Awal bulan Ramadan tahun ini, di desa saya ada tren baru membangunkan sahur yang rasa-rasanya kok nyebahi dan menyebalkan sekali. Kalau biasanya anak-anak desa bangunin sahur pakai tongtongtek (kentongan dan seperangkat alat pukul sejenisnya), sekarang ini mereka kalau bangunin sahur pakai sound system. Jadi, mereka bawa sound system, kemudian menyetel lagu-lagu dangdut sambil keliling rumah-rumah gitu. Kreatif sih memang, jadi nggak perlu capek-capek lagi mukul kentongan. Tinggal sambungin bluetooth, puter playlist, beres. Tapi, ada tapinya, nih…
Pada batas tertentu, bangunin sahur model begini memang cukup efektif bikin orang-orang kebangun. Apalagi tipikal orang kayak saya yang kalau dengar apa sedikit langsung geragapan. Tapi, kalau pas muter musiknya dengan volume tinggi kan jatuhnya malah mengganggu banget, to? Bikin hilang respek malahan. Paling buruk akhirnya kena semprot warga gara-gara terlalu bising, kayak yang dialami anak-anak desa saya dini hari tadi.
Pada tiga malam awal Ramadan, saya kira cuma saya yang merasa mangkel betul dengan ulah mereka. Hla, kok jebul semalam ada beberapa warga yang keluar rumah buat negur. Katanya terlalu kekencengan, ganggu, bahkan ada yang sampai bilang tuh anak-anak pada nggak punya aturan. Panik nggak? Panik nggak? Ya panik lah, masa nggak. Hahaha, mamam tuh omelan warga! Salah sendiri nggak kira-kira.
Bangunin sahur itu mbok ya yang lumrah-lumrah saja gitu, loh. Mereka ini start keliling desa mulai pukul 01.00 WIB, langsung tancap volume tinggi. Nanti mereka bakal mangkal di kompleks masjid desa yang notabene padat dengan rumah-rumah penduduk. Termasuk rumah saya yang berada di kompleks masjid, makanya saya jengkel banget. Apalagi jam bangun di keluarga saya itu kan sebenarnya pukul 03.00 WIB, jadi harus kebangun lebih awal gara-gara musiknya yang bising banget itu. Pas mangkal di situ, nggak tanggung-tanggung, biasanya dari pukul 02.00 sampai 03.00 WIB lebih muter satu album full Happy Asmara, Denny Caknan, Aftershine, sampai Pamungkas dan Hindia lho diputer sekalian.
Begini, bangunin sahur itu sebenarnya termasuk aktivitas yang baik, bermanfaat juga karena bisa menjadi alarm buat orang-orang biar bisa melaksanakan sunnah puasa, yaitu sahur. Tapi ya asal dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Nggak mengganggu atau mengusik kenyamanan warga sekitar.
Termasuk bangunin sahur pakai sound system, wooo sebenarnya kreatif banget loh itu. Lagu-lagunya Happy Asmara, Denny Caknan, dan Aftershine juga enak-enak kok, banyak yang suka juga. Tapi tahu nggak Anda, kalau lagu-lagu mereka diputar kencang-kencang tiap malam, bikin bayi tetangga nangis karena geragapan, orang-orang yang baru tidur jadi terganggu tidurnya padahal besok pagi-pagi sudah harus kerja, terlebih lagi kalau sampai ganggu orang sakit gigi. Itu suara cempreng-cempreng merdunya Denny Caknan, atau suara bindengnya Happy Asmara dan Hasan Aftershine jadinya malah setara lirik dan nada lagu “Nissa Sabyan”-nya Aldi Taher, tahu nggak? Meresahkan dan merusak tatanan kehidupan.
