Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Alasan Petani di Desa Saya Tak Kunjung Kaya

Firdaus Al Faqi oleh Firdaus Al Faqi
3 Oktober 2020
A A
Alasan Anak Petani Tidak Bercita-cita Menjadi Petani terminal mojok.co

Alasan Anak Petani Tidak Bercita-cita Menjadi Petani terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Punya orang tua yang profesinya sebagai petani di desa memberikan saya banyak pengetahuan. Hidup seorang petani itu, harus banyak-banyak bersyukur. Sebab, hasil dari bertani itu terkadang nggak seberapa. Ya pokoknya di tataran cukup untuk kebutuhan sajalah. Dan kalau suatu waktu lagi bejo, hasil panen melimpah, dan harga pasar cukup tinggi, ya lumayan buat menambah kebutuhan-kebutuhan sekunder dan nambah sesuatu yang memang tak terlalu dibutuhkan.

Kalau di desa saya, biasanya para petani tak jauh-jauh dari menanam padi, jagung, dan cabai. Penentuan apa yang akan ditanam, biasanya tergantung dengan musim yang sedang berlangsung. Kalau lagi kemarau, biasanya sih tanam jagung yang nggak butuh air banyak. Untuk kebutuhan air yang nggak terlalu banyak ini, biasanya petani disini menggunakan mesin bor untuk menaikkan air dari dalam tanah. Jadi, walaupun kemarau, tumbuhan masih dapat pasokan air.

Beda lagi kalau musim penghujan. Biasanya yang ditanam adalah padi. Padi butuh banget sama yang namanya air, tapi nggak boleh kebanyakan juga. Di masa awal penanaman aja, tanah yang akan ditanami itu harus basah untuk nancepin bibit padinya. Kalau kering, kayaknya nggak bisa deh, dan kayaknya juga nggak bakal tumbuh. Sebab biasanya, yang saya lihat itu, bibitnya udah punya akar dan udah ada daunnya. Kan kalau udah ada akar, berarti dia udah butuh “makanan” dan “minuman”. Jadi kalau ditanam tanpa ada “minumannya”—dalam hal ini tanah yang basah—dia bakal kehausan dan bibitnya bakal mati kehausan. Apasih~

Hal ini nggak seperti si jagung yang menanamnya itu dari biji. Biasanya, kalau menanam biji jagung, itu tanahnya harus dilobangi dulu untuk tempatnya berkembang. Setelah dilubangi, baru deh ditaruh sekitar dua atau tiga biji. Kalau jagung itu kayaknya main peluang deh. Di antara dua sampai tiga biji jagung itu, biasanya yang tumbuh hanya satu, lainnya nggak. Nggak tau kenapa, mungkin kalah berantem atau sering di-bully sama kawan jagungnya yang tumbuh.

Lalu, kenapa nggak satu aja? Saya bukan anak pertanian, jadi ya mungkin aja kalau biji jagungnya sendirian, dia bakal kesepian dan nggak ada teman untuk tumbuh. Dan si biji jagung ini merasa dirinya nggak pantes untuk hidup karena nggak ada pendamping atau teman yang bisa diajak ngobrol. Repot sih sebenarnya si jagung ini. Sendirian bisa nggak hidup, berdua atau bertiga malah yang tumbuh hanya satu. Hmm~

Cukup dulu penjelasan ngaconya, kita lanjut ke titik permasalahan. Di desa saya, biasanya dalam seluruh proses awal hingga panen, para petani atau pemilik sawah bakalan menyewa orang-orang yang terampil dalam setiap proses bertaninya. Misal dalam menanam, itu ada ahli menanamnya. Dalam ngebor air dan jagain bor biar nggak dicuri orang, itu ada pendekarnya. Dalam panen, bungkus-membungkus ketika panen, membersihkan hama dan segala hal yang mengganggu proses bertani, itu ada ahlinya masing-masing.

Jadi, dalam satu proses, ada beberapa orang yang akan direkrut untuk menjalankannya. Nah ini masalahnya. Kenapa di judul saya bilang bahwa petani disini tak kunjung kaya, itu karena kebanyakan pakai tenaga manusia untuk proses bertaninya. Sebagai anak kuliahan FEB yang baik hati dan lurus-lurus aja dan ingin menerapkan ilmunya dengan baik, saya cari-cari aja tuh biar pengerjaan beberapa proses bertani bisa lebih cepat.

