Entah mengapa, ketika saya menukar posisi guling menjadi bantal terkesan seperti pendosa nomor wahid dan menyalahi kodrat alam.
Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya kaum rebahan tidak akan jauh dengan apa yang namanya guling dan bantal. Dengan secangkir kopi dan list rekomendasi film yang cocok untuk kaum rebahan, membuat segala penat dan keruwetan hidup semakin terpinggirkan.
Suatu hari di kampus pinggiran kota Bandung, 3 (tiga) sks telah dijadwalkan pada pagi hari itu. Tiba-tiba dosen tercinta mendadak memberitahu kami bahwa tidak ada kelas atau bisa dibilang kelas diliburkan di hari itu. Antara mangkel dan senang, mangkel karena sudah berada di dalam kelas dan juga senang karena hari itu saya sudah mandi pagi. Ditiadakannya kelas sekaligus menjelaskan bahwa saya dapat merencanakan diri untuk rebahan all day sembari menyambung film drama korea yang sebelumnya belum tamat.
Kemudian saya pulang ke rumah, menyalakan komputer, dan kebingungan melihat kasur, bantal, dan guling di dalam kamar kok nggak ada. Setelah diselidiki lebih dalam, ternyata sedang dijemur oleh orang tua saya. Yakin deh, tanpa didampingi mereka, aktivitas rebahanmu tidak akan menuju kata sempurna. Terutama ketika tiba waktunya menonton film, tidak ada bantal untuk menutupi tangis di saat filmnya menampilkan scene sedih. Dan juga tidak adanya guling yang biasannya dilipat dua untuk menahan kepala saya agar sejajar dengan komputer.
Urusan rebahan dengan bantal guling yang saling berhubungan ini menimbulkan beragam argumen. Bermula ketika saya nge-scrolling kolom riwayat likes di Twitter, saya menemukan satu unggahan yang menarik perhatian saya dari akun @bayu_joo dengan jumlah pengikut saat tulisan ini dibuat sekitar lebih dari 800 ribu pengikut. Kemudian bermunculan respons dari netizen untuk memberikan pembenaran dari tweet tersebut.
“Kalo aja ada perkumpulan orang-orang yang kalo tidur bantal dijadiin guling terus guling dijadiin bantal, saya akan maju paling depan.” Begitu kata akun @bayu_joo. Cuitan yang di posting pada awal tahun 2019 dan berakhir dengan 6000 retweets dan 9100 likes, membuat netizen memikirkan ulang polemik mengenai cuitan tersebut. Ada yang merespons dengan membuat konspirasi baru seperti respons, “sprei jadi selimut, selimut jadi guling”. Ada pula yang merespons dengan unggahan foto yang melihatkan cara praktis netizen menggunakan guling dan bantal
Otak berpentium rendah saya pun bekerja keras selama dua hari dua malam untuk memikirkan hal remeh–temeh beginian. Untuk menyelesaikan rasa penasaran terhadap polemik tersebut, akhirnya saya mencoba menanyakan hal tersebut kepada teman-teman saya. Respons yang saya terima cukup beragam. Dari mulai yang menganggap hal ini cukup serius hingga menganggapnya sebagai bahan bercandaan. Berikut respons dari teman-teman saya yang sudah dipisahkan menjadi tiga segmen jawaban.
Satu: Jawaban Serius
“Menurut saya itu adalah simbol kehidupan. Bahwasanya di dunia ini nggak ada yang namanya tetap atau statis. Roda kehidupan selalu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Kadang buat kepala kadang buat kaki. Kadang ditindih kadang dipeluk.” – Rocky Kerung (Filsuf Jalanan).
“Selagi barang dapat dialihfungsikan, kenapa nggak?” – Ridwan Hamil (Pejabat Mahasiswa).
Dua: Jawaban Bisa Disebut Serius
“Sesungguhnya menyalahi kodrat seperti itu tidak baik hukumnya. Sebab bantal sudah dikodratkan untuk tempat kepala dan guling sebagai pelengkap untuk dipeluk. Dan ingat pula yang dipeluk guling bukan istri tetangga.” – R. Angga (Mantan Sekjen Sendal Empire).
