Tiga tahun merantau di Jember sebagai mahasiswa rasanya cukup untuk mengenal kota ini. Saya bisa menyimpulkan, Jember tempat yang tepat untuk melanjutkan kuliah. Selain ada beberapa pilihan perguruan tinggi, hidup di sana memang ramah bagi kantong mahasiswa mendang-mending.
Memang, kadang kami dicibir karena tidak menempuh pendidikan di kota besar. Kami tidak kuliah di Malang atau Surabaya yang biasa jadi daerah tujuan studi di Jawa Timur. Tapi, semua cibiran itu bisa dibalas dengan uang bulanan yang awet di dompet dan feed Instagram penuh dengan foto estetik di pantai dan gunung.
Dengan kata lain, biaya hidup di Jember sangat ramah di kantong mahasiswa. Sudah begitu, hiburannya banyak lagi. Bagi mahasiswa yang sedang senang-senangnya menjajal hal baru, jelas kondisi ini seperti angin segar.
Harga makanan di Jember murah
Harga makanan di Jember itu absurd. Warung nasi serba Rp5.000 masih menjamur di kawasan kosan seperti Jalan Mastrip, Jalan Kalimantan, dan Jalan Jawa. Ini membuat budget makan bulanan bisa dialihkan ke hal yang lebih penting misalnya liburan. Karena biaya makan murah, kita punya sisa uang yang cukup untuk beli bensin ke Banyuwangi yang cuma beberapa jam atau ke Papuma yang cuma satu jam. Jember secara paksa membuat mahasiswa menjadi penabung ulung dan wisatawan dadakan.
Akses wisata tanpa drama tiket mahal
Jember adalah pintu gerbang emas menuju destinasi alam Jawa Timur karena sangat dekat dengan Kabupaten Banyuwangi. Mahasiswa selalu punya alasan untuk tidak di kosan saat weekend. Mau melihat api biru Kawah Ijen? tinggal gas motor. Mau melihat Sunrise of Java? Tinggal menyeberang ke Bali via Ketapang. Jember adalah kota yang secara geografis memanjakan para pemburu konten alam. Background foto profilmu dijamin keren tanpa perlu edit sana-sini, modalnya cuma bensin dan stamina.
Kalian tipe orang yang tidak suka wisata alam? Tenang aja, daerah ini punya acara menarik. Salah satunya, Jember Fashion Carnaval (JFC). Setiap Agustus, kemewahan fashion show itu datang langsung ke jalanan kota. Daerah ini memberikan edukasi fashion dan budaya secara cuma-cuma.
Ini adalah privilege kultural yang nggak didapatkan anak kosan daerah lain lain. Mahasiswa perantauan di Jember bisa dengan enteng bilang, “Catwalk begitu mah tontonan rutin tahunan kami,” terdengar keren kan?
Solidaritas kuat
Saya merasa mahasiswa yang ngekos di Jember sangatlah solid. Mungkin karena merasa senasib ya, jauh dari rumah dan uang pas-pasan. Begitulah ikatan kuat terbentuk.
itu mengapa saya jarang merasa sendirian di Jember. Tetangga kosan adalah support system paling andal. Sakit? Ada yang belikan obat. Lapar tengah malam? Ada sarden temanmu yang siap dibedah. Komunitas di Jember bukan dibentuk oleh networking berlandaskan kepentingan karier, tapi oleh persaudaraan sejati yang berlandaskan nasi pecel serba Rp5.000.
Ikatan ini jauh lebih tahan lama daripada koneksi di LinkedIn. Bayangkan saja, saat saya lulus dan meniti karier di Ibu Kota Jakarta, Ikatan Mahasiswa Jember masih banyak yang benar-benar peduli. Mereka nggak sekadar basa-basi saat tau ada lulusan Jember yang baru datang.
Jadi, kalau masih overthinking soal pilihan kuliah, lupakan kota-kota besar. Jember menawarkan rumus ajaib yaitu biaya hidup minim, hiburan maksimum, dan pastinya teman yang melebihi saudara exposure unik melahirkan kebahagiaan logis. Tapi, jangan kaget kalau nanti sudah lulus, malah gagal move on dari kebiasaan hidup hemat. Salam dari kami, yang selalu ingin balik ke Jember.
Penulis: Dodik Suprayogi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Terima Kasih Jember, Saya Jadi Semakin “Kaya” sebagai Manusia.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















