Kisah anak bungsu penuh dimanja dengan segala kemewahan juga kasih sayang adalah omong kosong di kehidupan nyata. Terpatahkan dari saya yang kebetulan terlahir dua bersaudara dengan kakak perempuan saya, bahwa anak bungsu terbukti sejatinya sebagai pesuruh dalam suatu rumah.
Selain murah, bahkan tidak berbayar bisa juga disuruh semau hati untuk mengerjakan segala pekerjaan yang berbau dengan pekerjaan rumah tangga. Apalagi si bungsu ini seorang gadis, mantap sudah tancap gas untuk dijadikan pesuruh yang murah meriah.
Saya berumur 21 tahun berjarak 10 tahun dengan kakak sulung saya. Itu artinya kakak saya sudah berumur 31 tahun saat ini. Kakak saya sudah berkeluarga dan memiliki dua putri. Saya tinggal bertujuh lengkap dengan bapak, ibu, kakak, suami kakak, dan dua ponakan saya. Ramai sekali, bukan?
Selain ramai, rumah saya pastinya dipenuhi dengan ocehan-ocehan yang kadang datang dari kakak saya untuk dilontarkan ke anak-anaknya. Saya lebih memilih diam dengan seribu bahasa ketika ocehan terus dikeluarkan sang Kakak. Kerap kali ocehan yang niatnya dilontarkan ke anak-anaknya merembet ke saya selaku pesuruh di rumah saya sendiri.
Setiap pagi ketika tidak ada jam kuliah, hal yang akan saya lakukan adalah bebenah rumah. Iya tepat sekali, mengerjakan pekerjaaan rumah tangga yang memang kodratnya seorang wanita. Tapi disini saya bukan bahas hal itu. Saya anak bungsu mengerjakan mulai dari memasak, menyapu, mencuci piring, mengepel, membersihkan kebun, mengelap genting, menyiram cinta dan hal lain yang mestinya dikerjakan secara bersama dibebankan kepada saya semua.
Kerap kali yang membuat saya menjadi geram, ketika pekerjaan ini belum selesai sudah disuruh untuk mengerjakan hal lain. Dan nyuruhnya itu dengan nada mendesak sekaligus memaksa. Hal ini yang kemudian membuat saya dongkol sendiri. Membatin setiap ucapan dan suruhan. Sebenarnya ini saya hidup numpang apa hidup di rumah sendiri sih?. Iya kalau yang nyuruh ibu atau bapak, ini kakak yang semestinya memberi contoh terbaik bagi adiknya.
Selain jadi pesuruh, saya juga sering dijadikan tempat untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan kakak perempuan saya itu. Seperti kemarin saya disuruh memasak lauk di dapur, iya kali memasak di kamar mandi? Masak sabun apa?
Padahal yang diamanati ibu untuk memasak adalah kakak perempuan saya. Saat memasak, saya tinggal mencari penyedap rasa. Pas saya kembali, bumbu sudah berubah hitam kelam, sekelam hati saya alias gosong.
Saat ibu hendak makan, itu masakan sudah tidak karuan warna dan rasanya. Seketika ibu menceramahi kakak perempuan saya dengan seksama. Eh dilimpah ke saya itu ceramah, pakai segala ngadu yang maha benar si sulung kepada sang Ibu kalau yang masak saya pula. Akhirnya Ibu mengomel tanpa henti sebab masakan saya tadi.
Nasib deh jadi anak bungsu. Jadi tempat kesalahan orang lain dan sebagai suruhan yang tepat, karena tidak ada asisten rumah tangga. Lebih ngenes ketimbang abak tiri kedengarannya.
Biasanya anak bungsu dikaitkan dengan kemanjaan pada orang tua atau keluarganya, sekarang anak bungsu menjadi seorang upik abu yang irit tanpa berbayar, cukup diberi makan dan diberi uang saku saja tidak usah digaji setiap bulan. Isu anak bungsu hidup bak putri raja sepertinya adalah kabar burung saja. Kebanyakan anak bungsu merasakan suruhan atas kakaknya.
Anak bungsu yang digadang sebagai jebolan anak manja dengan gelimang kemewahan dan kasih sayang terkalahkan oleh si sulung yang maha berkuasa dalam rumah tangga. Aduduh mbak yu.
Kendati demikian, hal ini kemudian bisa dijadikan salah satu cara ampuh membangun citra seorang diri “bungsu dengan kemanjaannya” menjadi “bungsu penuh tanggung jawab bagi sanak keluarga”. Yang mampu mengurus segala hal dalam rumah tangga tanpa butuh asisten rumah tangga.
Secara, bungsu sudah mengerjakan setiap pekerjaan rumah tangga dengan lihai. Mengetahui seluk beluk dan bebenah rumah dengan cekatan. Jadi sudah sangat hafal hal apa yang mesti dikerjakan ketika membangun rumah tangga kelak setiap harinya.
Jadi begitulah. Bagaimana? Berminat membangun rumah tangga dengan si bungsu?.