“Gue punya bantal yang dijadiin guling, bahkan bantal gue disarungin pake sarung guling (gue paksa masuk, akhirnya dia ngempes dan ngecil sendiri) bentuknya jadi kayak guling kecil, pas banget untuk diapit sama kedua kaki gue yang imut. Terus setiap sarung bantal guling ada talinya tuh (nah tali atas sama bawahnya gue gabungin), jadi bisa dicangklong gitu di lengan (kaya totebag).” – Albert Encer (Hair Stylist).
Tiga: Jawaban Nggak Perlu
“Aku nggak suka pake bantal, apalagi guling. Aku cuma butuh pundak seorang bidadari untuk disandarkan ke kepalaku.” – Rio Deeewaduk (Admin Akun Gibah).
“Bantal ya bantal, guling ya guling. Mau itu bantal atau guling yang penting bisa tidur nyenyak.” – Fadli Zonk (Pemberantas Korupsi).
Agar terciptanya kebenaran versi Mojok Institute yang kebenarannya perlu dicek lagi oleh mojokiyah. Maka saya mengambil ungkapan Jas Merah dari Pak Soekarno, (kepanjangan dari “jangan sekali-kali melupakan sejarah”). Maka dari itu, ada baiknya untuk merunut sejarah terbentuknya bantal dan guling. Pasalnya, yang terpenting dari sejarah ialah masalah yang melekat pada kehidupan sehari-hari.
Sejarah guling. Pada zaman penjajahan, banyak pejuang Belanda yang nggak membawa istri-istrinya dalam misi kolonialisme di Indonesia. Lantaran kesepian, maka terbesitlah alternatif untuk menggantikan bayang-bayang istrinya yaitu dengan menyewa gundik (pekerja seks). Untuk menyewa gundik di zaman penjajahan, tarif yang ditarik terbilang tinggi (meski saat ini pun masih). Maka Gubernur Inggris Thomas Stanford Raffles membuatkan guling untuk pejuang Belanda dengan nama Dutchwife. Di sisi lain, fungsi guling saat itu untuk membantu orang-orang melemparkan kakinya pada jam tidur malam, yang memberikan rasa dingin dan adem-ayem di wilayah tropis seperti di Indonesia.
Sejarah bantal. Selama berabad-abad, orang tidur cukup tegak dengan sepasang bantal di kasur kesayangan. Bentuk bantal pun mengalami perkembangan setiap waktunya. Seperti pada zaman Kerajaan China yang menganggap bahwa bantal lembut merampok vitalitas tubuh, dan mereka membuat bantal dari bahan kayu, keramik, dan kulit. Beberapa bahkan dipenuhi dengan obat herbal untuk terapi suatu penyakit.
Untuk menyimpulkan keseluruhan tulisan ini, saya telah merangkum beberapa statement, “Kenapa kita nggak usah berdebat masalah guling yang dijadikan bantal dan sebaliknya.”
Pertama, merujuk pada definisi guling pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), guling ialah bantal yang bentuknya panjang, maka sah-sah saja untuk memakainya di bagian kepala karena masih terdapat unsur bantal. Kedua, kenyamanan merupakan hak seluruh orang, khususnya kaum rebahan. Sehingga cara untuk meletakkan kepala pada bantal maupun guling merupakan preferensi kenyamanan masing-masing. Ketiga, belum diharamkan prakteknya, karena tidak ada hadis yang menyebutkan bahwa itu bertentangan dengan moral manusia dan juga belum terdapatnya pasal maupun sanksi dalam undang-undang yang menyatakan tidak bolehnya mengubah fungsi guling menjadi bantal.
Demikian perdebatan panjang yang menyertakan sejarah dan survei kecil-kecilan. Apakah kalian tim konservatif yang masih kolot menganut tradisi dan kepercayaan lama masyarakat, di mana guling harus dijadikan guling dan bantal harus dijadikan bantal? Atau tim liberal yang lebih bebas dan ekspresif untuk menentukan cara penggunaan guling dan bantal, sebab manusia terlalu beragam untuk diseragamkan? Maka saya pribadi tidak keberatan dengan segala pandangan yang diterima, asal responsnya tidak menimbulkan percikan terjadinya Perang Dunia ke-3 dan tidak mengurangi uang jajan kuliah saya.
BACA JUGA Generasi Rebahan Itu Bisa Jadi Menganut Ajaran Kumbakarna untuk Jadi Seorang yang Hebat atau tulisan Fathur Rachman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.