Ketika saya cari-cari, ada beberapa metode pertanian anyar yang saya rasa bisa untuk diterapkan, yakni dengan membeli mesin untuk menanam dan memanen secara otomatis. Jadi yang gerakin ya si yang punya sawah sendiri dan nggak butuh orang banyak untuk prosesnya. Selain itu, kalau pakai mesin, bisa lebih efisien dengan menekan modal dan mempersingkat waktu menanam. Jadi, intinya nggak ada modal dan waktu yang terbuang sia-sia.

Baca Juga:

Curahan Hati Mantri Tani, Dicari Saat Bantuan Tiba, Dicaci Tatkala Gagal Panen Melanda

Buruh Tani Situbondo: Pekerjaan yang Sering Disepelekan, tapi Upahnya Bisa Bikin Iri Pegawai Kantoran

Merasa bakal membawa angin perubahan, dengan menggebu-gebu saya langsung aja bilang sama ayah untuk membeli alat tersebut. Saya jelaskan kegunaannya sekalian menyebut harganya. Untuk harganya, ya, pokoknya masih bisa kebeli lah. Saya juga bilang sama Ibu, bahwa dengan begini, pokoknya hasilnya bisa lebih banyak dengan alasan efisiensi tadi. Kadang juga saya bilang sama beberapa petani biar barengan sepakat untuk beli itu alat.

Yang bikin saya kaget adalah jawaban dari kedua orang tua saya dan para petani lainnya. Mereka menjawab, “Jangan, kasihan. Nanti pekerjaan dan pendapatan mereka berkurang. Kamu mau liat mereka tambah sengsara? Kita nggak tega.” Ini alasan pertama. Kedua orangtua saya dan beberapa petani lainnya, dalam beberapa hal masih punya rasa nggak tegaan dan nggak enakan sama orang.

Malah kalau di sini, minjemin uang yang nggak sedikit, bisa bertahun-tahun nggak kunjung dilunasi. Pengalaman Ibu sih sebenarnya. Saya bilang ke Ibu agar menyuruh orang yang ngutang ini bayar. Orang yang ngutang ini, kayaknya udah sekitar lima tahun lalu minjemnya. Dan ibu saya bilang kalau dia merasa nggak enak kalau diminta, biar orangnya bayar sendiri, katanya. Lah, padahal kan kurs duit itu berubah-ubah. Seratus ribu sekarang, nilainya bisa jadi beda di lima tahun mendatang. Bagi saya sih, selain diminta balik, harusnya yang minjem itu juga nambah, dan ini saya katakan juga. Tapi, malah dijawab, nggak baik kalau ambil bunga. Di sini istilahnya “mabuduk” atau dalam bahasa Indonesianya menjadikan duit yang dipinjam jadi beranak-pinak dan jadi banyak. Dan ibu saya nggak mau ambil itu karena nggak enak minta bunga dan katanya nggak baik kalau ambil bunga. Padahal kan, bunga harusnya jadi kewajiban si peminjam kan ya? Maaf kalau salah, hehe~

Nah, nggak enakan itu alasan pertama. Untuk yang kedua ini, jarang banget saya lihat di daerah saya kuliah, yakni syukuran. Setelah panen, kebanyakan petani sini biasanya hasil dari panen itu nggak semuanya langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan plus sedikit keinginan, tapi biasanya langsung dipotong untuk entah itu untuk mengundang tetangga untuk mabar (makan bareng) yang dibarengi memanjatkan doa-doa, atau langsung diberikan begitu saja.

Saya yang udah dikuliahin di Fakultas yang selalu merujuk pada UUD ( Ujung-Ujungnya Duit) ini tambah penasaran. Dan langsung aja saya tanya sama kedua orangtua saya, kenapa sih harus nggak enakan, bilang ini nggak baik, sama sering-sering bikin acara gituan? Kalau kalau secara itungan bisnis ini memotong keuntungan? Dengan santai mereka menjawab, “Meskipun keuntungan berkurang, tapi hasilnya masih cukup buat hidup selama ini, kan?”

