Beberapa hari yang lalu saya membaca tulisan Mas Dito Yudistira Iksandy tentang pengalamannya berlangganan Bumble premium. Dia bercerita, harga langganan aplikasi kencan atau dating app asal Amerika Serikat itu mahal, tapi dia tetap nggak dapat pasangan. Hal itu berkebalikan dengan apa yang terjadi pada saya. Saya nggak berlangganan Bumble premium, tapi tetap mendapatkan pasangan.
Sebelum menceritakan pengalaman saya lebih jauh, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu alasan yang mendorong saya menjajal dating app Bumble. Jadi begini, awalnya saya mengeluh kesepian karena nggak ada teman chat. Lalu teman merespon keluhan saya ini dengan menyarankan mencoba aplikasi Bumble dengan harapan agar saya nggak merasa kesepian lagi dan punya teman chat. Saya mencoba aplikasi ini hanya untuk bersenang-senang aja.
Saat menerima saran dari teman, saya nggak langsung mengunduh Bumble. Saya melakukan beberapa pertimbangan terlebih dahulu. Setelah beberapa hari merenung, akhirnya saya memberanikan diri untuk menginstall aplikasi tersebut di ponsel saya.
Pertama kali menggunakan Bumble saya nggak ngerti bagaimana cara kerja aplikasi ini. Maklum, ini kali pertama saya menggunakan dating apps. Setelah beberapa hari belajar dengan teman saya, akhirnya saya sedikit tahu fungsi fitur-fitur yang ada di aplikasi ini. Contohnya, jika tertarik dengan cowok bisa gunakan fitur swipe kanan kalau nggak tertarik bisa swipe kiri.
Satu hal lagi yang cukup membuat saya kaget dan ingin mengurungkan niat untuk mencoba aplikasi ini adalah fitur yang mengharuskan perempuan untuk memulai obrolan lebih dulu ketika match. Rasa-rasanya aplikasi ini nggak cocok untuk perempuan ber gengsi tinggi seperti saya ini. Karena terpaksa, saya tetap melanjutkan niat saya untuk mencoba Bumble, tapi sialan, ternyata nggak sesuai ekspektasi. Gara-gara Bumble hati saya jadi remuk.
Daftar Isi
Kalau main Bumble jangan baperan nanti rugi sendiri
Seperti niat awal saya mencoba Bumble hanya ingin sekedar punya teman chat. Saya sama sekali nggak berekspektasi untuk dapat pasangan atau bahkan jodoh lewat aplikasi ini. Sebab, menurut saya apa yang bisa diharapkan dari aplikasi kencan di zaman yang penuh tipu-tipu ini? Bukannya berpikiran negatif, tapi apa salahnya kalau berhati-hati, kan?
Itu mengapa saya perlu mempertimbangan secara matang terlebih dahulu. Lalu mengumpulkan keberanian terlebih dahulu sebelum mencoba Bumble. Saya hanya khawatir jika sampai terjadi hal-hal yang nggak diinginkan.
Beberapa hari menggunakan Bumble saya langsung match dengan beberapa cowok dan memulai obrolan lewat chat. Berkat Bumble seketika saya nggak merasa kesepian, setiap hari ada saja teman chat. Asal kalian tahu, saya menanggapi chat mereka biasa aja dan nggak pernah bawa perasaan. Ingat tujuan awal, saya cuma ingin senang-senang dan menghilangkan rasa sepi saja.
Akan tetapi, nggak ada angin nggak ada hujan. Ada satu cowok yang match dengan saya yang nggak bisa saya sebut namanya disini. Awal chatting saya sudah merasa cocok dan nggak pernah membayangkan akan punya perasaan terhadapnya. Namun, ternyata saya salah, sangat salah. Nggak tau kenapa perasaan bisa tumbuh secepat itu, entah karena saya baperan atau gimana ya.
Sejak saat itu saya jadi lupa diri nggak ingat tujuan awal main Bumble dan benar-benar nggak bisa kontrol perasaan. Hingga pada akhirnya, mau tidak mau saya harus terlibat dalam alur permainan yang dia buat. Kalau boleh saya katakan, saya tolol. Bisa-bisanya baper dengan kiriman chat romantis padahal melihat parasnya aja belum pernah.
Jangan berekspektasi tinggi kalau nggak mau remuk!
Sekalipun sudah sangat berhati-hati menggunakan Bumble, pada akhirnya hati saya tetap remuk juga. Itulah diri saya pada saat ini. Keadaan makin kacau, setelah saya melakukan kencan pertama. Perasaan makin nggak karuan. Sepertinya saya memang sudah mulai pakai perasaan di sini.
Sebagai manusia pada umumnya, saya menyadari, perasaan yang perlahan tumbuh ini sebenarnya wajar saja. Ya siapa sih yang nggak baper kalau setiap hari dapat pesan romantis. Nggak cuma itu, saya juga mendapat perhatian, harapan, dan kasih sayang. Di sisi lain, saya merasa bodoh karena sudah menjilat ludah sendiri.
Apesnya, perasaan berbunga-bunga itu nggak bertahan lama. Seminggu setelahnya, tiba-tiba sikapnya berubah nggak semanis di awal. Waktu itu, saya masih mencoba untuk berpikir positif. Namun, lama-lama dia semakin lama membalas chat. Dia juga suka datang dan pergi sesuka hatinya.
Nggak kena ghosting, tapi tetap saja pengalaman yang zonk
Saya pikir, saya akan ditinggal tanpa kejelasan alias kena ghosting. Namun saya salah, sebelum benar-benar pergi, dia menjelaskan beberapa alasan yang tentu saja nggak bisa saya spill di sini. Saya nggak tahu apakah alasan yang di ucapkan benar adanya atau tidak. Yang jelas, perasaan saya benar-benar remuk.
Ternyata pengalaman saya mencari teman chat di Bumble untuk menghilangkan rasa kesepian akhirnya berujung berujung zonk. Saya patah hati sepatah-patahnya. Walau berat, perlahan tapi pasti saya mulai bangkit. Saya mulai menyibukkan diri dengan hal-hal yang lebih produktif dibandingkan hanya memainkan Bumble.
Kedepannya saya harus semakin waspada dan nggak gampang percaya dengan cowok di dating app. Sebab, kalau nggak sesuai ekspektasi sakitnya bukan main. Bagi kalian yang merasa kesepian, nggak siap baper dan patah hati, mending nggak usah main dating app ini. Terlalu berisiko. Lebih baik fokus perbaiki diri karena semakin baik kualitasmu, semakin baik pula yang bisa kamu dapatkan.
Penulis: Fitrotin Nisak
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Menyelami 4 Aplikasi Dating yang Penuh Cinta
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.