam? Bukankah syariat Islam itu harusnya meringankan? Apa jangan-jangan para pemuka agama juga turut mengambil keuntungan dari tradisi nggak beres ini? Sambil terus merenung, ibu mengambil langkah kecil dengan nggak nerima sodoran amplop setiap pergi takziyah. Langkah kecil untuk memulai sebuah perubahan besar, kalau kata ibu.
Di satu kesempatan, ketika kebetulan saya pulang dari pesantren, ibu kemudian meminta saya menerangkan makna takziyah. Apa pun yang saya ketahui. Saya menjelaskan pada ibu bahwa takziyah secara lughot artinya menghibur dan meringankan beban keluarga yang ditinggal mati. Kalau mengutip pendapat dari kiai saya di pesantren, kalau bisa ya diringankan bebannya dalam arti materiil. Misalnya, ngasih uang atau nyumbang beras dan tetek bengek buat mengurus jenazah dan tahlilan.
“Berarti tradisi di desa ini kebalik,” hanya itu komentar yang ibu lontarkan. Dan ibu pun memantapkan diri menghadap salah seorang pemuka agama, mengajukan opsi, yaitu menghapus tradisi tersebut.
Prosesnya cukup alot. Lebih-lebih ibu saya bukan dari kalangan pesantren yang, sangat-sangat bisa disepelekan argumentasinya. Bahkan argumen tersebut memang pernah ditolak, sebelum akhirnya ibu, didukung beberapa orang, nggak mampu mendesak kembali agar dilakukan pembahasan lebih lanjut.
Tradisi tersebut sekarang emang udah nggak ada lagi di desa kami. Ibu pun makin disukai oleh beberapa warga yang merasa terbantu atas keberanian ibu. Hanya saja, ibu dan tentu juga kami anak-anaknya agak terkucil dari kelompok pemuka agama dan para pengikutnya.
Bahkan secara berkala, kami sampai harus dikeluarkan dari keanggotaan jamaah masjid. Dicap orang sesat juga. Tapi, bagi ibu saya, itu bukan masalah besar. Justru membuat ibu makin nggak sungkan kalau harus melayangkan gugatan lagi.
Dan benar saja. Baru-baru ini, karena mendekati Hari Raya Idul Adha, ibu kembali mendatangi salah seorang pemuka agama untuk menyampaikan ketidaksepakatannya dengan model pembagian daging kurban yang lumrah selama ini.
Jadi begini, di desa kami, pemotongan daging kurban itu nggak terpusat di masjid. Modelnya didasarkan pada jumlah pemuka agama yang memimpin musala atau masjid.
Jadi masjid motong sendiri, pemuka agama musala juga motong sendiri. Dan ini nih yang, disinyalir ibu saya, bikin pembagiannya jadi nggak rata. Sebab biasanya ada kesamaan data antara penerima dari masjid dan dari musala. Mislanya, selain terdata di masjid, Pak Tukiman juga terdata di musala A, musala B, dan musala C. Walhasil, Pak Tukiman ini ya pasti dapat empat bingkisan sekaligus.
Yang lebih parah, kadang pembagiannya didasarkan pada sistem kekerabatan dan keakraban. Kayak seumpama saja masih kerabat dengan pemuka agama di suatu masjid, Anda akan dapat jatah daging dengan porsi besar. Atau, misalnya saja, kamu akrab sama pemuka agama, ya dapat banyak bingkisan. Akhirnya, penyaluran daging kurban mandeg di orang-orang itu saja. Sementara yang seharusnya berhak mendapatkannya, justru ngaplo nggak dapet apa-apa.
Ibu saya sering dengar curhatan dari mereka yang seharusnya berhak tapi nggak pernah kebagian. Sebagai langkah awal, ibu mengajak kerabatanya yang jauh lebih mampu untuk mengalah. Memberikan jatahnya buat mereka yang lebih berhak dan butuh. Dan ini adalah gugatan pertama. Gugatan yang lebih konkret baru saja ibu layangkang. Tinggal nunggu hasilnya seminggu lagi.
“Jangan biarkan pemuka agama itu sekarepe dewe menggunakan otoritasnya,” begitu kata ibu suatu kali.
“Tapi apa etis, tho, Buk? Apa kita nggak kualat?” Tanya saya pada ibu.
“Lebih nggak etis kalau para pemuka agama, dengan ilmu agamanya, justru ngapusi wong cilik. Justru mereka yang bakal kualat sama wong cilik.” Jawab ibu tanpa keraguan sedikit pun.
BACA JUGA Benarkah Islam Adalah Agama Paling Benar ketika Banyak Muslim Justru Tidak Terlihat Islam? atau tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.