Andai saja Pekalongan punya tempat nongkrong sebanyak Jogja.
Setiap kali membuka laman Terminal Mojok, saya selalu di hadapkan dengan tulisan-tulisan yang menawarkan rekomendasi tempat nongkrong di Jogja. Tak hanya tempat nongkrong, rekomendasi makan dan minuman di Jogja juga ditawarin di Terminal Mojok.
Meskipun tidak tiap hari tulisan-tulisan rekomendasi semacam itu hadir, tapi membuat saya berpikir bahwa Terminal Mojok adalah bagian dari staff Dinas Pariwisata Jogja. Lha wong isine Jogja maneh, Jogja maneh je.
Yang membikin saya makin sebel adalah artikel-artikel yang ngebahas tempat nongkrong di Jogja. Dari yang mulai katanya ngetren lah, ngetren pada zamannya lah, dan sebagainya. Pliisss! Kota yang ada tempat nongkrongnya nggak hanya di Jogja kali. Tempat domisili saya (Pekalongan) juga ada kok.
Tapi perlu diakui, kalau tempat nongkrong di Pekalongan nggak sebanyak Jogja. Jangankan Jogja, jika dibandingkan dengan Semarang, atau Jepara pun, tempat nongkrong di Pekalongan jauh lebih sedikit.
Makanya, saya agak iri sama Jogja yang punya banyak tempat nongkrong. Kecemburuan saya pada Jogja semakin membuncah ketika lagi-lagi Terminal Mojok menerbitkan artikel yang menunjukkan kalau Jogja tempatnya mahasiswa nongkrong.
Pekalongan bukannya tak punya mahasiswa, tapi kampusnya saja cuman ada empat. IAIN Pekalongan, Universitas Pekalongan, STMIK Widya Pratama Pekalongan, Akademi Analis Kesehatan Pekalongan. Ada sih satu lagi, Politeknik, tapi itu pun menginduk ke Semarang. Jadi, kampus yang jelas-jelas ada di Pekalongan secara struktural dan teritorial hanya empat tadi.
Dari keempat kampus tadi, IAIN Pekalongan memiliki mahasiswa terbanyak, ya sekitar 9 ribuan mahasiswa. Disusul Universitas Pekalongan dan STMIK Widya Pratama yang masing-masing hanya sekitar 5 ribuan mahasiswa. Jumlah tersebut jelas sangat jauh jika dibandingkan dengan Jogja atau Semarang yang notabene kota besar.
Karena jumlah kampus dan mahasiswa yang tak begitu banyak itu pula berpengaruh pada minimnya tempat nongkrong di Pekalongan, apalagi yang harganya terjangkau dan wajar di kantong mahasiswa. Mahasiswa Pekalongan biasanya mengandalkan angkringan pinggir jalan sebagai tempat nongkrong, walaupun jumlahnya sedikit dan areanya terbatas.
Angkringan-angkringan tadi juga nggak seperti di Jogja yang buka hingga lewat tengah malam. Saya pernah menjumpai angkringan di Jogja dan Solo yang buka pukul 03.00 pagi padahal bukan bulan puasa.
Rata-rata angkringan di Pekalongan sudah mulai tutup sekitar pukul 12 malam. Paling mentok jam 01.00 pagi, padahal kami mahasiswa Pekalongan, terutama anak kos bisa saja lapar di jam-jam lebih dari itu. Kalau sudah begitu, mahasiswa yang kebetulan ngekos dan pingin makan lewat jam 12 malam harus mencari warung nasi goreng yang harganya bisa tiga kali lipat dari nasi di warung angkringan.
Saya punya cerita menarik soal mencari makan di dini hari. Waktu itu sehabis menghadiri sarasehan bareng Sujiwo Tejo sekitar pukul 12 malam, saya dan teman-teman berniat mencari makan. Ketika itu kebetulan belum makan malam, cacing di perut sudah memberontak. Lantas kami pun memutuskan untuk pergi mencari angkringan dengan harapan masih ada yang buka.
