Pemerintah kita sudah menetapkan status darurat virus Corona (Covid-19). Maknanya kita diimbau agar nggak keluar rumah, jika nggak ada keperluan yang terlampau mendesak. Sekolah dan kampus juga ikut diliburkan tetapi menggunakan narasi belajar di rumah. Tujuannya jelas buat menghindari kerumunan dan bisa mencegah penularan virus.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sih pernah bilang kalau sistem pembelajaran diganti dari yang semula tatap muka ke sistem jarak jauh, atau via daring (dalam jaringan). Sekolah diminta buat menerapkan sistem itu. Pemerintah juga katanya telah menyiapkan ruang online buat belajar jarak jauh.
Seperti Ruang Guru, Zenius, hingga Quipper bisa menjadi pilihan. Niat awalnya sudah bagus, melalui platfrom-platfrom tersebut guru atau tenaga pengajar bisa mengirimkan materi pembelajaran lebih mudah. Supaya murid-muridnya bisa mempelajarinya di rumah. Kampus pun demikian.
Masing-masing kampus pasti punya sistem e-learning. Mahasiswa bisa mengaksesnya untuk mendapatkan materi secara daring. Sementara dosen bisa membikin ringkasan materinya dan mengirimkannya kepada mahasiswa. Jadi semacam pembelajaran tatap muka tapi via daring.
Namun sayangnya, harapan itu nggak sepenuhnya benar di lapangan. Guru, dosen, atau tenaga pengajar lainnya malahan memanfaatkan momentum belajar di rumah untuk memberikan tugas lebih banyak dari biasanya kepada anak didik. Adik saya pun merasakan demikian.
Di benak siswa dan mahasiswa, belajar di rumah maupun kuliah online adalah guru atau dosen bakalan ngasih materi. Nah nanti tinggal dipelajari di rumah, kalau belum jelas, boleh ditanyakan ke guru atau dosen terkait. Bisa lewat WhatsApp atau aplikasi apa pun.
Ealah bukannya materi, guru dan dosen malah ngasih tugas yang jauh lebih banyak dari biasanya. Jika di pertemuan biasa, pelajar dan mahasiswa mendapatkan materi lebih dahulu kemudian tugas. Kini mereka harus cari materi sendiri buat mengerjakan tugasnya.
Alhasil banyak di antara pelajar dan mahasiswa ini kelabakan. Niat hati mau rebahan aja sambil mainan Twitter harus diurungkan. Waktunya pun tersita buat mengerjakan tugas. By the way, bukannya karena banyaknya tugas bisa meningkatkan stres ya? Dan orang stres itu rawan terserang penyakit, loh. Au Ah~
Saya juga nggak habis pikir, kenapa kalau pas libur panjang selain libur semesteran, apalagi dadakan semacam ini, dosen sama guru itu kok suka sekali ngasih tugas. Jangankan pas libur panjang dadakan seperti sekarang ini, ketika dosen nggak masuk sekali saja pun tugasnya sudah double-double. Numpuk sampai bingung mau mengerjakan yang mana dulu.
Anehnya lagi, ada sebagian dosen atau guru yang malah ngasih tugas kelompok. Dengan dalih bisa dikerjakan di salah satu kediaman anggota kelompok, jadi pikirnya nggak berkumpul sama orang banyak. Aduh, jika di antara kelompok itu ternyata terinfeksi gimana? Siapa yang mau tanggung jawab? Orang tua-nyalah.
Belum lagi soal kemungkinan terkena stres seperti yang saya tulis tadi. Bukannya ini berburuk sangka atau negative thinking. Tetapi coba cerna baik-baik. Jika tugas diberikan nggak kira-kira, tingkat stres di kalangan mahasiswa dan siswa bisa saja meningkat.
Padahal dalam kondisi rawan penyakit seperti saat ini, kita memerlukan kekebalan tubuh yang baik. Sehingga tubuh kita memiliki imunitas dan terlindung dalam menghadapi penyakit dan virus. Sementara terlalu banyak stres bisa memicu hormon kortisol. Menurut beberapa studi hormon ini bisa mengurangi tingkat kekebalan tubuh.
Jika diberi tugas seabrek, jangan heran apabila mahasiswa dan siswa ini bakalan stres, dan semoga saja tidak mudah disusupi virus. Yang jelas, menghindari stres ini juga sangat diperlukan. Produksi hormon Serotonin, Dopamin, Endorfin, dan hormon-hormon lain yang menimbulkan rasa bahagia juga seharusnya bisa diperhatikan dan diciptakan.
Sejatinya sewaktu diumumkan libur, para siswa dan mahasiswa ini sedikit senang dan bahagia. Bagaimana mungkin ada orang yang murung kalau disuruh libur, iya kan? Ironisnya, setelah itu mereka dibikin kalang kabut, bingung mengerjakan tugasnya.
Terkhusus buat mahasiswa semester senja seperti saya bisa lebih parah lagi tingkat stresnya. Pengumuman status darurat Covid-19 yang diperpanjang saja sudah bikin risau. Gimana nggak risau coba? Hampir semua jadwal mulai dari jadwal Seminar Proposal, Munaqosah (Sidang Skripsi), KKN, PPL, sampe wisuda berpotensi diundur. Nangis darah pasti mahasiswa yang sudah mati-matian ngejar deadline wisuda kalau wisudanya saja diundur.
Itu buat mahasiswa lama. Sedangkan buat mahasiswa yang masih unyu-unyu juga bisa jadi tak kalah stresnya diberikan tugas segudang. Sampai terkadang bisa membuat bingung mau ngerjain yang mana dulu. Tipikal mahasiswa yang hobi mengejar IP sama perhatian dosen pasti repot sendiri, stres sendiri. Tapi bagi mereka yang bodo amat sama nilai, karena tugasnya yang terlampau banyak bisa jadi justru memilih nggak dikerjakan semua.
Alangkah lebih baik konsep belajar daring ini bisa dikembalikan ke fitrahnya. Guru atau dosen membuat materi kemudian pelajar atau mahasiswa mengaksesnya, mempelajarinya, dan jika nggak ada yang kurang paham bisa ditanyakan. Atau biar lebih mudah, kelasnya via WhatsApp, dibuatkan grup dan ada kelas tiap jam berapa gitu.
Lebih enak begitu, daripada memanfaatkan keadaan untuk memberikan tugas yang terkadang tugasnya nggak perlu-perlu sangat, dengan dalih belajar mandiri. Seolah menempatkan guru dan dosen sebagai penguasa yang berhak menyuruh-nyuruh, sementara anak didiknya adalah kacung yang dibayar dengan nilai di rapor atau Indeks Prestasi. Bukankah kita pengin mengubah sistem pendidikan yang semacam ini? Jangan-jangan harapan itu hanya pepesan kosong. Duh~
BACA JUGA Tidak Belajar tapi Bisa Mengerjakan, Memangnya Bisa? atau tulisan Muhammad Arsyad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.