Berawal dari kemunculan Facebook, media sosial semakin diminati oleh banyak kalangan. Nggak peduli tua atau muda, keduanya sama-sama anteng aja tuh kalau sudah fokus sama akun media sosialnya masing-masing. Bapak saya salah satunya, yang menggunakan Facebook sebagai wadah untuk mencari teman lama semasa sekolah dan sewaktu di kampung halaman. Karena hal tersebut juga, bapak dan teman-temannya yang jadi bisa berkomunikasi lebih mudah. Ketika ingin mengadakan suatu reuni pun, tinggal di-share di laman Facebook. Hasilnya? Berhasil.
Selebihnya, tugas saya sebagai anak beliau yang harus terus memberi arahan dan berita pembanding, jika ada informasi yang kurang terpercaya dan terindikasi hoaks. Sudah menjadi rahasia umum, kan, bahwa sebagian orang tua sering kali tertipu oleh judul berita dan informasi yang click-bait. Itu kenapa, saya selalu berdiskusi dengan Bapak jika ada berita terbaru. Bukan bermaksud untuk menggurui, tapi lebih kepada saling membagikan informasi dari sudut pandang satu sama lain.
Sebetulnya, sebelum Facebook menjadi opsi utama bagi banyak orang dalam bermain media sosial, ada beberapa platform lain yang populer pada masanya. Dua di antaranya adalah MySpace dan Friendster. Namun, karena kalah peminat dan dianggap kurang menarik, kedua platform tersebut perlahan ditinggalkan. Sampai akhirnya, lebih banyak yang lebih suka menggunakan Facebook. Kemudian, Twitter hadir sebagai pembeda. Perlahan tapi pasti, Twitter pun mulai digemari banyak kalangan.
Kemudian, sampai dengan saat ini, media sosial seakan jadi candu bagi banyak orang untuk melakukan berbagai hal, apa pun platformnya. Update status, posting foto, nambah mutual, bahkan tak jarang digunakan untuk gibah, menyebar informasi hoaks, dan hal negatif lainnya. Dalam prosesnya, ada sebagian orang yang sampai memiliki beberapa akun media sosial. Saya cukup yakin, hal tersebut dilakukan bukan hanya untuk iseng. Pasti ada alasan mengapa seseorang sampai membuat dua atau bahkan lebih akun—yang kemudian lebih dikenal dengan istilah akun alter.
Dan entah kenapa, akun alter ini semakin menjamur. Semakin banyak orang yang suka bersembunyi di balik akun tersebut. Sebagian orang menyebutnya akun anonim. Tidak dikenal sama sekali siapa pemilik akun tersebut. Pada masanya, akun anonim ini sebenarnya pernah dipopulerkan oleh akun Twitter @poconggg, yang kebanyakan twitnya adalah komedi, sampai akhirnya terungkap Arief Muhammad adalah orang dibalik akun anonim tersebut.
Kini, akun alter dibuat untuk berbagai macam kegiatan. Salah satu teman saya yang tidak bisa disebutkan namanya, misalnya. Dia sampai memiliki tiga akun Instagram dengan ragam fungsinya. Yang pertama adalah akun dengan nama asli dan tidak digembok; digunakan untuk upload foto sendiri dengan pose yang bagus-bagus saja. Siapa pun bisa follow. Kedua, akun dengan nama asli, hanya saja digembok, jadi hanya bisa dilihat oleh orang yang dia kenal saja karena foto dengan gaya “bebas”. Ketiga, betul-betul akun anonim yang nama akunnya saja hanya dia seorang yang tahu.
Tujuan dibuat akun tersebut adalah untuk julid, follow akun apa pun, dan di-follow akun apa pun terserah. Nama akunnya pun sembarang. Jadi, dia bisa lebih leluasa jika ingin sambat maupun misuh di media sosial. Dan pastinya, untuk stalking! Entah menjadi mata-mata bagi pasangan, atau untuk mengetahui permasalahan orang lain. Ngurusin masalah orang kok sampai sebegitunya, ya.
Ribet, kan? Iya, ribet banget. Dan yang melakukan hal serupa bukan hanya satu orang, tapi juga beberapa teman yang lain dengan dalih agar lebih mudah dalam mengekspresikan diri. Apanya yang mengekspresikan diri ketika kita justru bersembunyi di balik akun alter? Yang ada malah terkesan sembunyi tangan dan hanya sekadar jaga image.
Dan setelah saya coba tanya beberapa teman lain, pembuatan akun alter ini terbilang biasa, menurut mereka. Bahkan seakan sudah menjadi tren. Cirinya? Nama akun dan gambar profil sudah pasti tidak mencirikan sama sekali identitas diri mereka masing-masing. Kalau akun alter atau anonim yang digunakan untuk berjualan sih, saya bisa memahami. Tapi untuk hal lain yang sebetulnya bisa saja menggunakan akun asli, buat apa coba?
Pasalnya, yang sulit sekali saya terima adalah, sesekali mereka menggunakan akun alter tersebut untuk hal yang kurang baik. Sekali lagi, alasan agar lebih mudah berekspresi hanyalah klise. Dibuat-buat. Apalagi jika berujung pada mengumpat sesuka hati kepada semua akun yang tidak disukai.
Saya bisa memahami, menjadi diri sendiri itu sulit dan membingungkan. Bahkan dalam prosesnya, tak jarang mendapat celaan dari orang di sekitar. Namun, ketahuilah, mengumpat dibalik akun alter hanya akan menjadi pelampiasan sesaat.
BACA JUGA Ternyata di Twitter Ada Senioritas Akun Juga Ya? atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.