Eh, apes, jangankan angkringan, warung nasi goreng sekitar kampus saja sudah habis jam segitu. Alhasil kami pun harus mencari ke tempat yang lebih jauh lagi dari kampus. Woila! Bak hujan di siang bolong, kami akhirnya menemukan satu angkringan yang masih buka sekitar pukul 01.00 pagi. Alhamdulillah.. kami nggak jadi kelaparan sampe matahari terbit.
Ada sih tempat nongkrong selain angkringan, seperti kafe gitu. Tapi jangan bayangkan kafe-kafe di Pekalongan sama seperti Kafe Basa Basi, Lembayung Kopi, atau kafe-kafe lain di daerah Jogja, seperti di Nologaten, Glagahsari, dan Condong Catur. Jelas kafe-kafe di Pekalongan tampilannya lebih modern, lebih hedon, lebih vintage, dan lebih Instagram-able.
Jangan harap menemukan kafe dengan rak buku tertata di Pekalongan. Kalaupun ada, buku-buku yang tertata di kafe di Pekalongan dapat dipastikan hanya fiktif, bukan buku beneran. Kamu harus bawa buku sendiri dari rumah, itu pun kalau mampu bayar minuman sama makanannya.
Mahasiswa Pekalongan kudu merogoh kocek sedalam-dalamnya ketika memilih nongkrong di kafe. Mereka yang memilih nongkrong di kafe daripada angkringan ini biasanya mahasiswa yang punya duit dan membutuhkan stok Instastory. Bagi mahasiswa Pekalongan dengan pengiritan ekonomi tingkat dewa pasti lebih memilih nongkrong di angkringan atau kampus, paling mentok ya di rumah temen.
Mahasiswa Pekalongan yang budgetnya minim, tapi tak enak hati diajak ke kafe, harus mengeluarkan uang sedikitnya lima ribu, itu pun hanya dapat segelas es teh. Atau kalau ndilalah mung punya uang seribu, ya cuman air putih yang didapat. Malu pasti sama temen-temen yang mana kalau pesen di kafe minimal Capuccino seharga lima belas ribu. Mahal tho? Bisa buat makan dua hari tuh.
Kebetulan saya ikut organisasi dan selayaknya mahasiswa organisatoris di Jogja, pasti kalau kumpul sampe malam. Nah di situlah perbedaan Pekalongan dan Jogja sangat kentara. Di Jogja, geser 100 meter saja sudah ada angkringan, sementara di Pekalongan, satu kilometer baru nemu angkringan. Itu kalau belum tutup.
Kami pun harus nomaden tempat nongkrong. Diusir karena warungnya mau tutup sudah sering kami alami. Lagi enak-enak ngobrol, tiba-tiba pemilik angkringan sudah mengibas-ngibaskan alas duduk, dan mulai mengambil tempat makanan dan minuman kami. Seolah pemilik warung hendak berkata, “Maaf, Mas, kami mau tutup,” sayangnya kalimat itu belum pernah saya dengar, mungkin karena si pemilik angkringan sungkan.
Tapi kami lebih sering sadar diri untuk lekas mencari tempat nongkrong lain. Kadang kami memilih cari tempat selain angkringan, karena duit sudah ludes. Atau kami kembali ke kantor Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus yang lebih aman, terutama menghindari Satpol PP.
Saya berharap semoga sih, Pekalongan bisa seperti Jogja, tidak susah lagi mencari tempat nongkrong. Mudah, murah, dan nyaman tempatnya. Terserah mau ada buku atau nggak, terpenting bisa buat nongkrong sembari ngemil.
Dan satu lagi, semoga tulisan saya ini bisa jadi pionir bagi penulis lain untuk mengenalkan daerahnya. Entah itu mau kehidupan susahnya, atau senangnya. Jadi nggak Jogja melulu.
BACA JUGA Betapa Nggak Enaknya Ikut dalam Sirkel Nongkrong Orang Lain atau tulisan Muhammad Arsyad lainnya.