BACA JUGA Mobile Legends dan Orang-orang Menjengkelkan di Dalamnya dan tulisan Firdaus Al Faqi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 2 Oktober 2020 oleh

Tags: efisiensiKayapanenPetanisistem tanam
Firdaus Al Faqi

Firdaus Al Faqi

Sejak lahir belum pernah pacaran~

ArtikelTerkait

Jika Saya Jadi Menteri Pertanian, Berikut Strategi Peningkatan Regenerasi Petani

Jika Saya Jadi Menteri Pertanian, Berikut Strategi Peningkatan Regenerasi Petani

29 September 2024
kaos petani di sawah

3 Jenis Kaos yang Sering Dipakai Petani ke Sawah

20 November 2021
Jeritan Petani Sumenep: Krisis Benih Tanaman yang Mengancam Kelangsungan Ekosistem Pertanian

Jeritan Petani Sumenep: Krisis Benih Tanaman yang Mengancam Kelangsungan Ekosistem Pertanian

25 Juli 2023
Menelusuri 5 Jenis Kaos yang Sering Dipakai Pakdhe-pakdhe ke Sawah terminal mojok.co

Cieee yang Pengin Buka Sawah Padahal Dulu Sukanya Gusur Sawah

5 Mei 2020
Menelusuri 5 Jenis Kaos yang Sering Dipakai Pakdhe-pakdhe ke Sawah terminal mojok.co

Menelusuri 5 Jenis Kaos yang Sering Dipakai Pakdhe-pakdhe ke Sawah

3 Februari 2021
Kerja Keras Mungkin Nggak Bikin Kaya, tapi Proses Nggak Mengkhianati Hasil, Mbak! Terminal mojok

Kerja Keras Mungkin Nggak Bikin Kaya, tapi Proses Nggak Mengkhianati Hasil, Mbak!

27 Februari 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Jujur, Saya sebagai Mahasiswa Kaget Lihat Biaya Publikasi Jurnal Bisa Tembus 500 Ribu, Ditanggung Sendiri Lagi

Jujur, Saya sebagai Mahasiswa Kaget Lihat Biaya Publikasi Jurnal Bisa Tembus 500 Ribu, Ditanggung Sendiri Lagi

16 Desember 2025
Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

16 Desember 2025
3 Alasan Kenapa Kampus Tidak Boleh Pelit Memberikan Jatah Absen ke Mahasiswa

3 Alasan Kenapa Kampus Tidak Boleh Pelit Memberikan Jatah Absen ke Mahasiswa

16 Desember 2025
Pengalaman Naik Bus Eka dari Banjarnegara ke Surabaya: Melihat Langsung Orang Berzikir Saat Pedal Gas Diinjak Lebih Dalam

Pengalaman Naik Bus Eka dari Banjarnegara ke Surabaya: Melihat Langsung Orang Berzikir Saat Pedal Gas Diinjak Lebih Dalam

15 Desember 2025
Tombol Penyeberangan UIN Jakarta: Fitur Uji Nyali yang Bikin Mahasiswa Merasa Berdosa

Tombol Penyeberangan UIN Jakarta: Fitur Uji Nyali yang Bikin Mahasiswa Merasa Berdosa

16 Desember 2025
Dosen Bukan Dewa, tapi Cuma di Indonesia Mereka Disembah

4 Hal yang Perlu Kalian Ketahui Sebelum Bercita-cita Menjadi Dosen (dan Menyesal)

17 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Slipknot hingga Metallica Menemani Latihan Memanah hingga Menyabet Medali Emas Panahan
  • Nyaris Menyerah karena Tremor dan Jantung Lemah, Temukan Semangat Hidup dan Jadi Inspirasi berkat Panahan
  • Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang
  • Ketika Rumah Tak Lagi Ramah dan Orang Tua Hilang “Ditelan Layar HP”, Lahir Generasi Cemas
  • UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar
  • Liburan Nataru di Solo Safari: Ada “Safari Christmas Joy” yang Bakal Manjakan Pengunjung dengan Beragam Sensasi

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.