Maka perlu Anda sekalian ketahui, nih, aktivitas bangunin sahurnya tadi sejatinya memang baik, namun jadi nggak bijak. Memang baik, tapi nggak ada nilai kebaikannya kalau akhirnya bikin orang lain mangkel, jengkel, atau bahkan ada yang sampai marah-marah juga kayak tetangga saya semalam. Atau dalam falsafah Jawa-nya, jadi perkara sing bener ning ora pener.
Mengutip Pak Fahruddin Faiz dalam tulisannya di Mojok, “Kebijaksanaan Puasa: ‘Ngono Yo Ngono, Ning Ojo Ngono’”, dua hal ini—antara bener (baik) dan pener (bijak)—nggak bisa dipisahain satu sama lain. Keduanya harus dipraktikkan secara selaras dan seliris. Yang namanya melakukan tindakan yang awalnya diniatkan untuk kebaikan (bener), bagaimanapun harus disertai dengan pertimbangan kalau tindakan tersebut juga bernilai kebijaksanaan (pener). Karena kata Pak Faiz, banyak kebenaran dan kebaikan kehilangan nilainya ketika jalan mewujudkannya melupakan sisi kebijaksanaan.
Ya persis kayak kasus bangunin sahur tadi. Bangunin sahur pakai tongtongtek kan sudah menjadi tradisi turun-temurun, jadi pada dasarnya nggak ada masalah dengan aktivitas tersebut. Kemudian muncul tren baru bangunin sahur pakai sound system, pada dasarnya juga keren-keren saja, sih. Karena selain tujuan dan niatnya baik, yaitu bangunin orang buat sahur, kan asik juga tuh kita sahur sambil dengerin musik-musik Jawa Pop kekinian. Tapi kalau sudah sampai di tahap bar-bar, volumenya dikencengin, wah kalau kata Ketua Yayasan Pemuda Tersesat, Habib Husein Jafar al-Hadar di konten Pemuda Tersesat edisi “Bolehkah Bangunin Sahur Pake Lagu Aldi Taher?”, itu sudah nggak bisa dibenerin.
Menurut Habib Jafar, bangunin sahur pakai sound system atau speaker di masjid sedianya nggak masalah. Itu kan juga sebagai bentuk memanfaatkan perkembangan teknologi. Asal, pertama, mbok kalau nyetel musik itu yang lagu-lagu religi gitu. Kalau nggak bisa lagu religi, ya nggak apa-apa, yang penting nggak kenceng-kenceng alias nggak mengganggu. Dan lebih nggak dibenerin lagi nih, kalau bangunin sahur pakai lagu religi tapi volumenya kuenceng banget. Rusak sudah nilai religiusitasnya kalau akhirnya ngerusak telinga orang. Intinya, volumenya harus yang standar-standar saja lah. Yang penting kan orang-orang sekitar bisa dengar terus bangun buat sahur.
Kedua, mbok harus tetep hargai orang lain. Bangunin sahur, kalau kata Habib Jafar, tetep harus memperhatikan sopan santun, loh. Maksudnya gini, kalau kita tahu di rumah yang kita lewati misalnya ada bayinya, atau ada orang yang lagi sakit, ya alangkah baiknya volume sound-nya dikecilin lagi. Syukur-syukur malah dimatiin. Apalagi kalau lewat rumahnya orang non-Islam. Mereka kan nggak ikut sahur tuh, otomatis masih tidur pules, jadi alangkah baiknya kalau nggak bikin kegaduhan sekitar rumahnya. Berlaku juga buat yang masih pakai tongtongtek, ya.
Bangunin sahur pakai speaker di masjid juga alangkah baiknya wajar-wajar saja. Nggak usah lebay kayak komentator bola Indo, biar nggak kena serangan #GerakanMuteNasional. Iye, kan?
*Takjilan Terminal adalah segmen khusus yang mengulas serba-serbi Ramadan dan dibagikan dalam edisi khusus bulan Ramadan 2021.
BACA JUGA Poso dan Pengalaman Menjadi Terduga Teroris dan tulisan Aly Reza lainnya.