Menurut sebuah penelitian yang dikeluarkan Central Connecticut State University (CCSU), Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah untuk urusan minat baca. Indonesia hanya mampu mengungguli Botswana di peringkat 61 dari 61 negara yang dipilih dalam penelitian tersebut. Sementara, survei lain yang dikeluarkan Program for International Student Assessment (PISA), Indonesia boleh sedikit bernapas lega karena berada di peringkat 62 dari 70 negara yang disurvei.
Akan tetapi, apa pun itu surveinya saya mantap kalau negara tercinta ini sudah betul-betul krisis minat baca. Keyakinan saya seolah bertambah setelah menyaksikan polah netizen +62 di media sosial.
Bagaimana mereka dengan gampangnya berkomentar, tanpa tahu apa yang sedang mereka komentari. Hal ini bukan hanya menjangkiti netizen yang gabut, melainkan juga para pemburu lomba, tak terkecuali pemburu lomba menulis.
Saya termasuk orang yang sampai hari ini hobi berburu lomba menulis, meski jarang sekali menyabet juara favorit. Acap kali di sebuah postingan info lomba, saya menjumpai orang yang kelihatannya effort abis di dunia menulis. Namun, dari komentarnya sama sekali tak menunjukkan bahwa ia cuma netizen biasa, atau tipikal penulis atau blogger yang malas membaca.
Memang, sih, menulis nggak harus membaca buku. Begitu pula kalau mau jadi penulis juga nggak perlu menjadi seorang kutu buku. Namun, mbok ya jangan memperlihatkan kalau males baca juga kelesss.
Apalagi yang diikuti lomba menulis. Kendati peminat lomba-lomba di luar kepenulisan juga banyak yang males baca sebenarnya. Padahal pihak penyelenggara atau admin medsos sudah terang-terangan mencantumkan segala ketentuan dan persyaratan.
Saya menduga, para pemburu lomba ketika melihat poster lebih memilih langsung tanya ke admin lewat komentar daripada membaca poster atau minimal caption. Lantaran hal itu, admin jadi kerja dua kali. Selain posting pamflet, ia juga harus meladeni pertanyaan netizen soal lomba yang di-share. Itu kalau memang lombanya dari admin yang bersangkutan, gimana jadinya jika admin itu cuma share info lomba?
Zaman sekarang banyak banget di Instagram dan Facebook, orang atau admin membagikan info lomba tapi bukan lomba yang diadakan oleh yang bersangkutan. Biasanya kiriman dari orang lain. Nah, karena itulah, kadang si admin ini atau yang membagikan juga males baca. Jadi sering menjawab pertanyaan di komentar dengan jawaban diplomatis, “Tanya ke CP saja, Kak.”
Selain males baca, mungkin si admin itu juga kesal. Pamflet sudah jelas, caption sudah panjangnya seperti cerpen, ketentuannya lengkap, masih ada pula yang nanya. Lucunya pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan sudah terjawab di poster atau caption.
Sering saya nemu pertanyaan di kolom komentar begini, “Hadiahnya apa ya, Min?”, “Bayar nggak lombanya?”, “Ngirim tulisannya ke mana?” Padahal di poster dan caption sudah dijelaskan. Duh, bikin saya pengin menghadapkan layar hape ke muka orang itu dan bilang, “Kie loh woconen!”
Itu bukan sekali-dua kali, tapi hampir di semua postingan info lomba. Kalau begitu terus, pekerjaan desainer pamflet jadi sia-sia. Gimana lagi ya, maksudnya dibikin poster atau pamflet itu biar info lomba jadi ringkas. Selain itu juga agar saat nge-share ke media sosial jadi lebih mudah, tanpa perlu bikin caption panjang sampai pamer diksi segala.
Saya jadi kasihan sama para admin yang membagikan info lomba. Mereka harus kerja keras supaya netizen yang males baca tapi hobinya langsung nanya itu bisa mengerti. Sayangnya, terkadang niat baik tersebut malah dimanfaatkan netizen untuk bertanya tiada henti, alih-alih mulai fokus untuk mengikuti lomba tersebut atau tidak.
Jika si admin bukan penyelenggara lomba, kemungkinan besar bakalan kesal sama orang yang tanya melulu dan males baca. Namun, keadaannya lain kalau si admin, yang menyebar pamflet lomba sekaligus menjadi panitianya. Mereka pasti senang setengah mampus ada yang antusias mengikuti lomba.
Saking senangnya, tak jarang sampai dibikinkan grup WhatsApp calon peserta lomba segala. Mungkin pikir panitia, grup WhatsApp akan membantu mengakomodir pertanyaan sehingga memudahkan untuk menjawabnya dalam satu kali mengetik pesan. Namun, membuat grup untuk calon peserta lomba bukanlah cara brilian.
Justru hal itu bisa menjadi bumerang untuk panitia. Bukannya mempermudah, panitia akan kepayahan membalas pesan anggota grup WhatsApp yang masih calon peserta lomba itu. Saya katakan calon peserta karena mungkin-mungkin saja belum sempat mengirim karya untuk diikutsertakan lomba, mereka bakal mengundurkan diri.
Di samping merepotkan panitia, dengan adanya grup WhatsApp tadi malah semakin menunjukkan bahwa para pemburu lomba ini males membaca. Pokoknya mumpung ada grup, tanya apa saja. Pertanyaan-pertanyaan soal ketentuan lomba pun akhirnya juga ditanyakan di grup. Hadehhh~
Kadang kala admin grup WhatsApp sudah menyiasatinya. Admin akan menaruh ketentuan lomba di deskripsi grup dan mengganti ikon grup dengan poster lomba. Akan tetapi, tetap saja ada yang males buat membaca deskripsi pada grup ataupun pada poster yang dijadikan ikon grup.
Indonesia kayaknya memang lagi krisis minat baca. Nggak usah terlalu berharap ada banyak orang di tanah air mau membaca Tetralogi Buru, lah wong baca ketentuan lomba yang sepele saja ogah-ogahan. Ayolah, kalau ada info lomba itu dibaca dulu ketentuannya secara detail, jangan malas!
BACA JUGA Lomba Cipta Lagu Corona dan Lelahnya Kita dengan Semua Omong Kosong Ini dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.