Memang, pernyataan dari Babe Haikal Hassan akan selalu bergerak-gerak menyusup dan mengiris-iris kesadaran masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam.
Baru-baru ini, pernyataan yang bak pedang tajam itu kembali dilontarkan ke permukaan lewat acara ILC. Dia menyatakan bahwa ulama itu harus oposisi, kalau tidak oposisi berarti bukan ulama. Hmm, radikal sekali memang! Mohon maaf, bukan orangnya yang berlaku radikal yak. Ungkapannya itu loh yang radikal; mendalam dan radik.
Untuk memperkuat argumentasinya itu, Babe Haikal menyebut beberapa tokoh penting dalam dinamika Islam. Ia—secara implisit—mengidentifikasi pernyataannya itu dengan menyebut beberapa nama nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Bahkan, ia juga mengatakan bahwa Rasulullah adalah oposisi.
Hmm, saya jadi merasa aneh dengan argumentasi yang dipakai oleh Babe Haikal ini. Oke, saya sepakat kalau oposisi dalam suatu kepemerintahan itu penting. Tentunya untuk mencapai keseimbangan dan hasil akhir ‘yang baik.’
Tapi, mohon maaf nih. Saya juga punya pertanyaan untuk Babe Haikal yang penuh semangat itu. Pertama, mohon maaf, oposisi tidak ada di zaman nabi. Loh, kok bisa tidak ada? Sebentar-sebentar, jangan ngamuk dulu. Kata oposisi itu apakah berasal dari bahasa Arab? Kata oposisi itu dari mana sih asal-usulnya?
Jadi, tidak mungkin para tokoh yang disebut oleh Babe Haikal menjadi oposisi. Loh, jangan marah toh. Silahkan dicari di literatur yang ada, apakah Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa dia oposisi? Tidak, toh!
Oke deh, jika kalian tetap memaksa kalau para tokoh itu melakukan oposisi pada zamannya. Kalian mungkin akan mengatakan oposisi sebenarnya ada, hanya saja menggunakan kata atau kalimat yang berbeda.
Baik, saya akan melanjutkan dengan menganalisis lebih dalam lagi. Pernahkah kalian belajar bagaimana caranya membentuk argumentasi yang persuasif? Di dalam sana, kita akan menjumpai sebuah pembahasan tentang logika sepintas lalu. Dalam pembelajaran argumentasi, logika sepintas lalu adalah logika yang menyesatkan.
Syahdan, dan logika yang dipakai Babe Haikal sebenarnya adalah jebakan Batman. Logika yang sederhana namun menjebak. Jika kita berpikir hanya sepintas lalu, dengan argumentasi yang dibuat oleh Babe Haikal, dapat dipastikan kita mengiyakan pernyataan Babe Haikal.
Ulama memang harus oposisi, kalau tak oposisi dia bukan ulama lagi. Hmm, keras, gaes!
Padahal kita tak bisa menelan mentah-mentah pernyataan itu. Ada yang perlu diselidiki lebih dalam tentang argumentasi yang dibuat. Apakah argumentasi itu relevan dengan pernyataan yang dibuat? Atau justru secara maknawi berbeda tujuan?
Misalnya, Nabi Muhammad SAW beroposisi dengan para pemimpin Quraisy yang ‘kafir’. Iya, argumentasi itu benar dan valid. Namun, jika kondisi itu dibuat analogi dan disandingkan dengan kenyataan sekarang sangat-sangat ramashoookkk! Siapa Nabi itu? Siapa ulama itu? Kedua mahluk ini berbeda, baik secara kedudukan dengan Allah atau dengan manusia pada umumnya.
Lebih jauh lagi. Ulama itu kan warasatul anbiya, bukan nabi. Jelas toh, logika yang dibangun menyesatkan.
Jika kalian tetap membela. Bahwa, zaman sekarang yang menjadi panutan kalau bukan ulama mau siapa lagi? Iya, saya sepakat soal itu. Tapi, saya ingin mengajukan pertanyaan lagi. Ulama yang dimaksud oleh kalian ini ulama yang mana? Ulama yang hidup pada zaman klasik? Atau ulama yang hidup pada zaman kontemporer? Jika ulama yang dimaksud adalah ulama kontemporer, kenapa kalian tak mengikuti ulama itu? Bukankah ulama adalah panutan?
Ada argumentasi yang salah dalam hal ini. Generalisasi yang terlalu cepat dalam mendefinisikan ulama adalah penyebabnya. Bukankah ulama ada banyak sekali macamnya? Lalu, jika kalian mengatakan bahwa ulama harus oposisi dan kalau tak oposisi maka bukan ulama, maka kalian memaksakan keseragaman. Padahal jelas, ulama ada banyak macamnya toh?
Loh, jangan berbelok arah begitu, dong. Kalian kemudian mengatakan bahwa ulama yang tidak oposisi adalah ulama yang su’ (buruk), itu sama saja dengan pengingkaran pada premis primer yang kalian buat. Sudah jelas sebenarnya, kalian kan mengkategorikan ulama? Sementaranya tadi, kalian mengatakan kalau ulama harus seragam dan sama (oposisi).
Mana yang benar? Ambivalen sekali. Lebih baik ditelaah dulu jika ingin berargumentasi.
Kami orang awam yang tak tahu arah. Tanpa para ulama kami akan kebingungan, seperti domba yang lepas dari kawanannya. Tanpa ulama, kami juga tak akan mengenal kekasih-Nya. Tanpa ulama juga, kami tak akan kenal siapa Muhammad dan siapa Tuhan?
Satu lagi, tanpa huruf ‘u’ dalam kata ‘ulama’, hidup akan terasa ‘lama’ dan membosankan. Iya, seperti kamu yang lama tak membalas chattinganku~